Kamis, 28 Mei 2020

MENGAPA SAYA UNINSTALL DETIKCOM?



Media, apa pun formatnya dan siapa pun pemodalnya, adalah milik pembaca, milik masyarakat. Sekali saja kita lupakan itu, negeri ini berjalan mabuk ke jurang gelap.

Dugaan saya, situs berita mendapat hujan perhatian di sepanjang masa KDR, kerja dari rumah. Gak ada kerjaan, gak punya kesibukan, dan dengan sabar menahan diri agar pandemi mereda, kita semua mantengin situs berita untuk mengikuti perkembangan terkini.

Gak ada konpers pemerintah, apalagi digelar tetap 7 kali seminggu, mendapat perhatian selimpah apa yang diterima Pak Yuri ketika mengumumkan perkembangan terkini Covid-19 saban sore.

Itu bikin beberapa media ngelunjak. Merasa sudah memilik kita, mereka seenak jidat nulis berita, membelokkan makna, menggiring pembaca membuat tafsir sendiri.

Media berita bukan karya sastra. Kalau cerpen atau puisi menyelipkan ruang dalam karyanya kepada para pembaca untuk berimajinasi, media berita pantang berbuat begitu.

Sekuat mungkin mereka harus memastikan kalimat-kalimat yang ditulis menghasilkan makna tunggal. Sebab, ini berita, bukan mengarang bebas, bukan surat cinta Tante Merli kepada berondong bernama Nico. Ketika dari makna tunggal itu pembaca membangun tafsir masing-masing, itu urusan lain.

"Saya lupa," misalnya kata Tanto. Media harus menulisnya seperti itu tanpa membubuhkan keterangan atau penjelasan. Penambah berupa setting boleh digunakan sehingga menjadi, "Saya lupa," kata Tanto sambil mengusap keningnya.

Tapi kalau detikcom memberitakan bahwa Presiden Joko Widodo menghadiri shalat Ied yang dilakukan berjamaah, itu gila. Untuk tidak mengatakan mereka penjahat, saya hanya bisa bilang bahwa mereka sudah hilang ingatan.

Betul, Presiden Joko WIdodo mengikuti shalat ied di Istana dengan segenap keluarga istana. Mereka berada dalam satu rumah: istana. Mereka terdiri dari keluarga inti Pak Presiden dan para pengawal yang saban hari berada di sana.

Betul, dalam Islam kata berjamaah ditempatkan bagi sebuah kegiatan dengan peserta jamak. Tapi bagi para sebagian pembaca yang malas membaca isi dan hanya terpantik oleh judul, kata berjamaah bermakna kerumunan orang banyak. Detikcom telah berlaku sesat.

Lalu kemarin Presiden Joko Widodo mengunjungi Bekasi, melihat kesiapan mall dan berbagai fasilitas lain sebelum Pemerintah melonggarkan PSBB.

Detikcom memberitakan kegiatan itu dengan kalimat menyakitkan: Presiden meresmikan pembukaan sejumlah mall di Bekasi.

Detikcom memang kemudian, di berita lain, memberikan kepada kita penjelasan Panglima TNI tentang apa yang sesungguhnya dilakukan Pak Presiden. Itu bagus.

Tapi itu tak menghapus kesalahan yang disengaja di berita terdahulu. Mereka tidak menayangkan ralat dan permohonan maaf.

Berbagai telaah kemudian lahir di medsos, termasuk dugaan kepemilikan saham keluarga SBY di media milik Chairul Tanjung. Sebagian menduga bahwa ini ekspresi sakit hati keluarga Cikeas atas jeweran Denny Siregar terhadap cucu Pak Mantan.

Saya gak peduli dengan telaah dan dugaan tersebut. Saya hanya melihat, merasakan, dan meyakini, Detikcom telah dengan kurangajar dan dekstruktif berupaya mendelegitimasi kepemimpinan Joko WIdodo di tengah suasana pandemik yang butuh keserempakan dalam menaati perintah.

Bukan cuma kurang ajar, buat saya itu berbahaya. Kekacauan bisa terbit dari tulisan insinuatif kayak gitu.

Buat saya, entah buat kalian, media seperti ini harus dihentikan. Minimal, saya tak memberi peluang kepada mereka untuk meracuni otak saya. 

Mau siapa pun pemiliknya, media berkewajiban mencerdaskan saya, bukan menghasut atau menyisipkan pesan-pesan yang berkemungkinan meledak tak terduga di suatu saat. Karena itu sikap ini perlu saya jelaskan kepada kalian.

Saya tak akan kehilangan berita dengan tidak membaca detikcom. Masih ada Kompas, Tempo, Beritasatu, dan macam-macam. Dan saya tak kehilangan kemawasan untuk berhenti melanggan sebuah media ketika telah bertindak konyol dan sesat. Dengan demikin pernyataan sikap ini adalah juga sebuah peringatan kepada media berita yang lain.

Karena itu, dalam lima menit setelah menulis ini, saya akan uninstall app detikcom dari selpon saya. Sebelumnya, tak lupa saya bubuhkan rating *1 buat para pengacau ini. Anda media yang lahir dari rahim reformasi. Tapi Anda juga sama menjijikkan dengan beberapa reformator yang telah berkhianat kepada negeri ini.

Akan saya reinstall di suatu saat? Gak bakal. Kalau sudah mengambil keputusan, saya gak akan menengok ke belakang.

Selamat tinggal detikcom.

Sahat Siagian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar