Senin, 27 Juli 2020

ADA APA DENGAN KITA

Untuk kita renungkan ...

Kemana arah kebersamaan kita sebagai sebuah masyarakat akan berakhir, tak terlalu sulit membacanya.

Dulu, dengan iri banyak orang bercerita tentang  kita. Dengan kagum mereka menceritakan keramahan kita. Senyum, sapa, bahkan lengan baju langsung kita singsingkan ketika ada yang membutuhkan. Kita ..., luar biasa.

Kemarin, belum terlalu lama jarak ingatanku tersimpan, tangisan pilu seorang anak menguburkan orang tuanya terdengar sangat memilukan.

Bukan dia menangis karena ayahnya telah pergi, dia tak mampu menguburkannya.Tak cukup tetangga membantu mengangkat peti mati ayahnya, karena dia berlainan agama dengan banyak tetangganya.

Seandainya si anak adalah laki-laki, dan jasad sang ayah meninggal tak terlalu berat, mungkin akan dia panggul. Dia akan bawa dan kubur sendiri jasad itu disamping makam ibunya yang telah dipanggil lebih dahulu beberapa tahun sebelumnya.

Tidak ..., anak tunggal itu seorang perempuan dengan badan yang juga tak terlihat kuat mengangkat meski seekor kambing. Dia hanya menangis tak tahu harus berbuat apa.

Mereka, para tetangga tak mengangkat peti itu karena ajaran barunya. Dosa dan najis baginya mengantarkan, apalagi mengangkat jasad mereka yang tak sepaham.

Hanya tinggal beberapa gelintir saja tetangganya yang masih waras, namun tak cukup mengangkat peti itu dari empat sudut.

Mungkin ..., tak lama lagi kita akan mulai sering menyaksikan seorang ibu membawa jasad anaknya, ayah menggendong jasad putrinya dan kita membopong jasad istri kita, adik kita kakak kita berjalan menuju peristirahatannya yang terakhir.

... Kita sudah berubah.

Mereka sedang berusaha menghukum kita karena kita tidak mau sepaham. Mereka sedang memojokkan orang tak sepaham dengan banyak cara.

Peristiwa yang tak terlalu berbeda kini dialami oleh Djuwita Djatikusumah Putri, yang merupakan putri dari Pangeran Djatikusumah, salah seorang pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan di Kuningan.

Bukan keluarga tersebut tak mampu membawa jasad sang ayah, namun kuburannya kini dipermasalahkan. Tak sesuai dengan dalil segelintir mayoritas berpaham baru. Iman mereka tak mentolerir. Makam itu dianggap salah.

"Gila ...??"

Tidak ...! Bukan kaum aneh itu yang gila! Suka-suka mereka dengan iman mereka. Terserah mereka dengan paham barunya. Urusan mereka !!!

Kegilaan justru terletak pada negara. Pemda sebagai kepanjangan tangan negara adalah pihak paling bertanggung jawab. Mereka dipilih dan diangkat oleh sistem demokrasi kita bukan untuk menjadi pelacur. Menjual badannya demi nafkah.

Mereka, Pemda, benar telah melacurkan diri demi dirinya sendiri. Pemda memilih jalan paling mudah, paling aman hanya demi kepentingan badannya sendiri. Mereka tidak mau ambil resiko menegakkan keadilan dan kebenaran sesuai hukum. Mereka takut terhadap kaum aneh itu. Mereka hanya mencari aman bagi badannya sendiri. Mereka, pengecut.

Kini, para penganut Sunda Wiwitan, kepercayaan lokal, agama asli orang Sunda yang berusia ribuan tahun itu harus kembali berjuang. Bukan hanya melawan kegilaan kaum berpaham baru segelintir saudaranya, mereka juga harus bersiap dibenamkan lebih dalam lagi oleh negara.

Kemana arah kebersamaan kita sebagai sebuah masyarakat akan berakhir, tak terlalu sulit membacanya bila cerita seperti itu tak kita lawan.

Apakah kita akan diam? Saya akan terus bersuara.

Saya hanya ingin keramahan kita Nusantara bukan tinggal cerita masa lalu yang menjadi dongeng bagi anak dan cucu, dan kita tuturkan dengan linang air mata.

Saya hanya ingin kebersamaan kita sebagai sebuah masyarakat menjadi nyata dan hidup ditengah kita.

Saya, anda, dan kita semua tak pantas menuju era dimana kita akan menggendong sendiri jasad ibu, ayah, anak, istri dan suami kita menuju liang lahat hanya karena saat ini, SEKARANG,  kita abai, KITA DIAM.

Mungkin anda dan saya tak kenal satu dengan yang lain, namun ketika senyum dan sapa saling kita berikan kepada siapa saja saat kita berpapasan, sama seperti yang biasa dilakukan orang tua kita dahulu, mungkin saya, anda dan kita telah berkenalan dan saling bersapa dalam kemanusiaan.

Itulah seharusnya kita, itulah seharusnya Indonesia kita.

Rahayu
Karto Bugel


Tidak ada komentar:

Posting Komentar