Kamis, 09 Oktober 2025

Foto dari deka



Kini, para investor seperti Shell, BP, dan kawan-kawan datang ke BKPM—bukan untuk potong pita proyek baru, tapi untuk mengadu. Ironis, bukan? Dulu mereka diundang dengan karpet merah, sekarang harus antre di ruang pengaduan, menanyakan nasib investasi yang diganjal oleh tangan tak terlihat: bukan invisible hand, tapi monopolistic hand. "Dulu kalian yang beri izin kepada kami. Kami percaya pada pasar. Tapi ternyata pasar di sini punya satu pintu, satu selang, dan satu keputusan politik." Kira  kira begitu keluhan mereka. Lucu memang, negeri yang katanya menjunjung persaingan sehat ( UU no.5/1999) justru menelantarkan pemain yang taat aturan. Shell tidak menjual BBM subsidi, mereka main di pasar bebas, dengan harga dan risiko mereka sendiri. Tapi ironinya, mereka tetap kalah oleh "saudara tua" yang bisa mengatur pasokan dan menikmati distribusi prioritas dengan alasan mulia: demi rakyat. Masalahnya, BBM yang mereka jual bukan untuk rakyat penerima subsidi, tapi untuk rakyat yang bayar pajak penuh—kelas menengah yang mobilnya tidak disubsidi tapi dompetnya tetap menanggung defisit APBN. Apakah ini nasionalisme energi? Atau nasionalisasi pasar yang dibungkus jargon kedaulatan? Karena jika monopoli bisa disulap jadi patriotisme, maka ekonomi pasar hanya tinggal dekorasi. BKPM tentu gelagapan. Di satu sisi, mereka menjanjikan iklim investasi yang terbuka dan bersaing; di sisi lain, regulator energi memelihara ekosistem tertutup yang tak bisa disentuh. Ini seperti rumah kontrakan: disewakan dengan janji listrik dan air tersedia, tapi begitu penyewa masuk, salurannya dikunci dari luar. Investor tentu bukan malaikat. Mereka hitung untung. Tapi dalam dunia bisnis, kepastian lebih mahal dari bunga bank. Sekali kepercayaan itu rusak, modal asing tidak akan pulang untuk kedua kali. Lucunya, di negeri ini, setiap kegagalan selalu punya tameng: "demi kedaulatan energi nasional." Kalimat itu terdengar gagah, sampai Anda sadar bahwa di baliknya ada SPBU kosong, pasokan terbatas, dan investor yang kelelahan menunggu truk tangki yang tak kunjung datang. Dalam logika yang sehat, pasar diatur agar efisien; tapi dalam logika politik, pasar diatur agar patuh. Dan ketika logika kedua yang menang, maka jangan salahkan siapa pun bila investasi mandek, pasokan tersendat, dan para investor asing memilih keluar sambil menepuk pundak: "Terima kasih, kami sudah belajar arti sebenarnya dari selective capitalism—versi tropis." —EJB—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar