Tulisan Mas Eko Kuntadhi ini kerenn... 👍
Super lucu tapi sangat cerdas
Al-Maidah 51 dan Timnas Indonesia
Ketika menyaksikan Boaz Salosa bergaya di lapangan hijau kemarin, adakah yang mempertanyakan, apa agama Boaz? Ketika Stefano Lilipaly menyambar bola yang disorongkan Boaz hingga menciptakan gol indah untuk timnas kita, adakah yang peduli apa keyakinan yang dianut Stefano?
Meski skor 2-2 melawan Vietnam, kita ikut berjingkrak ketika tim nasional akhirnya masuk ke partai final piala AFF. Setiap kali ada timnas berlaga, saya merasakan atmosfir berubah. Sesuatu yang dinamakan Indonesia, terasa hadir di ruang keluarga, di kafe-kafe, di berbagai acara nonton bareng. Tiba-tiba ada kerinduan mendengar lagu 'Tanah Airku Indonesia'.
Boaz, lelaki papua ini, menjadi kapten kesebelasan nasional. Dia adalah pemimpin pemain lain di lapangan. Tapi sampai sekarang saya tidak mendengar ada orang menggunakan Al Maidah 51 untuk menentang kepemimpinan Boaz. Bukankah kapten di lapangan bola itu, juga pemimpin? Apakah pemain lain yang beragama muslim, jadi berdosa karena dipimpin Boaz Salosa?
Saya rasa tidak ada yang berfikir begitu. Memilih seorang kapten lapangan, yang lebih diutamakan keterampilannya bermain kulit bundar, kemampuannya memotivasi tim serta pengalaman tandingnya. Bukan apa agamanya.
Itu cara mikir yang rasional. Sebab targetnya adalah kemenangan timnas, sesuatu yang terukur. Untuk target terukur itu, mestinya memang kita menggunakan kreteria yang lebih terukur.
Nah, pernahkah kita bertanya, apa yang ingin Anda dapatkan dari seorang Gubernur atau kepala daerah?
Kenapa gak kita gunakan saja cara kita menilai Boaz Salosa : yang penting timnas menang, tentu dengan kaidah-kaidah persepakbolaan. Soal apa agama Boaz, tidak ada relevansinya dengan kemenangan dan kekalahan timnas.
Jadi mari kita susun pertanyaanya untuk diri kita. Setujukah kamu Jakarta butuh Gubernur yang bisa mengurangi banjir, agar rakyat tidak sengsara lagi ketika musim hujan? Ukurannya gampang, banjir bisa berkurang. kalau memungkinkan, bebas banjir.
Setujukah kamu, Jakarta butuh Gubernur yang mau memikirkan pendidikan anak-anak, dari PAUD sampai sarjana? Baik untuk sekolah umum maupun madrasah? Ukurannya, apa program pendidikan dan berapa biaya yang dikeluarkan untuk mensupport anak-anak kita.
Setujukah kamu, Jakarta butuh Gubernur yang ngotot memberantas korupsi? Ukurannya, lihat saja sikapnya terhadap korupsi selama ini. Toh, calon-calon Gubernur dan kepala daerah bukan mahluk planet yang turun dari langit. Kita bisa melacak rekam jejaknya.
Setujukah kamu, Jakarta butuh transportasi publik yang lebih manusiawi dan elegan? Ukuranya, bagaimana kondisi angkutan umum dan pembangunan sarana transportrasi lainnya seperti MRT.
Setujukah kamu, Gubernur hrus bisa menjadikan aparat Pemda Jakarta harus serius mengurusi kepentingan rakyatnya? Ukurannya gampang, lihat saja perilaku aparat dalam Kelurahan, Kecamatan dan Dinas-dinas lainnya.
Setujukah kamu, diperlukan transparansi anggaran agar tikus-tikus busuk tidak bisa menilep APBD lagi? Ukurannya, lihat saja sistem lelang proyek. E-Budgeting menjadi salah satu indikator transparansi anggaran ini.
Setujukah kamu, anak-anak di Jakarta membutuhkan lebih banyak ruang bermain yang manusiawi. Ketimbang keleleran karena tidak ada sarana bermain? Ukurannya simpel, adakah Gubernur yang mampu membangun sebanyak-banyaknya ruang publik yang bagus?
Setujukah kamu, jika setiap keluhan warga, sekecil apapun, harus dilayani dengan baik oleh aparat? Ukurannya, lihat saja sistem pengaduan yang digagas dan bagaimana implementasinya.
Jadi itulah ukuran-ukuran rasional kita dalam memilih Gubernur. Seperti saat Alfred Riedl menunjuk Boaz Salosa menjadi kapten kesebelasan. Bagi kita yang penting timnas menang. Makanya kita tidak pernah mempersoalkan apa agama Boaz Salosa.
"Tapi saya mau Gubernur yang suka bagi-bagi duit?," teman saya tiba-tiba menyambar.
"Gampang. Pilih saja Dimas Kanjeng…"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar