Adalah benar..., kalau ada yang mengatakan bahwa 'tubuh wanita itu adalah pasar....'.
Memang tidak dapat dipungkiri...; semua bagian tubuh wanita adalah sangat bernilai komoditi bagi produksi barang konsumsi.
Bagian tubuh wanita mulai dari....:
➡ Rambut wanita...; menjadi sasaran produksi shampo, hair tonic..., dan banyak produk perawatan rambut lainnya.
➡ Wajah...; menjadi sasaran produk make-up..., banyak macam dan jenisnya.
➡ Kulit wanita...; menjadi sasaran produk krem kecantikan..., pemutih..., pelembab..., dan sebagainya.
➡ Bagian intim...; mungkin semua sudah pada tahu apa saja itu.
Meskipun tubuh laki-laki juga mulai menjadi pasar konsumsi..., tetapi dalam prosesnya tidak semasif dan sebrutal atas apa yang terjadi pada tubuh wanita.
Ia menjadi nilai jual utama..., lebih dari apapun yang ada.
Hal ini telah berlangsung sejak lama...., dan masih berlaku sampai sekarang.
Meskipun tubuh wanita adalah sasaran pasar yang termasuk terpenting..., tetapi itu bukan satu-satunya..., masih ada lagi 'pesaingnya'.
Apa itu.....?
Dalam dekade terakhir ini..., memang ada bahan komoditi bernilai jual tinggi lain..., yang mulai menguatkan diri di pasar global..., tetapi tak pernah ada yang pengaruhnya bisa sekuat yang satu ini.
Bahan komoditi apakah itu....?
Jawabannya hanya satu...: Tuhan.
Secara radikal bisa kita katakan..., bahwa pada masa ini..., Tuhan adalah komoditi pasar paling bernilai tinggi..., dan bersanding dengan komoditi yang disebutkan sebelumnya..., wanita.
Wanita dan Tuhan..., bukan tidak mungkin akan menjadi puncak tertinggi dalam pasar negara..., bahkan dunia.
Hal ini..., kiranya cukup berkaitan erat dengan kelompok Hindutva-neoliberal di India dan Theocracy-conservatism (theocon) di Amerika Serikat..., yang dulu pernah populer.
Polanya serupa...; pandangan yang menyatakan bahwa sekularisme telah membawa pada kehancuran budaya.
George Bush (mantan presiden AS itu) dengan sepenuh iman percaya..., bahwa iman Kristen adalah prasyarat berfungsinya pasar bebas neoliberalis..., lebih spesifik lagi bagi Amerika tentunya.
Begitu pula di India..., Subramanian Swarny (seorang tokoh Hindutva) berpendapat..., bahwa iman Hindu adalah prasyarat berfungsinya kapitalisme di India.
Pola yang sama..., saat ini terjadi di negara kita.
Di Indonesia..., ada kelompok-kelompok yang ingin masyarakat hidup dalam kemurnian Islam.
Bedanya..., kelompok ini tidak tegas..., atau malu-malu menyatakan..., bahwa perkawinan antara Islam dan kapitalisme adalah prasyarat bagi kemajuan Indonesia.
Sebaliknya ada faksi yang mengutuk kapitalisme..., dan hendak menggantikannya dengan ekonomi Islam dan negara khilafah.
Dan inilah yang terjadi di Indonesia...., kapitalis tapi mau Khilafah.
Untuk mengukuhkan hegemoni kemurnian Islam dalam pasar ini..., tidak perlu mencari yang baru.
Cukup menggunakan apa yang sudah menjadi komoditi bernilai jual tinggi di pasar-pasar...; tubuh perempuan.
Cukup ditambah label Tuhan..., maka sempurnalah ia.
Mula-mula ditutup jilbab..., kini semakin rapat dengan cadar (niqab) dan burqa..., dengan warna cenderung serba hitam sebagaimana di Arab dan Afghanistan.
Dan apa yang membuatnya menjadi primadona di pasar dan industri fashion adalah jelas..., label syar'i yang mengekorinya.
Kita bisa melihat..., kerudung yang modelnya serupa tapi dengan label Tuhan yang berbeda akan kalah saing.
Sebab yang kita beli..., secara jahat..., bukanlah pakaian (atau apapun yang berlabelkan syar'i..., hijab..., dan sebagainya)..., melainkan Tuhan itu sendiri.
Selain busana..., embel-embel Tuhan ini menggandeng pula sejumlah atribut lain semacam...: pakaian..., bahasa..., mitos di sekitar proses sosial dan perkawinan..., acara keagamaan..., serta ritual dan ziarah keagamaan.
Bahkan untuk sekadar belanja atau menyimpan uang di bank pun..., masyarakat jauh lebih memilih yang memiliki label syari'ah.
Secara kasar bisa kita katakan..., bahwa segala produk yang distempeli nama Tuhan memiliki kecenderungan lebih besar untuk menjadi pilihan konsumsi bagi konsumen yang sedang gandrung pada Tuhan.
Tetapi yang paling utama..., busana adalah komoditi yang paling penting..., sebab busana dipandang sebagai identitas agama.
Pada mulanya..., konsumen busana dalam pasar Tuhan ini bukanlah perempuan secara umumnya..., melainkan perempuan kelas menengah yang berpendidikan tinggi atau yang menjadi artis berkat neoliberalisme.
Religiusitas perempuan kelas menengah..., dengan penanda jilbab/niqab/burqa...; dijadikan role model bagi perempuan lain.
Dan alhasil..., perempuan pada umumnya dengan sukarela mengikuti dengan merujuk pada mereka-mereka yang dianggap sebagai barometer kereligiusan (kesalehan).
Untuk 'melawannya'..., muncul gerakan untuk kembali ke busana nusantara..., sebagai bentuk upaya menghadang theocon melalui tubuh perempuan.
Upaya ini adalah sebagai bentuk upaya penegakan kebebasan perempuan dari 'kebodohan' sebagai hasil pemujaan atas label Tuhan.
Ironisnya...; itu malah terlihat seperti deklarasi perang antara pasar Tuhan dan pasar tradisi..., yang ujung-ujungnya juga tetap melalui tubuh perempuan.
Fakta jahatnya..., tubuh perempuan memanglah komoditi...; entah sampai kapan fakta ini akan terjadi dan berganti.
Sebab..., orang-orang pemuja kemurnian agama..., tradisi..., ekonomi..., bahkan para perempuan itu sendiri tidak menganggapnya sebagai masalah yang cukup berarti..., malah menikmatinya.
Rahayu
Sumber...:
➡ Membawa Tubuh Perempuan ke Pasar "Tuhan"..., oleh Ruth Indah Rahayu.
➡ The God Market: How Globalization is Making India More Hindu..., oleh Meera Nanda.
➡ Feminism and Islamic Fundamentalism:The Limits of Postmodern Analysis..., oleh Haideh Moghissi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar