Jumat, 24 Juni 2022

BUTA SEJARAH, ANIES MENGGILA DAN MENGACAK-ACAK JAKARTA

Jakarta bukan hanya milik orang Betawi. Bahkan suku Betawi bukanlah mayoritas di Jakarta, tapi suku Jawa. Mengganti nama jalan dengan nama-nama tokoh Betawi itu justru mengaburkan sejarah. Termasuk mengesampingkan keberadaan etnis lain di Jakarta.

Suku Betawi baru muncul seratus tahun yang lalu. Itu pun secara resmi, baru ketika Husni Tamrin mengumumkan berdirinya perkumpulan Betawi, Pemoeda Kaoem Betawi pada 1923. Sebelumnya cikal-bakal suku Betawi menyebut dirinya berdasarkan wilayah, orang Kwitang misalnya.

Bahkan sebelum tahun 70-an, orang-orang yang sekarang teridentifikasi sebagai suku Betawi itu mengaku sebagai orang Melayu. Kebetawian menjadi booming ketika muncul organisasi kesukuan. Banyak yang kemudian membetawikan diri, meskipun bukan Betawi asli.

Jauh sebelum itu, 3.000 tahun lalu, Jakarta sudah ada penduduknya. Dan mereka bukan suku Betawi, tapi Nusa Jawa. 

Kalau ingin ditarik ke sejarah yang agak dekat, maka mestinya pusat kebudayaan Jakarta mengakar pada kerajaan Pajajaran. Sekali lagi, etnis yang hidup di masa itu bukan Suku Betawi, tapi suku Sunda.

Anies memang buta sejarah. Penggantian nama jalan itu semata-mata dilakukan demi tujuan politik. Agar di ujung masa pemerintahannya ini dia dikenang, minimal oleh suku Betawi. Meskipun secara statistik jumlahya sangat kecil di tingkat nasional.

Yang tidak disadari Anies, penggantian nama jalan itu menampar muka suku lain, terutama suku Jawa dan Sunda yang ada di Jakarta.

Padahal nama Jakarta itu sendiri muncul dari seorang pejuang bernama Fatahillah alias Faletehan, atau Faddilah Khan, yang menyebutnya sebagai Jayakarta. Sekali lagi, dia ini juga bukan suku Betawi. Dia berasal dari Aceh.

Pasukan yang berjuang mengusir Portugis di Sunda Kelapa juga bukan orang Betawi, tapi pasukan gabungan dari Banten dan Demak. Etnisnya tentu saja etnis Banten dan Jawa. Dan kata Sunda Kelapa itu sendiri secara gamblang menunjukkan, orang-orang Sunda Pajajaran-lah yang tinggal di daerah itu jauh sebelum konflik terjadi. 

Jadi menyebut Betawi sebagai suku asli Jakarta itu menyakiti warga Sunda, sebagai penduduk yang telah mendiami wilayah ini ribuan tahun sebelumnya.

Kebetawian sebenarnya adalah konsep Belanda untuk menyebut sekelompok orang berbahasa Melayu dengan dialek berbeda. 

Berhubung Batavia dulu itu adalah daerah pertemuan banyak suku di Nusantara, terutama para budak dan pekerja kasar, maka terjadilah asimilasi kebudayaan. Yang oleh Belanda waktu itu dibuat istilah mudah dari kata Batavia, yang lama-kelamaan berubah menjadi Batavi, Batawi, Betawi.

Jadi Anies ini sengaja mengaburkan sejarah. Dengan membetawikan apa-apa yang ada di Jakarta. Untuk nama pahlawan okelah, penggantian nama sebagai penghormatan bagi mereka. Tapi mengganti nama artis seperti Mpok Nori atau Haji Bokir tidak memiliki relevansi nasionalisme.

Belum lagi menghitung ribetnya mengubah surat-surat penting. Ini kan sama saja membuat rakyat susah. Sukur-sukur gak ada pungli waktu mengubah identitas itu. Tapi bayangkan, begitu banyak waktu dan tenaga terbuang gara-gara manusia buta sejarah bernama Anies Baswedan ini.

Anies memang berbahaya. Apapun yang dia pegang bermasalah dan berantakan. Kerusakan demi kerusakan terus dia lakukan. Dulu di kementerian juga begitu. Anggaran diacak-acak semaunya. 

Sekarang nasib Jakarta jauh lebih buruk, bukan hanya anggaran yang gak jelas justrungnya, tapi Jakarta yang ingin diubah menjadi wajah satu etnis saja. 

Anies mengekalkan primordialisme dan kecemburuan sosial berdasarkan etnis. Seolah-olah orang Sunda dan Jawa itu pendatang di Jakarta. Padahal mereka jauh lebih tua dari suku Betawi. Dari rahim mereka pula lahir suku baru ini.

Kelakuan Anies memang membagongkan. Ia tampak jungkir-balik dan menggila di ujung akhir masa jabatannya. Mungkin sekarang dia baru sadar, bahwa selama ini dia belum melakukan apa-apa. Karena kalau pun  dia berbuat sesuatu, hanya berbuah malapetaka bagi warga Jakarta.

Kajitow Elkayeni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar