Achmad Mukafi Niam
Di tengah pandemi, saat masyarakat diminta untuk menghindari kerumunan, saat dunia usaha yang menopang hidup banyak orang diminta untuk membatasi usahanya, tiba-tiba saja organisasi yang merasa dirinya memiliki massa banyak secara demonstratif menggelar acara besar-besaran di Jakarta dan Bogor. Pemimpin lokal ataupun aparat keamanan yang menguasai wilayah tersebut seolah-olah tak berdaya menghadapi tekanan tersebut.
Situasi tersebut jelas melukai orang-orang yang selama ini mematuhi protokol kesehatan dengan susah payah demi menjaga kepentingan bersama. Pembiaran ini juga menunjukkan sikap pilih kasih antara orang-orang biasa dengan orang yang dianggap memiliki massa besar dan pengaruh politik.
Jika hal tersebut terus dibiarkan maka potensi ketidaktaatan hukum akan meluas ketika orang-orang biasa, apalagi mereka yang memiliki pengaruh, akan melakukan tindakan yang serupa. Toh kalaupun didenda, jumlahnya tak seberapa. Kekacauan pun akan timbul di mana-mana. Upaya penanganan pandemi akan berantakan dengan korban-korban berikutnya yang seolah-olah sudah menunggu.
Sikap pemerintah yang tegas dengan memberhentikan kapolda di DKI Jakarta dan Jawa Barat serta beberapa orang jajaran di bawahnya memberi pesan bahwa aparat keamanan daerah tidak boleh main-main dalam mengatasi masalah ini.
Pernyataan tegas dari Pangdam Jaya Dudung Abdurachman yang meminta prajurit untuk membersihan atribut-atribut berbau provokasi yang dipasang sembarangan, yang tidak mampu diselesaikan oleh satpol PP secara psikologis memberi pesan kepada ormas tertentu yang selama ini merasa berkuasa untuk tahu diri. Efek psikologis ini akhirnya menumbuhkan keberanian satpol PP di Makassar dan sejumlah kota lainnya untuk melakukan pembersihan yang sama.
Rakyat selama ini sudah muak dengan kegaduhan yang terus-menerus timbul di ruang publik. Kebebasan berbicara dimanfaatkan untuk menyampaikan apa saja, bahkan tanpa batasan dan etika untuk menghormati orang atau kelompok lain. Bahkan narasi "bunuh" atau "penggal kepala" pun muncul dengan mudahnya. Kritik tentu sama sekali berbeda dari ujaran kebencian atau provokasi permusuhan. Yang pertama dilindungi undang-undang, sementara yang kedua bisa mengganggu kerja-kerja membangun negeri ini.
Perang kata-kata dan debat kusir yang tak berkesudahan terjadi di mana-mana, bahkan difasilitasi oleh media untuk kepentingan rating dan iklan. Namun apa yang disampaikan sebagian besar adalah pernyataan sampah yang justru mengganggu soliditas bangsa.
Supremasi sipil dengan kebebasan berbicara ternyata telah ditunggangi oleh gerakan garis keras yang menjadikannya sebagai panggung menebar pengaruh dan ketakutan. Dan sayangnya, kelompok-kelompok yang selama ini memperjuangkan HAM dan demokrasi tak berkutik oleh kerasnya suara kelompok tersebut, apalagi diiringi dengan gerakan massa untuk mendukung pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh pemimpinnya.
Celakanya, beberapa politisi memanfaatkan kelompok garis keras yang memiliki massa tersebut untuk keuntungan politiknya, demi menopang kekuasaannya saat ini atau untuk meraih target jabatan politik yang lebih tinggi di masa depan. Karena itu, ketika ada pelanggaran-pelanggaran, cenderung didiamkan, bahkan malah difasilitasi. Jajaran birokrasi yang ada di bawah kekuasaannya hanya bisa mengikuti kemauan para politisi yang berkuasa.
Negara sebelumnya telah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia yang jelas-jelas mengampanyekan ideologi khilafah di Indonesia. Gerakan ini menyusup melalui kampus-kampus favorit untuk memperoleh kader. Para kader yang ditanam di kampus tersebut pelan-pelan masuk ke jajaran pemerintahan, BUMN, atau lembaga strategis lainnya. Mereka memanfaatkan kebebasan berbicara dan kebebasan berserikat untuk meruntuhkan NKRI. Beruntung negara segera mengambil tindakan sebelum gerakan ini membangun pengaruh yang lebih besar.
Kebebasan yang diizinkan di negeri ini pun tetap harus dalam ranah untuk menjaga dan mengembangkan Indonesia berdasarkan Pancasila. Kebebasan yang tanpa mengindahkan batasan bukan malah membawa kebaikan, melainkan menimbulkan potensi meruntuhkan bangunan negara yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa oleh para pahlawan ini. Penggunaan sentimen agama untuk agenda politik tertentu telah terbukti menimbulkan kekacauan di Timur Tengah. Kita bisa belajar dari Suriah, Libya atau negeri lain yang hingga kini belum mampu keluar dari lingkaran kekerasan yang terus memakan korban nyawa; generasi muda yang tanpa harapan; perempuan dan anak-anak yang terus mengalami ancaman; dan sederet persoalan lainnya. Semua hal tersebut bermula dari kampanye sentimen agama. Gerakan dengan pola yang sama di Indonesia dari awal harus dicegah perkembangannya.
Namun demikian, tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan harus tetap terukur dalam koridornya. Kita pernah mengalami supremasi militer selama Orde Baru yang mengekang kebebasan. Jangan sampai hal tersebut terulang kembali akibat masyarakat sipil tidak mampu menjaga ruang-ruang demokrasi ini berjalan dengan baik. Rakyat sudah lelah dengan perdebatan tak berujung di ruang-ruang publik, yang semua pihak mengklaim membela kepentingan rakyat, namun ujung-ujungnya hanya untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Rakyat telah sibuk mengurusi kehidupan sehari-hari yang berat ini. Yang mereka inginkan adalah perbaikan kondisi negara ini, bukan sekadar perdebatan atau janji-janji politik yang kebanyakan palsu.
Mari suasana kondusif yang kembali tercipta setelah sempat hiruk-pikuk ini tetap kita jaga. Jangan sampai kita terprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasan sementara kita masih menghadapi pandemi yang telah melumpuhkan kehidupan rakyat. Mari kita fokuskan pikiran dan energi bangsa ini untuk menyelesaikan persoalan berat tersebut agar segera selesai.
(Achmad Mukafi Niam)
Tentang NU Redaksi Kontak Kami Download © 2020 NU Online | Nahdlatul Ulama
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar