DENGUNG SUARA DWI FUNGSI ABRI, MULAI TERDENGAR . Trauma psikologis adalah jenis disfungsi jiwa yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa traumatik. Ketika trauma yang mengarah pada gangguan stres pasca trauma, disfungsi mungkin melibatkan perubahan fisik dan kimia di dalam otak. Itu akan mengubah respon seseorang terhadap stres masa depan. Paijo benar tak lagi ingin naik kendaraan. Tak ada lagi sisa, apa itu pikiran baik tentang fungsi kendaraan sebagai sarana yang mampu membantunya bergerak lebih cepat dari satu tempat ke tempat lain. Dia kapok. Dia pernah hampir mati gara-gara mobil yang dia tumpanginya kecelakaan. Ban kiri depannya meletus dan membuat mobil itu masuk jurang sedalam 30 meter. Lebih dari 10 jam evakuasi yang dibutuhkan para penolongnya telah menumbuhkan benih trauma. Dia terjebak pada pikiran hidup dan mati dalam ruang sempit mobil yang hancur dan suara mesin gergaji memotong apapun dari bagian mobilnya demi mengeluarkannya dari sana. Sejak hari itu, cara hidupnya benar-benar berubah. Dia bukan lagi Paijo yang dulu. Dia telah menjadi seseorang yang curiga terhadap apapun bernama kendaraan. Demikian pula suara mesin gergaji. Suara seperti itu selalu menarik seluruh ingatannya pada peristiwa mengerikan tersebut. Tak berbeda dengan trauma pribadi, sebuah masyarakat pun memiliki apa itu trauma kelompok. Trauma oleh sebab kejadian yang menimpa mereka dalam periode tertentu dan kemudian ditimpali bunyi suara yang tak membuat mereka nyaman. Suara dengan intonasi dan frekuensi tercatat pada ruang bawah sadarnya. Suara yang dengan mudah akan menariknya pada peristiwa horor yang pernah mereka takuti. Suara tak asing itu kini sedang mereka perdengarkan. Dwifungsi. Siapa tak trauma dan takut? Hanya mereka yang tak mengalami peristiwa dimana makna dwifungsi ABRI pernah menjadi momok itu. Namun sebagian besar dari kita masih ingat dengan jelas apa itu hantu bernama dwifungsi. Ketika Pangdam Jaya mengambil tindakan yang tak pernah dilakukan mereka yang seharusnya, frekuensi suara yang terdengar seperti nada menakutkan itu, mereka coba putar. Seolah sengaja, suara itu kini makin diperkeras demi maksud diinginkan. Ingat trauma masa lalu. Trauma ketika pada jaman Orde Baru, militer mengambil semua jabatan yang seharusnya milik sipil. Jabatan Lurah, camat, Bupati hingga Gubernur biasa diperuntukkan bagi mereka demi apa itu dwifungsi. Dua fungsi Abri sebagai fungsi masyarakat sekaligus fungsi militer. Pak Harto memberi peran militer demikian kuat demi benteng kokoh yang ingin dibangun mengelilinginya. Hasilnya, masyarakat merasa selalu diawasi dan dianggap sebagai sumber berbahaya berasal. Penangkapan bergaya militer bagi mereka yang tak taat, sering dan mudah terjadi saat itu. Itulah bangunan kemasyarakatan kita dahulu ketika diktator bernama Soeharto menciptakan dwifungsi Abri. Apakah Abri atau militer harus dikandangkan atau dikembalikan ke barak, pernah hal tersebut menjadi perdebatan sengit saat orde Reformasi berkuasa tahun 98. Trauma Paijo tak lagi mempergunakan kendaraan, adalah trauma berlebihan dan tak seharusnya terjadi. Bukan salah mobil itu, tapi kenapa pengemudi tak peka dan teliti terhadap kondisi ban itulah yang seharusnya menjadi cara kita berkoreksi. Bukan kepada TNI kita harus trauma, kepada mereka yang memanfaatkan secara ngawur lembaga TNI itulah kita harus harus waspada. TNI yang sempat digudangkan, memberi celah bagi kegilaan tak kenal takut untuk menghina dan memporak porandakan tatanan hidup berbangsa dan bernegara kita. Dan itu sungguh mulai terasa saat hukum seolah tumpul bagi kelompok yang selalu bergerombol dan berbaju agama bernama Efpei. Polisi sering dibuat tak berdaya dan lalu semuanya seolah benar bila Efpei yang bertindak. Baliho bergambar sang junjungan yang dalam beberapa kesempatan terlihat disembah dan dimuliakan, kini dimusnahkan. Kodam Jaya berada dibalik perintah itu, dan mereka yang marah membunyikan ketakutan akan dwi fungsi Abri yang akan dihidupkan oleh Jokowi. "Haruskah kita abai?" UU No 34/2004 tentang TNI dan peran sertanya dalam Operasi Militer Selain Perang telah memberi baju bagi TNI bergerak secara lebih luwes. TNI atau militer, tidak lagi sekedar menjadi institusi perang. Ada keikutsertaan militer dalam kehidupan bernegara dalam keadaan non perang. Kita dapat berdebat panjang lebar tentang hal tersebut. "Trus kenapa Koopsus bikin sensasi di Petamburan dengan membunyikan sirine di depan markas mereka?" Wajarkah teriakan penggal kepala oleh seorang yang memiliki anggota militan yang berjumlah tak sedikit? Jelas sangat berbahaya. Teriakan penggal kepala adalah bukti nyata tindakan provokasi dengan maksud membuat ketakutan masyarakat. Sementara, menurut US Department of Defense tahun 1990, Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau ideologi . Disisi lain, Koopsus dibentuk sebagai jawaban atas di undangkannya UU no 5 tahun 2018 yakni perubahan atas UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Secara tegas Undang-Undang tersebut mengatur bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI yaitu penangkal, penindak dan sebagai pemulih. Adakah hal salah dilakukan oleh Koopssus, jelas tidak! Itu adalah jawaban atas kotbah dengan narasi penggal kepala. Kotbah yang dengan mudah dapat diidentifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum dengan teror. Sayup-sayup, dari kejauhan, suara dari seorang yang memiliki kumis yang cara nempel di tempatnya terlihat wagu, tampil membela si pengkotbah, "ada yang salah dengan sistim demokrasi kita", demikian ucapnya seolah malu ingin menyindir. Di tempat lain, pak kumis juga berucap " ada kekosongan pemimpin". Jelas, ucapan ini sangat terkait dengan TNI bergerak dan Presiden yang dianggap tak tepat membiarkan gerakan TNI tersebut. Ya, pak kumis seolah ingin berkata, "ada gw, lo mau apa? Berani?" Semakin jelas kemana isu ketakutan akan peran TNI yang menjadi lebih nyata dalam peran OMSP. Isu itu akan terus dibelokkan pada ketakutan penggunaan TNI dan kembali pada dwi fungsi Abri seperti dulu pernah. Meski terdengar aneh, isu itu akan terus mereka gaungkan. Meski tak pernah sedikit pun itu terdengar wajar, akan tetap mereka paksakan. Bagi Jokowi, peran militer memang sudah seharusnya terlibat dalam banyak Operasi Milter Selain Perang pada masa tak menentu yang terjadi di dunia saat ini, apalagi saat bencana atau pandemi Covid-19. TNI akan turun gunung saat bencana banjir bandang misalnya, dengan cangkul dan perangkat yang sesuai. Dengan perangkat yang sesuai pula ketika bencana nasional Covid-19 dimaknai dengan pembangkangan. Tak ada yang salah dengan gerakan itu. Hanya mereka yang terancam yang akan membuat isu menakutkan tentang militer di masa lalu. Tak ada TNI akan beralih pada dwi fungsi, TNI hanya mencoba untuk luwes bergerak sesuai tupoksinya berdasar UU yang dimilikinya. Haruskah Presiden takut dengan semakin banyaknya tokoh besar menunjukkan posisi berseberangan dengannya, bukan wong Solo tanpa beban yang kita kenal bila dia akan menjadi gamang. Kakinya akan semakin kokoh berdiri saat badai lebih besar datang. Dengan gaya sederhananya dia akan semakin menjengkelkan. Akan ada banyak dari mereka yang kemarin tak ingin tampak, justru keluar tanpa dimintanya. Mereka akan datang membawa serta badai yang semakin besar. Saat itulah dia akan tampil dengan murkanya yang tak pernah sedikitpun orang lain tahu dia punya, bahkan keluarganya pun pernah melihatnya. . . RAHAYU . Karo Karto Bugel
Selasa, 24 November 2020
DENGUNG SUARA DWI FUNGSI ABRI, MULAI TERDENGAR
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar