Kamis, 19 November 2020

KEMANA MEREKA YANG SEHARUSNYA BERSAMA PRESIDEN?



KEMANA MEREKA YANG SEHARUSNYA BERSAMA PRESIDEN?    .    Nggumunan" (mudah dibuat kagum) itulah penyakit kita.     Kita mudah dibuat kagum dengan apa yang kita lihat, apa yg kita dengar. Lebih parah lagi, kita melihat dan mendengar hanya yang kita ingin.    Brizieeq pulang (diusir), bukan esensi logis kepulangannnya karena faktor harus, kita berpikir. Kita lebih senang dengan memaknainya dengan teori konspirasi di belakangnya, dan maka penyambutan pada kepulangannya  luar biasa besar.    Bukankah ketika tak ada lagi tempat dapat dituju, rumah adalah satu-satunya tempat pulang? Maka persepsi jujur media Australia yang bingung, seharusnya menyadarkan kita.     Tidak, kita lebih suka "porn fugitive" hanya menjadi istilah saja dan namun persepsi kita bahwa dia pulang karena membawa misi masih kita pelihara. Kita lebih percaya apa yang akan membuat kita senang.    Mungkin benar adanya duit sekoper itu menyelamatkannya. Tapi, memaknai duit itu sebagai sarana memulangkan sang pahlawan sekaligus lawan seimbang Presiden, terlalu berlebihan.    Briezieeq bukan siapa-siapa. Sama dengan Abas, kita sudah diajak pada kondisi seolah mereka mereka berdua adalah antitesa Presiden. Tandem.mereka berdua, mungkin akan sanggup menggoyang keperkasaan Presiden.    "Loh buktinya 2 Kapolda mental kan? Kurang gedhe gimana lagi?"    Ingat kasus Asmadi Satpol PP yang sedang bertugas bersama aparat keamanan negara yang lain dalam rangka menegakkan protokol kesehatan dan namun dia yang bertugas justru harus sowan dan meminta maaf pada dia yang lain, yang diindikasikan telah melanggar?    Ada budaya tak benar mengalahkan regulasi dan itu dipelihara. Sang penguasa tertinggi daerah itu demikian hormat pada si pelanggar, dan Asmadi adalah anak buah penguasa itu bukan?    Wajar? Bagi kita hal tersebut wajar karena banyak contoh selalu berbicara seperti itu.     Dalam konteks lebih jauh lagi, dapat kita katakan bahwa untuk kasus tertentu hukum dapat kita belokkan, bahkan bila harus mengorbankan petugas benar sekalipun.     Apakah budaya seperti ini berlaku bagi tingkatan yang jauh lebih tinggi, tak dapat disangkal, ya..,itu tetap terjadi.    Dalam kasus Kapolda misalnya, bukan Kapolda dimutasi karena telah menjalankan apa yang dilakukan Asmadi sebagai aparat yang sedang bertugas dan kemudian dikorbankan. Itu sebaliknya.     Pernah mendengar sikap resmi atau paling tidak dukungan DPR kepada pemerintah terhadap kasus kepulangan Briezieeq hingga pesta besar yang memancing polemik itu? Mereka diam.    Apa yang akan diterjemahkan oleh Kapolda misalnya, ketika banyak orang diam dan bahkan partai pendukung pemerintah pun diam?    Bagaimana seandainya mereka tegas dan bergerak sebagaimana mestinya aturan berkata, namun nantinya akan berlaku seperti peristiwa Asmadi misalnya?    Bukankah parameter mereka adalah sikap diam banyak pihak, dan diam adalah sesuatu yang sulit disimpulkan? Dan mereka yang diam adalah termasuk orang-orang yang sangat dihormati Presiden?    Ingat, bahkan seorang Kapolri pun duduk di sana karena usulan DPR bukan? Usulan siapa-siapa di balik orang-orang kuat di Partai Politik?    Bahwa seharusnya tupoksinya adalah tunduk pada hirarkhi dan di luar sana ada yang sedang mencoba meremehkan Presiden hingga melawan hukum dan maka harus tegas, tak menjamin mereka tak akan di tegur oleh semua yang sedang diam?    Mereka memilih bersikap tak seperti Asmadi dan namun hasilnya tak terlalu berbeda dengannya. Bukan disuruh minta maaf tapi dimutasi oleh Kapolri.     Jangan pula mudah kita menterjemahkan bahwa mereka dimutasi karena dekat dengan Briezieeq misalnya. Itu jahat dan ngawur.    Kegamangan yang diciptakan. Rasa mendua dalam sistem politik di negara ini sudah menjadi budaya.    Dan ketika akhirnya Presiden bersikap dengan bukti dimutasinya dua orang Pati dan dua orang Pamen, mereka gagap. Mereka baru tahu harus bersikap bagaimana.    Pangdam langsung memberikan perintah tegas. Mendagri pun akhirnya kita dengar suaranya.    Bukan Presiden harus berhadapan dengan seorang Briezieeq, terlalu berharga posisi itu. Petugas keamananlah yang seharusnya menterjemahkan apa dan bagaimana seharusnya.     Tupoksi aparat keamanan kini sedang dikembalikan pada tempat di mana seharusnya. Bahwa harus menelan korban dua orang Kapolda, mungkin itulah harga yang harus ditebus.    Bukan Presiden harus mendepak seorang Abas, tupoksi Mendagri dan jajarannyalah seharusnya membuat evalusasi.    "Mungkinkah ini saat tepat untuk menjatuhkan Abas?"    Menempatkan Briezieeq dan Abas sebagai lawan head to head Presiden dan orang yang sangat kuat di negeri ini, jelas mimpi di siang bolong. Terlalu berlebihan.    Sekenario bahwa di belakang mereka ada orang-orang yang berusaha menghancurkan Jokowi mungkin benar adanya, namun mereka adalah musuh-musuh Jokowi, belum tentu benar.    Kesempatan menjatuhkan Abas sangat terbuka pada laporan pertanggung jawaban Gubernur yang kacau balau beberapa saat yang lalu. Siapa yang datang dan menyelamatkan? Fraksi PDIP sebagai partai memiliki kursi terbesar di DPRD DKI.    Empat fraksi di DPRD DKI Jakarta walkout saat rapat paripurna laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P2APBD) DKI 2019 yang disampaikan Gubernur, namun tidak dengan Fraksi PDIP.    "Bagi kami, cukup, tidak perlu keluar, tapi evaluasi," kata Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono saat itu.    Demikian pula hari ini, kita tak dengar suara para politisi dengan kendaraan partainya masing-masing. Mereka semua sedang mengheningkan cipta.     Apa isi doanya? Untuk Abas, riezieeq atau justru Jokowi? hanya mereka yang tahu. Yang kita tahu mereka tak bersuara.    Kemana cerita ini ingin dibawa, monggo dipakai sebagai bahan perenungan. Ini politk bukan 2+2 adalah 4.     Sepertinya, Briezieeq dan Abas memang benar hanya proxy, tapi memaknai proxy-nya si A dan si B saja, sepertinya terlalu prematur.    Sangat mungkin Jokowi memang bukan profil yang disukai mereka yang kini duduk di singasana-singasana kemewahan yang melambangkan keangkuhan dan benar. Namun bukan cuma musuh yang membencinya, bahkan banyak kawan yang seharusnya berdiri disampingnya dan kini sedang memunggunginya.    "Trus gimana kira-kira nasib Briezieeq dan Anas kedepannya?"    Seandainya keduanya tamat, selalu ada proxy baru akan mereka bangun. Bahwa akan dengan pola baru dan pendana yang akan terpecah kepentingannya, itulah realitas berpolitik.    Para pembantunya sudah pada di kasih tahu kepada siapa seharusnya mereka bekerja. Bila pada "ngeh", ke arah negara ini kondusif sebagai lahan orang bekerja seharusnya menuju.    Benar Jokowi adalah pemegang tongkat komando, namun banyak dari para pembantunya dapat duduk di sana karena sebab pihak lain yang juga memiliki kekuasaan sangat tinggi. Kepada siapa mereka harus mengabdi, hmm..��. Kita lihat saja.    Yang jelas rakyat ada di belakangnya. Itu bukan basa basi. Meski banyak dari mereka adalah yang "nggumunan", banyak dari mereka adalah mereka yang hanya senang pada yang ingin mereka lihat dan dengar saja, bukan masalah. Mereka tetep militan bila tentang Presiden yang satu ini.  .  .  RAHAYU  .  Karto Bugel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar