Tetap Teguh dan Tegar, Kita Terima Dengan Lapang Dada
Entah berapa kali saya pernah merasakan tiba-tiba dada terasa hampa. Perasaan dan pikiran kosong. Menangis panjang sesunggukan. Meronta memukul dinding kamar mandi. Penyebabnya karena kehilangan orang yang dicintai.
Saya masih ingat pertama kali kehilangan dan pijakan goyah ketika abang kandung tertua saya meninggal dunia pada 2005. Usianya masih muda, 42 tahun. Ia seorang guru yang tulus dan lurus. Meninggalkan dua anak yang masih kecil. Sakit liver akut bertahun tahun mengalahkan fisiknya. Ia meninggal dalam sakit tak tertahankan di rumah sakit. Di sana saya merasa hampa dan sedih. Seakan Tuhan tidak berpihak padaku.
Kedua saat kakak tertua saya meninggal dunia karena kanker. Saat mengetahuinya terkena kanker, seketika saya terkejut. Terlambat Ia memberitahu. Ia lebih membiarkan benjolan itu membesar. Ketika sudah stadium 3 baru Ia mengeluh. Saya membawanya ke RS Hospital Malaka, Malaysia.
Dari pinggiran kota Medan, Ia naik kendaraan ke Bandara Kuala Namu. Dari sana terbang ke Batam. Dari Batam naik ferrry ke Johor Malaysia. Lalu naik bus ke Malaka. Di sana perobatan diberikan. Hampir setahun. Bolak balik.
Pada 2014, Ia menghembuskan nafasnya saat menerima kemoterapi di RS Martha Friska Medan. Hampa. Gelap. Perih. Sedih. Getir. Itu yang kurasakan saat seorang perawat mengabarkan keadaan.
Dalam perjalanan hidup, sering kali kita merasa kalah dan merasa dikalahkan ketika harapan dan milik kita hilang. Kita merasa Tuhan tidak berpihak kepada kita. Kita merasa semua perjuangan kita sia sia.
Kita merasa Tuhan menjauh dari doa pengharapan kita. Kita bertanya mungkin lebih tepat marah Mengapa Tuhan orang baik ini engkau izinkan sakit kanker menderita sedemikian perih? Apa salah dan dosanya? Mengapa Tuhan tidak menolong?
Hari ini pertanyaan itu kembali lagi saya ajukan kepadaNya. Tuhan mengapa Engkau izinkan orang baik jujur Basuki Djarot kalah dalam melayani rakyat Jakarta? Tidakkah Engkau mendengar doa-doa orang berseru padaMU? Memohon welas asihMU?
Pada titik kelimbungan akan kehilangan orang yang saya cintai itu saya tersadar bahwa semua ikhtiar, doa, pengharapan dan usaha keras kita adalah wujud lahiriah kita yang sejatinya harus seperti itu.
Selagi hayat masih di kandung badan jika kita menyerah dan menerima nasib adalah karakter pengecut. Maka seorang petarung tidak akan pernah mundur dan menyerah saat memperjuangkan hidup mati orang yang kita cintai sekalipun hasil akhirnya kita harus menangis berurai air mata.
Hari ini buat saya, kekalahan memenangkan Ahok Djarot jelas membuat dadaku serasa hampa. Sedih dan menangis. Mungkin sama seperti teman-temanku pendukung Ahok Djarot lainnya yang memberikan hati dan pikirannya menyuarakan Basuki Djarot tiada henti tiada letih.
Sama seperti takdir yang kita terima pada saat waktu kita tiba, demikianlah garis tangan Allah Yang Maha Kuasa yang telah digariskannya atas hasil pilkada DKI Jakarta Periode 2017-2022 ini.
Suka tidak suka, mau tidak mau, marah semarah marahnya kita harus terima hasil ini. Inilah nilai demokrasi yang kita sepakati. Hal ini sejatinya membuktikan bahwa kita bisa saja bermimpi akan nilai idealisme dan gagasan besar tetapi semua akan kembali kepada kehendakNYA.
Sama seperti ketika kita kehilangan orang yang kita cintai, begitulah seharusnya penerimaan kita akan hasil akhir pilkada DKI Jakarta ini. Garis tangan telah di tulis oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Selamat atas kemenangannya Anies Sandi atas hasil Quick Count ini.
Selamat berkarya di ladang pengabdian baru kepada Basuki Tjahaya Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.
Semoga Tuhan memberkati kita
Birgaldo Sinaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar