Jumat, 31 Juli 2020

Sejarah Pengharaman Babi di Timur Tengah

Oleh : Sumanto Al Qurtuby

"Kuliah Virtual" ini melanjutkan postinganku yang sempat tertunda tentang asal-usul pengharaman babi dalam tradisi Yahudi kuno atau Bangsa Israel Alkitab (Israelite). Tradisi pengharaman atau pengtabuan babi oleh kaum Israelite ini--seperti termaktub dalam berbagai ayat dalam Kitab Suci mereka--kemudian dilanjutkan oleh Islam seperti dengan tegas disebutkan dalam Al-Qur'an.

Bagi yang belum membaca postinganku sebelumnya mengenai "bab perbabian" ini, silakan dibaca dulu postingan yang berjudul "Babi, Ayam dan Agama Semit" (bagian 1-2) supaya kuliah ini nyambung.

Seperti saya jelaskan sebelumnya, "penjelasan teologis" atas dasar-dasar argumentasi pengaharam babi ini (baik dalam Taurat/Talmud-nya Yahudi maupun dalam Al-Qur'an dan kitab-kitab hukum Islam) sangat "menggelikan", rapuh dan tidak memadai serta sangat tidak rasional dan bertolak belakang dengan fakta-fakta sosial-kesejarahan peradaban umat manusia.
 
Sementara itu, bagi pemeluk Islam (atau Yahudi) kebanyakan, sering kali menghindar jika dimintai penjelasan mengenai alasan mendasar, "rationale" dan asal-muasal sejarah pengharaman babi. "Pokoknya Tuhan (baik Allah maupun Yahweh) telah melarang si babi untuk dimakan. Jangan tanya macam-macam lu, goa kepret nyahok lu." Ya ya haram. Tapi kenapa kok babi yang jadi "korban" dan "pesakitan": diharamkan dan "dibabihitamkan"? Kenapa bukan kuda nil, buaya, badak, monyet, tapir, macam, atau komodo he he?

Sebagai ilmuwan sosial, khususnya antropologi, saya tidak bisa "berdiam diri" melihat hal-ikhwal yang sepertinya menarik untuk diselidiki. Jika memang alasan pengharaman itu karena daging babi mengandung banyak penyakit yang berbahaya buat tubuh manusia sehingga bisa menyebabkan "kematian dini", kenapa orang Cina (Tiongkok) dan Jepang (dan kawasan Asia Timur lain) yang hobi mengonsumsi daging babi umurnya panjang-panjang dan hidupnya sehat wal afiat?
 
Teman-teman Kristen-ku di Indonesia (dari Ambon, Manado, Papua, Batak, Flores, dlsb) yang suka makan "rica-rica babi" juga badannya gede-gede, kuat-kuat dan segar-bugar. Daging babi memang sumber protein yang aduhai dan konon rasanya juga aduhai.

Menarik untuk diketahui bahwa meskipun Islam masuk ke Tiongkok sudah sangat lama sejak zaman Sahabat Nabi (jauh lebih lama ketimbang masuknya Islam di Indonesia) bahkan Islam pernah menjadi penguasa politik di Tiongkok" (misalnya Dinasti Yuan dan Ming) tetapi kenapa agama Islam tidak mampu merebut hati dan pikiran mayoritas warga Tiongkok (khususnya etnis Han) kecuali hanya sebagian kecil kaum Hui dan Uighur saja di beberapa kawasan China Selatan maupun Barat?

Jawabannya sangat simpel: karena Islam melarang pemeluknya memelihara / mengternak babi dan mengonsumsi dagingnya sementara Tiongkok adalah salah satu pusat produksi babi terbesar dunia dan masyarakat Tiongkok sejak zaman dahulu kala tidak bisa dipisahkan dengan "dunia babi". Jika warga Tiongkok menolak menjadi Muslim karena "keberatan berpisah dengan babi," sejumlah warga Muslim Berber di Pegunungan Atlas di Maroko (seperti pernah ditulis oleh Carlton Coon dalam buku klasiknya yang cemerlang: "Caravan") tetap memelihara babi dan mengonsumsi dagingnya. Setiap pagi-sore, babi-babi peliharan warga setempat digembala di hutan-hutan sekitar dan dibawa pulang jika malam telah tiba.
 
Karena alasan-alasan yang dikemukakan dalam berbagai teks keagamaan tentang pengharaman babi tidak memadai (silakan simak postinganku sebelumnya), maka perlu dicari penjelasan lain yang lebih sedikit "masuk akal." Berdasarkan kajian "antropologi sejarah" dengan diperkuat oleh bukti-bukti arkeologi kehidupan masyarakat Timur Tengah zaman bahula, alasan mendasar dari Bangsa Israelite yang kemudian mengharamkan babi adalah karena (1) faktor ekologi dan (2) faktor ekonomi.

Masalah pengtabuan babi ini harus dilihat dalam konteks Bangsa Israelite yang merupakan "bangsa pastoral nomad" ("nomadic pastoralists" atau "pastoral nomads") yang hidupnya berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain mengikuti iklim/cuaca yang berkembang. Ini persis seperti komunitas Arab Badui (Arab Bedouins) yang kemudian memperkenalkan Islam di Jazirah Arab. Nah, si babi ini dipandang tidak cocok dengan iklim gersang dan kering-kerontang Timur Tengah serta "gaya hidup" dan "sistem ekonomi" suku-suku nomadik (baik Israelite maupun Arab Badui).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar