Jumat, 13 Mei 2022

CERBUNG (cerita bersambung) Part 8

Perasaanku tak tenang, aku terus berpikir siapa itu Nunung? Aku menikah dengannya memang bagaikan membeli kucing dalam karung, hanya karena percaya pada Ayah aku terima lamaran mereka. Tak tahu dia bagaimana, bagaimana sifatnya, adakah mantannya? Bahkan aku tak kenal saudaranya, aku hanya tahu mereka empat orang bersaudara. Laki-laki semua, akan tetapi tak pernah kenal dengan saudaranya itu katanya jauh. 

Kuletakkan HP itu di tempat semula, ketika suami datang dari kamar mandi, dia bukannya lihat HP-nya, dia justru ke belakang lihat ayam jagonya. Kuikuti dia dari belakang. 

"Apa, Dek?" tanyanya ketika aku terus memgukutinya. 

"Apa gunanya HP kalau gak dilihat?" tanyaku. 

"Siapa pula mau nelepon Abang, Dek, di tempat kami gak ada sinyal, kalau mau nelepon jalan dulu dulu puluh kilometer," kata suami. 

"Entah si Nunung misalnya," kataku seraya memperhatikan reaksi lewat wajah suami. 

"Kenapa si Nunung?" suami seketika serius, wajahnya kelihatan tegang. 

"Makanya kubilang, periksa itu HP," kataku sedikit kesal. 

Suami lalu berdiri dan langsung masuk kamar melihat HP jadul itu, aku terus mengikuti dari belakang. 

"Buka dulu SMS-nya, Dek," kata suami. 

Ah, keterlaluan ini suami, masa buka SMS pun gak pandai, atau pura-pura gak pandai. 

"Ini ni, ada SMS dari si Nunung," kataku setelah membuka HP-.nya.

"Oii, Nunung, Nunung," wajah Bang Parlin berubah jadi sedih. 

"Abang harus pulang, Dek, tolong pesan tiket bus," kata suami. 

"Aku ikut, Bang," kataku. 

"Gak bisa kau itu, Dek, nanti kau sakit malaria di sana," kata Bang Parlin. 

*Pokoknya aku ikut,"

"Jangan, Dek, nanti kau sakit," 

"Takut Abang si Nunung cemburu ya?"

"Iya, Dek, si Nunung suka cemburu," 

Wah, suami bilang Nunung suka cemburu, aku makin sakit hati, siapa si Nunung ini sampai suami begitu, dia tampak sedih sekali. Takkan kubiarkan suamiku pulang sendiri, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada pria jadul ini. 

"Pesan dulu tiketnya, Dek, kalau gak Bus, mobil travel pun jadi," kata suami lagi. 

Dengan perasaan campur aduk kuambil HP suami, mencari nomor loket bus di situ, dapat, kutelepon, ternyata tiket habis untuk hari ini. 

"Gak ada, Bang, habis, berangkat besok yang ada," kataku. 

"Harus hari ini, Dek, cari yang lain,"

Sepenting apa sih si Nunung ini, sampai tak bisa tunggu besok? aku makin penasaran saja. Ketika semua bus dan travel sudah penuh, suami sepertinya sedih sekali. 

"Nunung, Nunung," guman suami, aku justru teringat sinetron si Doel, ketika mandra memanggil Nunung. 

"Ada tau adek mobil rental, yang bisa dirental sampai ke kampung?" tanya suami kemudian. 

"Ada, tapi aku harus ikut, Bang."

"Ya, udah, segera panggil,"

Aku lalu menghubungi teman yang kebetulan supir taksi online, dia bersedia dirental sampai ke kampung, harga pun di sepakati. Kami berangkat hari itu juga.

Dalam perjalanan suami tampak gelisah sekali, aku ikut gelisah, harap-harap cemas dengan si Nunung ini. Kukirim pesan WA pada Rapi. 

(Rapet, Nunung itu kira-kira siapa ya?) 

(Madumu) 

(Yang seriuslah) 

(Kau makin lucu aja, Niyet, tanya suamimu lah, kok tanya aku?) 

"Bang, Nunung itu siapa?" tanyaku akhirnya. 

"Tunggu aja kita sampai, Dek, nanti adek tahu sendiri," jawab suami. 

Ih, sebel juga, aku mulai mencerna, dugaanku itu salah satu sapinya, akan tetapi kenapa Bang Parlin takut Nunung cemburu? 

Kami lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Medan ke kampung Bang Parlin ternyata jauh juga, tak kusangka sampai semalaman di perjalanan. Istirahat setiap tiga jam. Pagi harinya baru sampai di daerah Mandailing Natal. Kukira sudah mau sampai karena melihat banyak lembu di pinggir jalan, ternyata masih jauh, entah sudah berapa kali aku muntah. 

Mobil akhirnya berbelok ke jalan tak beraspal, aku lega, mungkin sudah mau sampai. Akan tetapi perjalanan ternyata masih jauh, ada empat puluh kilo meter lagi melewati perkebunan sawit. Jalannya sangat jelek, Lagi-lagi Bang Parlin benar, aku gak sanggup kemari. Aku sudah lemas dan minta berhenti. Mobil akhirnya berhenti di sebuah rumah makan. 

"Toke!" begitu kata orang di rumah makan tersebut pada suami. Mereka tampak sangat hormat sekali, memyalami seraya membungkuk. 

Kulihat HP sudah tak ada sinyalnya, aku makin gelisah, ditambah perut yang terus mual. Kami melanjutkan perjalanan, satu jam kemudian kami tiba di kampung suami. 

Begitu aku turun dari mobil, kotoran sapi yang pertama menyambutku, kakiku memijak kotoran yang cukup besar. Aku terpana melihat pemandangan, sapi bertebaran tanpa diikat, tanpa dikandang. Hanya beberapa yang diikat. Beberapa orang menyambut kami, seorang wanita tua langsung memapahku masuk rumah panggung besar. Mereka semua bicara memakai bahasa yang tak kumengerti. 

"Tunggu sini ya, Dek, Abang mau lihat si Nunung bentar," kata suami. 

Sebenarnya aku mau ikut, akan tetapi tubuhku sudah lemah sekali. Aku diarahkan masuk kamar, seorang gadis memijit kakiku sampai akhirnya aku tertidur. 

Ketika aku bangun, Ayah mertua sudah ada di rumah, aku langsung salim. 

"Beginilah di sini, Maen," kata Ayah mertua. 

"Iya, Pak, Bang Parlin mana?" tanyaku kemudian. 

"Itu, bawa si Nunung berobat ke dokter, malam baru pulang," kata Ayah mertua. 

"Emangnya si Nunung sakit apa, Pak?"

"Entah, tapi kotorannya encer, udah tua pun, dua puluh tahun sudah,"

"Dua puluh tahun dibilang tua?"

"Iya, umur sapi memang cuma segitu kira-kira,"

"Jadi siapa Nunung itu sapi?"

"Ya, iya, tapi bukan sapi biasa, jenis limosin, itu sapi pertama si Parlin, sayang kali dia sama sapinya, gak dia kasih dijual, padahal sudah tua, sudah enam kali beranak, sapinya itu lain, bila dia lihat si Parlin dekat wanita dia bisa ngamuk," terang Ayah mertua lagi. 

Ya, Allah, aku cemburu pada sapi. 

"Jangan dekat Parlin kalau si Nunung sudah pulang ya," kata Ayah mertua lagi. 

"Iya, Pak," kataku seraya tersenyum tapi mataku mengeluarkan air. Ini mungkin yang namanya senyum dan tangis bahagia.

Diantar Ayah mertua aku berkeliling untuk melihat-lihat, ada dua truk parkir di situ, ada enam kandang sapi yang cukup besar. Banyak orang bekerja di sini, ada yang mengolah kotoran lembu jadi pupuk, ada yang memanen sawit. 

"Karyawan si Parlin semua dua puluh lima orang," kata Ayah mertua. 

"Saudaranya Bang Parlin di mana, Pak?" tanyaku. 

"Oh, mereka merantau semua, si Partaonan di Kalimantan, si Panyahatan di Jambi, si Pardamean di Riau, mereka semua usahanya sama, berkebun sawit dan beternak sapi."

"Tunggu dulu, Pak, siapa saja namanya?"

"Partaonan, Panyahatan, Pardamean."

Ya, Allah, nama yang unik, Ayah mertua Pardomuan, suamiku Parlindungan. 

Melalui Ayah mertua, aku baru dapat informasi mendetail tentang Bang Parlin, ternyata dia buka kebun sawit ketika masih berumur enam belas tahun. Mulai beternak lembu setelah sawit tersebut tinggi. Ternyata di kebun itu dia punya banyak kenderaan motornya KLX, ada dua truk besar. Satu truk kecil. 

Malam harinya, Bang Parlin baru pulang, begitu dia pulang langsung kucecer dengan pertanyaan. 

"Kenapa Abang tak bilang Nunung itu sapi?" tanyaku. 

Dia justru tertawa, "ada yang cemburu sama sapi," katanya. 

Aku makin gemas saja, "kenapa sih namanya harus Nunung?"

"Dia gemuk mirip si Nunung?" 

"Body shaming, Bang,"

"Body apaan?"

"Si Nunung harus dijual, kata dokter hewan umurnya tak akan sampai satu tahun lagi, uangnya sama Adek saja," kata Bang Parlin lagi. 

"Kenapa samaku, Bang?"

"Karena Adek ganti si Nunung kesayangan Abang,"

Dih, suami apaan ini, dia anggap aku pengganti sapi.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar