```TOPIK PILIHAN - RENUNGAN hari ini:```
- Tulisan Prof Agus Budiyono, alumni ITB & MIT (Massachusetts Institute of Technology, Amerika) -
"SUTAMI, SRI MULYANI DAN JOKOWI"
Saya dididik dan dibesarkan di sebuah lingkungan khusus di Amerika yang membuat saya tidak mudah gumunan. Di kelas saya setiap orang praktis adalah pelajar terbaik di negaranya. Di departmen saya ada pelajar terbaiknya _Imperial College - London_, juaranya _Tokyo Tech,_ nomor satunya _Seoul National University_ dsb. Rata-rata IQ di kisaran 150 dan bila orang asing, TOEFL di sekitar 648 (sekitar betul semua), dan pada ujian tertentu sebagian besar adalah pemegang patent di bidangnya. Lab mereka pada zamannya mengembangkan teknologi yang meresponse serangan Jepang di Pearl Harbour yang membantu memenangkan Amerika di Perang Dunia. Rombongan yang datang sebelumnya adalah kelompok kunci yang menjawab tantangan Soviet yang meluncurkan Sputnik dan menempatkan manusia pertama di ruang angkasa. Selang beberapa tahun kemudian Amerika mampu mendaratkan manusia di Bulan. Kelompok seangkatan saya adalah yang mampu melahirkan perusahaan sekelas Google dan Amazon. Yang menjadi motor utama industri di Route 95 (Pantai Timur) dan Silicon Valley (Pantai Barat). Capaian semua ini saya anggap wajar dan biasa saja, pas dan sesuai dengan arus, latar belakang dan milleunya.
Namun demikian dalam setting di tanah air, saya justru menemukan beberapa fenomena yang membuat saya kagum. Bisa _gumun_ kali ini. Bilamana pencapaian orang-orang MIT itu saya anggap luar biasa, maka apa yang saya kagumi di Indonesia justru bahkan lebih dari luar biasa. Different league. Different level.
Saya ingin mengkristalisasi rasa kagum dan hormat ini dengan tiga figur yang saya jadikan judul diatas. Hanya kebetulan saja, sekali lagi, ketiganya sama-sama dari Jawa dengan latar belakang budaya dan filosofi yang saya pahami. Ketiganya orang-orang hebat yang menggunakan filosofi: "nglurug tanpa bala, sugih tanpa banda dan menang tanpa ngasorake." Saya jauh mengagumi beliau-beliau ini dibandingkan apa yang saya lihat dan alami sendiri di almamater saya. Kenapa?
Orang-orang MIT itu hebat dan lingkungannya memahami mereka dan oleh karena itu mereka bisa mengapresiasinya. Oleh karena itu wajar dan malah expected. Sementara itu ketiga figur yang saya kagumi berada di lingkungan dimana orang-orang yang justru dibantu dimakmurkan ekonominya, yang menggunakan kemudahan yang mereka ciptakan dan menikmati suasana kondusif (ipoleksosbud hankam) yang mereka perjuangkan, banyak yang tidak paham. Boro-boro menghormati.
Namun demikian, ini yang saya kagum dan perlu banyak belajar, mereka semua tidak bergeming. Diremehkan juga tenang saja. Dicaci-maki juga tidak gusar. Difitnah sana sini, juga tetap sabar. Pendeknya ketiganya mewakili, saya sebut dengan bangga dan haru, kualitas penduduk Nusantara yang unggul dan mumpuni. Pantas untuk menjadi pemimpin dan memimpin bangsa sebesar Indonesia dengan semua kompleksitasnya.
Masing-masing berkontribusi pada bidang keahlian yang berbeda. Juga mempunyai jalur karir yang sama-sekali beda. Namun ada kesamaan benang merah dari ketiganya: Kesamaan yang distinct and unmistakeable. Dalam pengamatan saya, ketiga figur tersebut adalah orang-orang yang lurus. Orang yang lempang hatinya. Figur yang hatinya tidak terbeli dengan kekuasaan dan kekayaan. Figur yang bisa menjadi panutan dan teladan dalam hiruk pikuk perubahan global yang serba cepat. Dunia berubah. China dan Amerika berubah. Eropa berubah. Di masa yang tidak terlalu jauh, China akan menjadi ekonomi no.1, menggeser Amerika yang turun jadi no. 2. China tidak akan menjadi negara berpenduduk terbanyak lagi, posisinya digantikan India. Indonesia dalam konstelasi tersebut, diprediksi akan menjadi ekonomi no. 5, negara makmur, tidak ada lagi penduduk yang berkategori miskin.
Bangsa Indonesia perlu pegangan dalam lingkungan yang serba berubah cepat ini.
Saya merasa sosok Sutami, SMI dan Jokowi adalah mercu-suar ditengah ketidakpastian gelombang laut dalam langit yang kelam. Bisa diandalkan untuk menjadi pegangan dalam menentukan arah. Ketiga figur tersebut, nilai-nilai hidupnya selayaknya dicontoh, diteladani dan diambil pelajarannya untuk generasi sekarang dan utamanya generasi millenials, Y dan Z. Figur yang berprestasi tinggi, dengan pengakuan dunia, tapi tetap tawadu' dan rendah hati. Figur yang tidak serakah, tidak tamak dengan kekuasaan, tidak menyodor-nyodorkan anak-anaknya, istri atau suaminya, saudara-saudaranya, untuk ikut memanfaatkan kemudahan-kemudahan, privilege atau keistimewaan dari jabatan ataupun bahkan pengaruh yang mereka punya.
Siapa orang Indonesia tidak kenal dengan Menteri Sutami, menteri termasyhur dalam sejarah NKRI? Sutami, berkat reputasinya, adalah satu-satunya menteri era Soekarno yang tetap dipilih oleh Soeharto di kabinetnya. Hidupnya lurus lempang tidak ada cacat. Empat belas (14) tahun menjadi menteri tapi tidak mempunyai rumah sendiri. Pernah listriknya diputus karena terjadi tunggakan. Jokowi juga menjadi presiden pertama RI yang mendapatkan recognisi dan strong opinion tentang komitmennya menciptakan pemerintahan yang bersih. Hal ini karena beliau benar-benar "walk the talk". Bukan lamis-lamis lambé. Bukan "NATO". Menerapkan dalam kesehariannya. PM Mahathir menyebutnya secara khusus standar Jokowi "reaching the unprecendented level" dalam sejarah Indonesia. Hal ini penting karena datang dari tetangga sebelah yang tahu rumah-tangga kita. Pemimpin bisnis terdepan China Jack Ma juga memberikan pujian kepada Jokowi tentang resiliencenya dalam menghadapi badai fitnah. Begitu juga dengan pemimpin-pemimpin dari Korea yang langsung saya dengar sendiri. Mereka semua all in kepercayaannya kepada Jokowi. Mereka mengatakan bila Indonesia bisa dijaga untuk tetap bisa memunculkan pemimpin seperti Jokowi maka memang sudah keniscayaan Indonesia akan menjadi salah satu dari 4 adi-daya dunia. Beberapa pemimpin Korea, saya tahu persis karena langsung membantu, sudah menaruh uangnya di pasar investasi Indonesia. Orang Korea, bahkan dalam level pemimpin saja percaya sekali. Masak kita yang asli orang Indonesia tidak?
Saya tidak heran, bila selama perjalanan bisnis terakhir saya ke Seoul selama lima hari bertemu dengan pimpinan 16 perusahaan besar Korea. Mereka semua, semuanya, bertanya dan ingin memastikan pemerintah sekarang berlanjut ke periode berikutnya. Saya mengatakan dan mengafirmasi dari big data saya, jawabannya YA. Saya mahfum dari pengamatan saya mengajar dan mendirikan bisnis di sana selama 8 tahun, bahwa pemerintah yang bisa menciptakan iklim bisnis yang certain, yang pasti, sangat diharapkan untuk keberlanjutan bisnis dan investasi jangka panjang. Prinsip ini sebenarnya yang menjadi Sokoguru Keajaiban Ekonomi Korea (The Mirable of Han River). Dunia bisnis tidak menyukai kecenderungan kepada hal yang serba tidak pasti: Yang abu-abu dan tidak jelas juntrungnya. Yang bermanuver pat-gulipat. Pong-pong gareng-pong. Ini semua dibersihkan ketika figur seperti Jokowi dan Sri Mulyani menjadi pimpinan. Tujuannya adalah menciptakan iklim bisnis dan investasi yang mempunyai kepastian. Yang sehat dan saling memakmurkan dalam semangat kolaborasi dan bahu-membahu antar komponen bangsa bahkan antar bangsa.
Kemarin saya menghadiri dan mengikuti dengan seksama paparan Kepala Bappenas Professor Bambang S Brodjonegoro di Fairmont Jakarta, berisi "Sosialisasi Visi Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil dan Makmur. Banyak faktor disebut sebagai prerequisite agar Visi Indonesia 2045 bisa terwujud. Bagi saya yang paling penting adalah SDM yang perlu disiapkan untuk menjadi pemimpin Indonesia. Haruslah sosok-sosok yang tidak hanya cerdas, tapi juga bermoral dan berakhlak yang baik. Yang bisa amanah bila diberi mandat dan kepercayaan.
Figur seperti Sutami, Sri Mulyani Indrawati dan Jokowi.
Mohon bantu dishare dan disebarluaskan ke berbagai kalangan terutama generasi penerus. Kita bersama saling mengingatkan dalam kebaikan. Menjaga agar suasana Indonesia sehat dan kondusif. Akan baik bila ajakan ini bisa dibaca jutaan orang Indonesia demi pendidikan karakter bangsa - Nation and Character Building).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar