25 Oktober 2025
Bacaan Hari ini:
Lukas 1:38 "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu."
-----------------
Rencana Anda sebagian besar ditentukan oleh pertanyaan-pertanyaan yang Anda ajukan. Semakin berani dan jujur pertanyaan yang Anda tanyakan, semakin jauh pula Anda akan melangkah dalam hidup.
Menjelang Natal yang pertama, Maria—yang akan menjadi ibu dari Yesus—harus menghadapi satu pertanyaan besar dan berani:
Akankah aku menerima rencana Allah bagi hidupku?
Ada banyak kesalahpahaman tentang Maria. Namun, yang membuat Maria begitu istimewa bukanlah karena statusnya atau kedudukannya, melainkan karena ia bersedia menerima panggilan Allah. Ia bersedia mempercayai Allah, bahkan ketika hal itu menuntunnya pada sesuatu yang tidak ia pahami sepenuhnya.
Alkitab menceritakan kisah Maria:
"Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria. Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu." (Lukas 1:26–29)
Maria masih sangat muda—mungkin tidak lebih dari 15 tahun. Dan tiba-tiba, seorang malaikat datang dan berkata bahwa Allah akan mengutus Juruselamat ke dunia, yang akan lahir seperti bayi pada umumnya—dan Maria akan menjadi ibu dari bayi itu, meskipun ia masih perawan.
Bagaimana reaksi Maria? "Maria sangat terkejut . . ." Ia ketakutan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dikatakan atau kepada siapa ia bisa bercerita. Ia mungkin berpikir, "Tidak ada yang akan percaya kepadaku—tidak ibuku, tidak teman-temanku, bahkan tidak Yusuf." Ia merasa takut.
Namun malaikat menenangkan hatinya:
"Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan." (Lukas 1:30–33)
Ini bukanlah kelahiran biasa, karena bayi ini bukan bayi biasa. Anak ini adalah Anak Allah sendiri—Mesias, Sang Juruselamat dunia.
Dan bagaimana tanggapan akhir Maria? Alkitab mencatat:
"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Lukas 1:38)
Mengapa Allah memilih Maria di antara semua wanita di dunia untuk menjadi ibu Sang Mesias?
Bukan karena pendidikannya—ia tidak bersekolah.
Bukan karena kekayaannya—ia hanyalah gadis desa yang miskin.
Bukan pula karena kedewasaannya—ia masih sangat muda.
Allah memilih Maria karena ia mempercayai Allah sepenuhnya dan bersedia menerima takdir Allah bagi hidupnya, meskipun itu berarti menghadapi kesulitan, salah paham dan penolakan.
Bagaimana dengan Anda?
Apakah Anda bersedia berkata "ya" kepada takdir Allah bagi hidup Anda—bahkan ketika Anda merasa takut, ragu atau tahu bahwa jalan di depan tidak mudah?
Bacaan Alkitab Setahun :
Yeremia 44-47; II Tesalonika 2
______________
Percayalah, rencana Allah bagi hidup Anda adalah yang terbaik, jauh lebih baik daripada rencana apa pun yang dapat Anda buat sendiri.
(Diterjemahkan dari Daily Devotional by Rick Warren)
===========
Will You Accept God's Destiny?
"I am the Lord's servant, and I am willing to do whatever he wants." Luke 1:38 (TLB)
-------------------
Your destiny is largely determined by the questions you ask. The braver and more honest your questions, the further in life you're going to go
Just before the very first Christmas, Mary—who would become the mother of Jesus—had to ask herself a very brave, important question: Will I accept God's destiny for me?
There are a lot of misconceptions about Mary. But what made Mary very special is that she was willing to accept her destiny. She was willing to trust God in the things he was calling her to do.
The Bible tells us Mary's story: "God sent the angel Gabriel to Nazareth, a town in Galilee, to a virgin pledged to be married to a man named Joseph, a descendant of David. The virgin's name was Mary. The angel went to her and said, 'Greetings, you who are highly favored! The Lord is with you!' Mary was greatly troubled at his words and wondered what kind of greeting this might be" (Luke 1:26-29 NIV).
Mary was young—probably no older than 15. And an angel showed up and basically told her, "God's about to send a Savior into the world, to be born just like everyone else. And you're going to be that baby's mom, even though you're still a virgin."
And Mary's response? "Mary was greatly troubled . . ." Mary was terrified. She didn't know what to do, what to say, or who to tell. She probably thought, "No one's going to believe me. Not my mom, my friends, or even Joseph." She was afraid.
The story continues: "The angel said to her, 'Do not be afraid, Mary; you have found favor with God. You will conceive and give birth to a son, and you are to call him Jesus. He will be great and will be called the Son of the Most High. The Lord God will give him the throne of his father David, and he will reign over Jacob's descendants forever; his kingdom will never end" (Luke 1:30-33 NIV).
This would be no ordinary birth because this was no ordinary baby. This child was going to be the Son of God—the Messiah, the Savior.
And how did Mary eventually respond? The Living Bible paraphrase records her response: "I am the Lord's servant, and I am willing to do whatever he wants. May everything you said come true!" (Luke 1:38).
Why did God choose Mary over all the other women on the planet to be the Messiah's mother?
It wasn't because of her education. She had none. It wasn't because of her wealth. She was a poor peasant girl. It wasn't because of her maturity. She was barely a teenager. Why did God choose Mary?
Because she trusted God completely and she was willing to accept God's destiny for her, even though it meant hardship, misunderstanding, and criticism.
What about you? Are you willing to say yes to God's destiny for you—even if you are afraid or doubting or know the road will be tough? You can trust that God's destiny for your life is best for your life, far better than anything you can think up for yourself.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar