Ternyata biarpun banyak kotoran sapi tapi di tempat ini tidak bau-bau amat, ada pekerja yang khusus mengumpulkan kotoran tersebut, diolah jadi pupuk. Sapi tak boleh keluar dari lahan, kecuali dibawa pekerja. Sekeliling kebun dipagar dengan kawat berduri. Penasaran juga aku seperti apa si Nunung ini, tapi kata Mertua sapinya cemburuan, baru kali ini kudengar ada sapinya yang bisa cemburu.
"Bang, aku mau lihat si Nunung," kataku pada suami.
"Jangan dekat-dekat ya, dari jauh bolehlah," jawab suami.
Kami akhirnya pergi, kandangnya tidak jauh dari rumah utama. Aku terkejut dan terpana ketika melihat sapi yang sangat besar. Baru kali ini kulihat sapi sebesar ini, ini mungkin si Nunung.
"Ini si Nunung?" tanyaku kemudian.
"Bukan, itu Jokowi, anaknya si Nunung, si Nunung sapi betina."
"Ya, Allah, Abang menamai sapi dengan nama Presiden, gak boleh itu, Bang,"
"Bukan Abang, Dek, tapi orang yang bilang begitu, kalau kubawa sapi ini jalan, dibilang orang sapi jokowi, yang itu dipanggil orang Irfan," kata suami seraya menunjuk sapi besar lagi.
"Ganti, Bang, ganti namanya,"
"Harus ganti apa lagi, Dek, sudah dinamai, dia akan merespon bila dipanggil jokowi."
Aku teringat berita presiden berkurban sapi satu ton, mungkin ini jenisnya, sehingga orang menyebutnya sapi Jokowi.
Akhirnya aku melihat si Nunung ini, tubuhnya lebih kecil dari sapi Jokowi itu, begitu kami dekat, suami menyuruhku sembunyi dibalik pohon sawit. Bang Parlin mengelus kepala sapi tersebut, bahkan mencium sapi itu. Lah, suamiku mencium sapi, aku cemburu juga, perlakuan suami pada sapi itu tidak seperti pada hewan. Aku masih tak percaya sapi itu bisa ngamuk bila melihat Bang Parlin bersama wanita. Aku jadi ingin mencobanya. Pelan-pelan aku berjalan, dan langsung melompat ke punggung suami.
Ternyata benar, sapi itu meronta, untung juga sapinya masih diikat. Suami langsung membawaku berlari menjauh dari sapi tersebut, kuat juga Bang Parlin berlari sambil menggendong aku di belakang.
"Bagaimana, bisa?" tanyaku heran.
"Ya, begitulah, aku mengurusnya sejak umur satu tahun. Ini sapi pertamaku, entah sudah berapa banyak susunya kuminum, anaknya sudah enam, hasilnya sudah ratusan juta, Abang sayang kali sama dia." kata Bang Parlin ketika kami sudah menjauh.
Kami terus berjalan berkeliling kebun, suami lalu menggiring satu sapi cukup besar, sapi yang lain mengikuti. Lalu kami keluar dari kebun, berjalan kaki agak jauh, sampai tiba di pinggir sungai. Bang Parlin mengikat satu sapi, hanya satu, yang lain dibiarkan merumput di sekitar pinggir sungai.
"Beginilah kehidupanku tiap hari, selama dua puluh tahun," kata Bang Parlin.
"Damai, Bang," kataku seraya bersandar di pundaknya. Suami lalu mengeluarkan seruling dari tas ranselnya. Kemudian memainkan seruling tersebut. Suaranya mendayu-dayu. Benar-benar damai rasanya.
Sampai sore baru sapi digiring kembali masuk kebun, ternyata mudah untuk menggiringnya, mereka sudah tahu jalan pulang, hanya satu sapi yang dipegang talinya.
Si Nunung akhirnya dijemput orang, kata suami akan dibawa ke rumah potong hewan untuk dipotong dan dijual. Melihat Bang Parlin sampai menangis melepas kepergian si Nunung membuatku terharu sekaligus cemburu. Suami menciumi kepala sapi itu sebelum digiring naik ke truk.
"Berapa nomor rekening kita, Dek, kata mereka kalau ada nomor rekening kirim lewat rekening saja uangnya, jauh dari kota ngantar ke mari," kata suami.
"Aku mana tau, Bang, yang punya rekening Abang, bukunya mana?"
"Tinggal di Medan, Dek, nomor rekening adek ada,"
"Ada," kalau nomor rekeningku tentu saja aku hapal.
"Ya, udah, tulis di sini, uangnya untuk adek juganya," kata suami seraya memberikan secarik kertas.
Ternyata benar uangnya untukku, aku jadi terharu, mau kutanya juga berapa harga sapi begini, tapi takut dikira matre, padahal betul, eh. Aku sudah berhayal, berapa kira-kira uang sapi tersebut, isi rekeningku tak pernah lebih dari tiga juta. Kini akan bertambah satu sapi.
Ayah mertua banyak bercerita tentang Bang Parlin, banyak yang diluar dugaanku. Tadinya kukira kebun sawit itu warisan, ternyata bukan, Bang Parlin yang buka kebun itu, pertama didanai seorang dokter tetangga mereka. Kebun itu juga bukan desa asli mereka, hanya tempat berusaha. Desa mereka masih jauh dari situ. Tadinya kukira orang tua Bang Parlin kaya raya sehingga bisa beli kebun luas. Ternyata tidak, semua dimulai Bang Parlin dari nol, mereka kaya setelah sawit panen. Bang Parlin juga yang membuka jalan untuk saudaranya yang lain, dia yang berikan modal buka peternakan di tempat lain. Luar biasa suamiku ini.
Setelah tiga hari di kampung tiba waktunya kami akan pulang ke Medan, aku mulai resah membayangkan perjalanan yang melelehkan selama lima belas jam. Temanku yang sopir taksi online tetap setia menunggu kami, padahal janjinya cuma sekali pergi, tapi dia tetap ngotot menunggu, karena kosong menunju Medan akan merugi.
Suami malah membayar taksi tersebut satu juta sehari, enam hari sama di jalan supir taksi dapat total enam juta.
"Itu gaji standar, Dek," kata suami ketika aku protes kemahalan.
"Kenapa gak beli mobil gini, Bang, entah fortuner atau pajero?" tanyaku pada suami ketika kami sudah di perjalanan pulang.
"Kembali ke kebutuhan atau keinginan, Dek, kami hanya butuh truk, harga truk itu setara fortuner, yang dibutuhkankan angkut sawit atau angkut sapi, ya, alhamdulillah truk kita ada tiga," kata suami.
"Iya, lagian buat apa fortuner di tempat seperti ini?" sambung suami lagi.
Kami sampai di Medan setelah menempuh lima belas jam perjalanan, begitu kami sampai di rumah, tetangga sudah datang melapor.
"Mbak Nia, kemarin saudaranya Mbak Nia datang, katanya Mbak gak bisa dihubungi," kata tetangga ini.
Duh, aku sampai lupa menghidupkan HP-ku selama hampir seminggu ini, berada di kampung bersama suami ternyata bisa membuat lupa sama gatget, segera ku-charger HP yang sudah lima hari habis bateri total. Setelah terisi lima belas persen baru kuhidupkan. Belum sempat aku buka sudah ada panggilan masuk, ternyata dari Abang yang tertuaku.
'Kau bagaimana, sih, Nia, orang tua meninggal kau entah ke mana, dihubungi gak bisa, ditanya tetangganya gak ada yang tau," kata Abang.
"Innalillahi, siapa meninggal?"
"Ya, Ayah, entah anak macam apa kau,"
"Bang, Ayah, Bang," kataku setengah berteriak.
"Kenapa Ayah, Dek?"
"Ayah meninggal, Bang,"
"Tapi kan umroh Ayah, Dek,"
Kami berangkat ke rumah orang tuaku saat itu juga, ketika kami sampai Ayah sudah dikuburkan. Ternyata Ayah meninggal kemarin. Meninggal dalam pesawat ketika pulang ke Medan. Beliau meninggal dalam tidurnya. Ya, Allah ternyata ini maksud Ayah ketika bilang ingin menyusul ibu. Aku lalu tancap gas ke kuburan Ayah. Menangis di pusara Ayah, aku sangat menyesal tak sempat melihat wajah Ayah sebelum dikuburkan.
"Kenapa tak tunggu kami, Bang?" kataku pada Abang tertua.
"Mana bisa ditunggu, entah kalian ada di mana, pergi gak bilang-bilang, sama tetangga sendiri pun kalian tak bilang mau ke mana," Abang justru mengomel.
"Kau yang bunuh Ayah," kata kakak ipar.
"Lo, kok aku?"
"Ya, kaulah sama suamimu itu, kalian kasih Ayah uang haram hasil ngepet, akhirnya Ayah yang dapat akibatnya."
"Uang haram dipakai untuk umroh ya, gitu," sambung Abangku.
Aku terdiam, tak mampu bicara lagi, sudah sedih begini masih dituduh membunuh Ayah sendiri.
"Sekarang pilih, Nia, kami saudaramu atau lelaki ngepet itu, kami tak ingin punya saudara begitu, nanti kami kena imbasnya seperti Ayah," kata kakakku.
"Ya, Allah, kalian menuduh sembarangan,"
'Bukan sembarangan, tapi kami bicara fakta, sudah kami selidiki tetangga kalian, memang dia gak pernah kerja, malam pun di rumah aja," kata abangku.
"Kalian salah paham, Bang, bukan seperti itu," suamiku akhirnya bicara.
"Salah paham apanya lagi? sudah terbukti, uang haram dibawa ke tanah suci ya begini akibatnya, tega kau, sekarang ceraikan adikku," kata abangku.
"Akan kuceraikan bila Nia yang minta, tapi tidak akan kuceraikan kalau kalian yang suruh," kata suami.
"Pergi kau dari sini, dasar babi ngepet, tar uang kami nanti yang kau ambil," kata kakakku.
"Boleh kujelaskan?" tanya suami lagi.
"Kami tak butuh penjelasan lagi, sudah jelas sekarang, kau bahkan bawa adik kami entah ke mana, padahal kalian tahu jadwal kedatangan Ayah," kata abangku.
"Baik, kami pergi, Ayo, Dek!" kata suami seraya mengulurkan tangannya.
"Kalau kau pergi, kau bukan saudara kami lagi," ancam abangku.
Aku pilih suami yang baru kukenal tiga bulan, atau saudara sedarah seketurunan?
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar