Rabu, 27 April 2016

Perilaku manusia modern saat ini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Selalu saja ada ketidaksinkronan dalam hidup ini antara dogma dan realitas, teori dan praktik, idealisme dan fakta. Lesbian, gay, biseksual, dan transeksual (LGBT) adalah fenomena yang menjamak dalam peradaban manusia dan refleksi nyata dari apa yang sebut dengan inkonsistensi itu. Semua agama melawan apa pun LGBT.

Namun, tindak-tanduk oknum penganut agama itu justru berasyik masyuk `menikmati' larangan dari Mahasuci itu. Peradaban yang terhormat mendudukkan lelaki dan perempuan saling berpasangan, bukan mempertemukan sesama jenis. Namun, begitulah, praktik kadang kali tak ber banding lurus dengan teori dan deretan hukum.

Perilaku manusia modern saat ini mengingatkan kita terhadap kelakuan yang sama pada peradaban masa kuno. Apakah memang siklus peradaban masa kini tengah berbalik ke masa lampau sebagaimana yang diteorikan oleh Lauer, Oswald Spengler, atau Pitirim Sorokin?

Berbagai peristiwa itu terjadi berulang- ulang, tanpa direncanakan pada titik ter tentu. Tidak ada proses perubahan masya rakat secara bertahap sehingga batas antara pola hidup primitif, tradisional, dan mo dern tidak jelas, bahkan mulai kabur. Atau, ini adalah upaya mencapai peradaban yang lebih tinggi seperti prediksi Arnold Toynbee?

Meski lesbian, gay, biseksual, dan transeksual (LGBT) dilarang Islam, sejarah mencatat praktik perilaku menyimpang tersebut tetap saja ada, bahkan dilakukan oleh para elite di lingkungan istana. Torehan ini menjadi catatan kelam dalam sejarah Islam tak beranding lurus dengan perkembangan dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan selama Abad Pertengahan tersebut.

As-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa menyebutkan para elite khalifah di lingkungan Dinasti Umayyah banyak yang terjerumus praktik haram ini. Khalifah Yazid, menurut sejumlah riwayat, melakukan peri laku homo sek sual. Namun, menurut as-Suyuthi, yang paling terkenal parah adalah khalifah al-Walid bin Yazid bin Abd al-Malik.

As-Suyuthi menyebutnya dengan gelar fasik al-Khalifah al-Fasiq Abu al-Abbas. Fakta ini tak hanya diutarakan oleh pengarang kitab al-Itqan fi `Ulum al-Quran tersebut. Imam ad-Dzahabi dalam Tarik al-Islam mengungkapkan penyimpangan seksual al-Walid. Ia menulis dengan kalimat yang sangat terang-benderang, "Al- Walid terkenal pemabuk dan gay," tulis ad-Dzahabi. Al-Walid akhirnya dibunuh oleh saudaranya, Sulaiman bin Yazid.

Pemandangan serupa juga dengan mudahnya kita jumpai pada masa Dinasti Abbasiyah. Dalam kitab Tarikh-nya, at- Thabari menggambarkan praktik LGBT di kalangan khalifah Abbasiyah adalah fenomena yang nyaris umum. Khalifah al- Amin, misalnya, meminta remaja-remaja laki-laki dan berani membeli mereka mahal untuk memenuhi hasratnya siang dan malam. Ia menolak perempuan merdeka atau budak. Ibunya pernah mencoba mengalihkan kebiasaan buruknya itu dengan menyuruh perempuan berpura- pura sebagai pria, tetapi usahanya gagal.

Pun demikian dengan khalifah al- Mutawakkil. Al-Mas'udi dalam Mirwaj ad-Dzhahab wa Ma'adin al-Jauhar meng- ung kapkan, khalifah Abbasiyah ter sebut memiliki pasangan gay bernama Sya- hik. Sedangkan, al-Mu'tashim konon sangat menyukai budak pria asal Turki dan rela membelinya dari tuan-tuan mereka. Jumlahnya fantastis (meski perlu diverifikasi validitasnya) mencapai 4.000 orang. Para pria tersebut dipaksa menjadi pasangan gay dengan mengenakan baju- baju indah mewah berbalut emas.

Fenomena ini pun memicu studi tersendiri di kalangan ahli fikih. Secara tekstual, para ahli fikih juga tak sepakat terhadap sank si hukum yang patut dijatuhkan ke pada pelaku tindak homoseksual. Setidak nya ada tiga opsi hukuman yang pernah me ngemuka di kalangan para pakar fikih itu.

Pertama, eksekusi mati bagi para pelaku yang terbukti melakukan aktivitas itu. Kedua, sanksi berupa pidana seperti hukuman yang berlaku atas had zina sesuai dengan klasifikasinya masing-masing antara mereka yang bujang dan mereka yang sudah berstatus menikah. Sedangkan, sanksi yang paling ringan adalah dipenjara (ta'zir). Penentuan waktu hukuman jenis ini sepenuhnya menjadi wewanang hakim.

Namun demikian, solusi terhadap para LGBT tentu tak mesti mengandalkan pada hilir, tetapi juga pada hulu. Faktor deteksi dini dan pencegahan perilaku tersebut di lingkungan terdekat kita kerap diabaikan.

Kita sudah terburu-buru mengucilkan keberadaan mereka. Padahal, sejatinya, mereka membutuhkan lingkungan kondu sif untuk memulihkan penyimpangan orien- tasi seksual itu. Semoga peradaban kita tak cepat tercerabut akibat keprofanan sebagian dari kita atau jangan-jangan kita punya andil lantaran enggan membina dan merangkul mereka. 

Oleh Nashih Nashrullah
nashihn@redaksi.republika.co.id

Red: operator


Dikirim dari perangkat Samsung saya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar