SUDAH SAATNYA ANAK MAMI KENA GEBUK OMNIBUS LAW . Anak mami, itulah kita hari ini. Cukup marah, ngamuk, dan lalu apa yang kita mau diperhatikan, sukur-sukur dipenuhi. "Emang ada yang salah kalau dengan modal ngerengek doang trus dapat apa yang kita mau?" Sejak reformasi, suara kita sangat berharga. Satu suara memiliki makna seperti yang seharusnya dalam sistem demokrasi. Sangat berbeda pada jaman Orde Baru saat Soeharto berkuasa. Seribu bahkan sejuta suara kalau dianggap gak ada, ya gak pernah ada. Mau ngeyel? Hilang kalian kebesokan harinya. Pokoknya Golkar pasti menang, apapun caranya. Dan ritual 5 tahunan berulang. Bak upacara penyembahan berhala, puja dan puji atas keberhasilan sang Presiden mendahului apa yang sebentar lagi menjadi kebiasaan berulang itu. Disiarkan secara langsung melalui TV nasional, MPR dengan dipimpin langsung oleh ketuanya sowan dan meminta kesediaan pak Harto untuk kembali menjadi Presiden. Negara sangat membutuhkan kepemimpinannya. "Serius kaya gitu?" Setelah reformasi, dan terutama setelah pilpres maupun pilkada secara langsung diberlakukan, suara rakyat adalah harta berharga. Siapapun calon akan membungkuk kepada rakyat untuk mendapatkan suaranya. Tak puas hanya membungkuk, uang pun turut disebar disertai seribu janji manis menghias mulut penuh senyum. Tampil dalam format santun berpakaian ala orang sangat beriman, baliho sebesar gedung bertingkat 7 disebar memenuhi seluruh sudut ruang hingga tak bersisa. Tak lagi penting apa itu kualitas, apalagi integritas. Yang penting duit lancar janji diumbar meski tak masuk akal. "Masa janji tak masuk akal?" Pernah dengar janji muluk sebuah partai ingin menghilangkan pajak motor dan SIM gratis seumur hidup? Masuk akalkah janji seperti itu? Anehnya, masih saja ada sebagian masyarakat yang percaya dan terjebak memilihnya. Awalnya, politik uang sangat berhasil. Ada beberapa calon sukses dengan cara seperti itu. Namun periode berikutnya, masyarakat lebih pintar, diterima duitnya, dicoblos yang mereka suka. Siapa yang akan mereka pilih kembali, adalah mereka yang kemudian merealisasikan janji-jinjinya. Janji yang masuk akal dan masuk dalam ranah kekuasaan sang calon. Janji yang dapat dipenuhi karena sang kepala daerah mampu membuat perda terkait janjinya, antara lain kesejahteraan melalui peningkatan penghasilan. Pada tingkat Presiden, janji subsidi segalanya seringkali adalah cara paling mudah saat kampanye. "Apakah salah bila seorang cagub misalnya, berjanji akan meninjau UMR? Bukankah itu normal dan masuk dalam ruang lingkup kekuasaannya?" Jangankan hanya UMR, Kartu Bekasi sehat contohnya, pernah membuat dia yang mencalonkan dirinya terpilih. Bahwa dikemudian hari kartu itu seperti kartu tanpa makna, tentu cerita lain dari sisi yang lain juga. Banyak keluhan rumah sakit menolak, meski tak semuanya. Namun apapun ceritanya, Bekasi menjadi salah satu daerah yang memiliki UMR terbesar di negeri ini. Rakyat senang, pengusaha mabok dan relokasi hanya soal waktu. "Loh koq gitu? Buktinya banyak pabrik di Bekasi masih eksis koq.. jangan asal tuduh lah! Apa buktinya mereka pasti akan relokasi?" Menentukan harga jual suatu produk selalu terkait dengan banyak faktor. Ada cost bahan baku, tenaga kerja, investasi tanah, bangunan pabrik hingga mesin, listrik, air, pajak dan masih banyak faktor yang lain. Satu hal yang pasti, harga jual harus masih kompetitif dan ongkos produksi berikut semua sarana pendukungnya tak boleh lebih tinggi darpada harga jual akhir dari produk itu. Itu ilmu pasti yang tidak boleh ditawar lagi. Itu suatu keharusan yang tak boleh diganggu sedikitpun. Membayangkan Perda dapat dirubah sesuka hati sesuai dengan janji kampanye si calon hanya demi perolehan suara serta langgengnya kekuasaan jelas akan berakibat buruk bagi investasi. Paling tidak, harus ada kompensasi bila investor tak ingin hengkang. Memanjakan pemilih dengan janji merugikan pada pihak lain meski itu menjadi salah satu kewenangannya, jelas bukan tipikal pintar sang calon, namun demikianlah kita hari ini. "Apa bukti pengusaha dirugikan?" Tak ada pengusaha mau tetap berbisnis bila rugi adalah apa yang didapat. Dia pasti tetap mendapat untung dengan bukti bahwa pabriknya masih berdiri bukan? "Trus apa masalahnya?" Bisnis adalah ilmu nyata. Bukan pula sim salabim. Selalu ada sisi lain yang harus dikorbankan ketika satu sisi berlebihan. Bila upah pekerja diharuskan lebih tinggi dari kemampuan pengusaha untuk menutup dan disisi lain pemerintah telah membuat keputusan, pasti ada kompensasi didapat sebagai ganti. Dan pada akhirnya, pasti tentang kerugian negara. Pajak, limbah hingga apapun yang seharusnya menjadi hak negara kini menjadi alat negosiasi. Pendapatan negara menjadi tujuan pemotongan yang paling mudah untuk dikorbankan. Artinya, apapun janji politisi terhadap segala kemudahan pihak lain pasti memiliki dampak disisi yang lain dan biasanya, pada akhirnya adalah tentang kerugian negara. "Berarti harus cari calon pemimpin yang pintar dong?" Ya, namun percuma bila selalu tersedia peluru yang dimilikinya. Selalu dengan mudah peluru itu digunakan ketika kemendesakan menjadi ukurannya. Ambil peluru berlebihan itu, biasakan mereka bekerja dengan keadaan normal tanpa mudah menembakkan banyak peluru tak berguna. Potong birokrasi berlebihan, disanalah salah satu maksud UU Ciptaker ini dibuat pemerintahan Jokowi. "Berarti benar dong pekerja dirugikan?" Tujupuluh lima tahun sudah kita merdeka namun dari peniti, kancing, resleting, hingga hp dan apalagi chips hingga prosesor sebagai produksi hitech jauh dari kata sudah kita produksi. Kita impor semua barang itu. Bukan tak mampu kita membuatnya, namun kompetitif sebagai acuan, adalah apa yang menjadi hambatan kita. Lama sudah kita tak diajarkan tentang bagaimana dan apa itu kompetitif. Kita lebih senang membeli dan kemudian merakitnya hanya sekedar puas memiliki nilai tambah. Kita tidak dididik menjadi bangsa pembuat. "China sudah berusaha mewujudkan niat berangkat ke Mars, dan kita baru mau belajar kompetitif, apa masih cukup waktu?" Tahun 70an China, Singaore, dan Malaysia tak lebih baik dari kita. Malaysia justru jauh tertinggal karena di tahun itu kita ekspor banyak guru dan banyak orang pandai membantunya. Kenapa sekarang mereka lebih baik, bukan saatnya lagi kita menengok kebelakang. Sama dengan Malaysia dulu impor banyak orang pintar kita, kenapa kita tak menjalani apa yang pernah mereka lakukan? Bila ada rasa takut kita akan dijajah orang-orang pintar yang akan kita datangkan, apakah orang pintar kita menjajah Malaysia? Setahu saya, kelas ART justru yang kini mereka butuhkan bukan? Tak ada lagi orang pintar mereka butuhkan karena mereka telah pintar kan? Mengundang investor masuk adalah cara kita belajar banyak atas ketidak tahuan kita dari mereka yang sudah lebih dahulu melewatinya. Omnibus law sedikit banyak pasti lebih menguntungkan investor dibanding UU kita yang lalu yang katanya tumpang tindih dan membuat mereka tak tertarik. Hanya dengan cara itu kita dapat membuat mereka tertarik apalagi kelebihan kita adalah memiliki SDA yang tak banyak dimiliki negara lain. Seandainya hari ini kita bersakit-sakit dahulu dan 10 hingga 20 tahun kemudian kita melampaui banyak negara lain, adakah cara bersenang senang kita nanti terlalu berat? Tak ada salahnya kita mulai belajar membuat kancing, resleting dan jarum tapi harus sampai bisa lebih murah dari China. Bila sudah bisa, bukan hal mustahil hp, mobil hingga teknologi angkasa luar akan kita bidik sebagai langkah lanjutan untuk bisa menunjukkan siapa kita. Ketika resleting dan kancing baju produksi kita mampu masuk dan bersaing di negeri segala barang murah itu berasal, dijamin, diwaktu yang sama, hp, laptop hingga mobil produksi kita sudah beredar dan dipakai oleh banyak orang di AS. "Berlebihankah?" Ya itu berlebihan. Itu cuma tinggal menjadi mimpi bila kita masih bermental anak mami. Anak yang selalu mendapatkan apapun dengan cara merengek. . . . RAHAYU Karto Bugel
Kamis, 05 November 2020
SUDAH SAATNYA ANAK MAMI KENA GEBUK OMNIBUS LAW
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar