Rabu, 11 Mei 2022

Mengapa pemerintahan Tiongkok tidak pernah 'bermulut besar' seperti Amerika Serikat

Tulisan sobat Peter Gontha👇🏽, meng-amin-i pendapat Prof. Mahbubani tentang meritokrasi yang di-posting-kan Joe-xiong ini☝🏽:
----------------------------------

Mengapa pemerintahan Tiongkok tidak pernah 'bermulut besar' seperti Amerika Serikat meski sudah menjadi negara maju dan kuat?
David Widihandojo

Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada perbedaan tuntutan masyarakat atas kualitas pemimpin, khusus antara AS dan Tiongkok perbedaannya terletak pada:

AS adalah masyarakat idealis & religius;
masyarakat religius menyukai simbol, slogan dan berbagai bentuk komunikasi verbal seperti pidato, khotbah dsb.

Itu sebabnya para pemimpin politik di masyarakat religius suka bermain kata-kata dengan slogan dan simbol, serta mereka serius mengembangkan berbagai teknik komunikasi publik (public speaking).

Masyarakat religius tidak terlalu peduli pada prestasi, kinerja

Jika masyarakat AS serius terhadap kinerja tentu Trump akan tersingkir dan Hillary Clinton menjadi pilihan utama.

Perhatian masyarakat religius lebih pada kesamaan agama, slogan dan simbol politik yang merefleksikan keyakinan/agamanya, atau nasionalisme dalam arti yang sempit.

Sebagai contoh, dukungan AS kepada Israel selalu dikaitkan dengan nubuat kedatangan Yesus yang kedua kalinya - yang diyakini oleh kelompok ekstrim kanan AS yang mendominasi Partai Republik - akan terjadi di Yerusalem.

Jadi Yerusalem harus ditangan orang Yahudi atau Kristen guna menyambut Yesus.

Bayangkan saja konsep keagamaan Christian-centric semacam ini muncul di narasi politik modern, serta diyakini secara meluas di AS, negara maju yang multi ras/kultural dan adikuasa dunia.

Itulah sebabnya para pemimpin politik di AS (masyarakat religius) jauh lebih sibuk dengan pencitraan diri, tampil sana tampil sini, sapa, senyum serta sesekali humor.

Aktif di media sosial dan rajin merangkai kata-kata.

Semua ini adalah tuntutan/harapan dari masyarakat itu sendiri, sehingga masyarakat merasa dekat dan puas, serta mengalirlah kata-kata: inilah pemimpin yang baik.

Lalu bagaimana dengan kinerja?
Janji tidak dipenuhi?
Cukup buat alasan, toh masyarakat juga tidak peduli.

Masyarakat Tiongkok pragmatis & sekuler, mereka fokus pada kinerja, prestasi dan perilaku & karakter serta tidak peduli pada omongan.

Bagi orang di Tiongkok, pemimpin harus memiliki kinerja yang sangat bagus dan perilaku & karakter yang terpuji dan tidak perlu pintar omong.

Bahkan penilaian kepada orang yang pintar omong cenderung negatif, misalnya saja komentar yang sering saya dengar dari teman/rekan di Tiongkok: "Hanya penipu yang pandai omong."

Salah seorang teman, dosen di AS dan sangat "doyan" kotbah (preaching) terutama masalah HAM dan demokrasi.

Suatu hari dia berceritera pengalamannya dengan sekelompok dosen muda Tiongkok.
Setelah dia dengan semangat membawakan "kotbahnya" tentang HAM dan demokrasi.
Salah seorang dosen muda Tiongkok itu merespons, "Apa yang kamu katakan itu, lakukanlah!"

Lalu mereka "ngeloyor" pergi begitu saja, meninggalkan teman saya yang kebingungan, karena tidak siap dengan respons semacam ini.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat Tiongkok hanya yakin pada, "Apa yang dilakukan, bukan apa yang dikatakan."

Mereka tidak tertarik pada gagasan mulia keagamaan namun lebih melihat perilaku umat beragama.
Mereka tidak tertarik pada pidato-pidato politik yang berisi janji-janji atau kuliah ideologi liberal, HAM, demokrasi dsb namun mereka sangat peduli pada apa tindak lanjut yang dilakukan pengkotbah/tukang pidato itu.

Itulah sebabnya para pemimpin politik Tiongkok tidak mengembangkan kemampuan berpidato (public speaking) dan benar-benar tidak peduli/ "cuek" dengan pemberitaan negatif media Barat.

Mengapa?
Karena masyarakat Tiongkok yakin bahwa akhirnya, "dunia akan melihat realitas yang terjadi, sedangkan omongan dan tipuan akan lenyap."

Namun yang jauh lebih penting, mereka sepenuhnya yakin rakyat Tiongkok tidak terpengaruh pada hal-hal semacam itu.

Bukan hanya para intelektual yang kritis dalam menyikapi media Barat.
Namun rakyat jelatapun kritis terhadap informasi media Barat.
Seorang teman, warga negara AS, yang bekerja di Tiongkok, bercerita pada saya tentang seorang ibu (janda) yang bekerja sebagai tenaga administrasi di perusahaannya.
Ibu ini pekerja keras dan hidup sangat hemat/sederhana demi bisa membiayai putrinya studi di AS.
Pada suatu hari ibu ini berceritera kepada dia, bahwa saat dia ke AS dia sangat terkejut melihat, kereta apinya sangat kuno dibandingkan dengan kereta yang tiap hari dia naiki untuk ke tempat kerja.
Dia juga terkejut melihat banyaknya orang yang tidak punya rumah dan kotornya stasiun kereta.
Jauh berbeda dengan stasiun kereta di Tiongkok yang sangat bersih.
Kemudian ibu ini memegang tangannya dan berkata, "Tolong sampaikan ke pemimpin Anda, bereskanlah rumah tangga Anda dulu daripada sibuk mengajari kami tentang demokrasi."

Teman saya itu terpukul sekali, katanya, "Saya malu sekali!". Sekaligus kagum, katanya lagi. "Bayangkan seorang ibu, janda, yang tiap hari hanya sibuk kerja keras demi dapat menabung untuk biaya kuliah putrinya... namun paham politik global dan mampu merespons secara kritis dan tajam... di AS sulit sekali mendapatkan orang seperti dia."

Bagi ibu ini, adanya orang miskin, kereta api yang tua, dan stasiun kereta yang kotor, adalah bukti, pemimpin yang tidak kompeten, sehingga muak dengan segenap kotbah demokrasi tsb. Itulah logika Tiongkok.

Itu juga sebabnya Deng Xiaoping tidak melangkah seperti Gorbachev, yang berpidato dengan berapi-api dengan slogan-slogan,"Perestroika! Glastnost!"
Tetapi menunjuk Xi Zhongxun, orang andalannya Deng, untuk membuat prototype/model komunitas baru.
Xi Zhongxun kemudian merancang dan memimpin sendiri Shenzhen dan sukses besar.
Shenzhen melesat cepat dan kini melewati HongKong. Reformasipun bergulir nyaman dan cepat di Tiongkok.

Segenap lapisan rakyat yakin bahwa keterbukaan akan membawa kemakmuran.
Buktinya? Lihat Shenzhen!

Deng pun tidak perlu pidato yang berapi-api dan Xi Zhongxun yang pendiam tidak perlu kerepotan meyakinkan rakyatnya.

Jadi jalan Tiongkok adalah bukan pidato yang berapi-api tapi prototype/model yang sukses.

Jadi tidak dibutuhkan tukang pidato tapi orang yang berpikir, tekun, dan bertangan dingin menciptakan prototype/model, seperti Xi Zhongxun, yang sukses membangun Shenzhen.

Kini kita dengan mudah dapat melihat model/karakter pemimpin yang cocok bagi Tiongkok, yaitu dengan melihat anak kandung Xi Zhongxun, Xi Jinping.

Seseorang yang tenang, tidak emosional, tekun dan bertangan dingin dalam membuat terobosan sehingga Tiongkok terus melaju ke depan.

Namun juga khas pemimpin Tiongkok, sangat payah dalam public speaking.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar