Kamis, 29 Juli 2021

Tragedi 27 Juli 1996



*KISAH PILU 27 JULI 1996* - Sby sebagai Kasdam saat itu. - Sutiyoso Pangdam.  - Syarwan Hamid Mendagri. Mereka semua masih Hidup dan harus di mintai keterangannya untuk mengetahui Dalangnya. Jalan Diponegoro di Jakarta Pusat masih sepi ketika sekitar Pukul 06.00 WIB Hari Sabtu 27 Juli 1996 Ratusan Orang turun dari Truk yang berhenti di dekat Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Mereka berkaus Oblong Merah bergegas turun dan mendekati Pagar Markas PDI. Awalnya para Satgas Pendukung Megawati yang menginap di Kantor tersebut menyangka Rombongan itu adalah Kawan seperjuangan. Karena begitu turun dari Truk mereka meneriakkan Yel-yel : "PDI … PDI… Mega … Mega". Yel-yel itu di balas Massa di dalam Gedung : "Hidup Megawati". Ternyata Rombongan yang datang berkaos Merah dengan Ikat Kepala bertuliskan "Pendukung Kongres IV Medan" itu ingin merebut secara paksa Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Para Datgas di dalam Gedung langsung siaga. Suasana menjadi tegang. Terjadi pelemparan Batu dari luar. Batu sekepalan Tangan dan patahan Paving Block berterbangan. Dari Batu-batu yang di lempar itu Satgas Pendukung Megawati membalas. Meskipun lemparan Batu dari luar sangat deras seperti Hujan. Orang-orang yang melempar tampaknya begitu terlatih sampai-sampai Tembok yang terkena lemparan hancur. Mobil Jeep Merah yang ada di Pekarangan Gedung ikut hancur terkena Batu.  Bukan hanya Batu, Bom-bom Molotov juga di lempar sehingga Tenda, Spanduk-spanduk dan bahkan Sepeda Motor terbakar. Korban yang ada di dalam Gedung tak terelakkan. Sejumlah Korban mengalami luka-luka di Wajah, Kepala, Kaki, Lengan dan Badan.  Jerit Tangis minta Tolong serta menyebut kebesaran Nama TUHAN terdengar. Genangan Darah berceceran di dalam Kantor terutama di Dapur. Karena para Korban di amankan di Dapur oleh Rekan-rekannya untuk di Rawat agar sadar dan pendarahannya berhenti. Tak kurang 45 Menit aksi lempar itu berlangsung sebelum Polisi Anti Huru-hara Turun Tangan. Kemudian para Penyerbu mundur. Suasana tegang terus berlangsung. Wakil Ketua DPD PDI Jakarta Azis Boeang muncul dan berbicara dengan Kapolres Jakarta Pusat Letkol (Pol) Abubakar Nataprawira. Azis menghendaki agar para Satgas Pendukung Megawati di biarkan di dalam Gedung. Tapi Abubakar menolak dan menghendaki agar Kantor itu di kosongkan. Kali ini Azis yang Menolak. "Pengosongan Kantor adalah Kewenangan Ibu Mega". Azis juga mengingatkan kalau Orang-orang itu Nekad menyerbu ia tidak bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Dalam Kesaksiannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 11 Nopember 1996 Ketua Umum Megawati Soekarnoputri menuturkan pada Tanggal 27 Juli 1996 sekitar 07.00 WIB, ia mendapat Telepon bahwa Kantornya di serbu. Di Telepon terdengar Suara Hirukpikuk pertanda ada Kerusuhan. Mendengar itu Megawati bermaksud ke Kantor. Namun si Penelepon mencegahnya. Setelah itu sambungan Telepon terputus. Tak lama kemudian Kapolres Jakarta Pusat Letkol (Pol) Abubakar Nataprawira menelepon Megawati dan menginginkan agar Kantor DPP PDI di nyatakan Status Quo alias di kosongkan. Belum sempat di jawab Telepon terputus. Megawati mengaku ingin menjawab : "Status Quo yang Saya inginkan adalah Orang di Luar tidak boleh masuk dan Orang di Dalam tetap di Dalam untuk mempertahankan Kantor DPP sampai ada Pembicaraan". Di Lokasi kejadian, Perundingan macet. Para Petugas Anti Huru-hara Bersenjata Tameng membuat Pagar Betis. Panser-panser di Parkir di sekitar Lokasi. Para Pendukung Megawati tetap berada di dalam Pagar. Selain Kapolres tampak pula Pangdam Jaya Mayjend TNI Soetiyoso dan Dandim Jakarta Pusat. Massa yang berada di Area Kantor Menyanyikan Lagu-lagu Perjuangan. Seusai Menyanyikan Lagu INDONESIA RAYA sekitar Pukul 08.40 WIB tiba-tiba Aparat membuka Pagar Betisnya dan memberi Jalan bagi para Penyerang berkaos Merah.  Pintu di Tutup Massa yang berada di Area Kantor. Tapi Petugas Anti Huru-hara dengan beringas mendobrak Pintu Utama dengan Lima kali hitungan. Setelah Aparat bisa masuk para Penyerbu berkaos Merah mengikuti. Massa Pendukung Megawati berlarian masuk sampai ke Ruang Makan. "Semua Tiarap! Jangan bergerak! Diam! Jangan coba melawan!", teriak Petugas. Tiba-tiba Massa yang berada dalam Lingkar Pagar Betis Petugas di kejutkan teriakan Seorang Penyerbu yang muncul dengan sebilah Parang. "Bunuh PKI-pki yang ada di Dapur!", teriaknya sembari menebas Parangnya ke Meja dan Kaca-kaca. Prang! Prang! Semua hancur! Para Pendukung Megawati yang bertahan di dalam Gedung di Aniaya, di Pukuli, bahkan ada yang terkena sabetan Parang Penyerbu. Komandan Jaga Satgas Pendukung Megawati, Muslimin, di Rantai dan di seret ke Kendaraan, sejak dari Ruang Makan hingga keluar Gedung ia di hujani Pukulan oleh para Penyerbu berkaos Merah. Selain menganiaya, merusak dan membongkar Panggung yang ada di Halaman Kantor, para Penyerbu juga menyiram Bensin kemudian menyulutnya. Akibatnya Spanduk dan berbagai Atribut terbakar. Sekitar 120-an Orang Pendukung Megawati di gelandang ke dalam Truk dan di angkut ke Markas Polda Metro Jaya. Sesuai hasil Negosiasi semuanya di bawa ke Kantor Polda dengan alasan untuk di amankan. Ternyata mereka di masukkan ke Sel Tahanan. Mereka di Interogasi tanpa di dampingi Pengacara. Setelah Penyerbuan, Sekjen PDI "Pro Kongres Medan" Buttu R. Hutapea muncul. Di depan Kantor ia di elu-elukan para Penyerbu. Kemudian Buttu menyerahkan Pengawasan Kantor itu kepada Polisi melalui Letkol (Pol) Abubakar Nataprawira. REAKSI MASYARAKAT. Setelah mendengar kabar Kantor DPP PDI di serang, tanpa di Komando Ribuan Orang berkumpul memenuhi Jalan Diponegoro dan sekitarnya. Sejumlah Aktivis LSM dan Mahasiswa menggelar Aksi Mimbar Bebas di bawah Jembatan Layang Kereta Api dekat Stasiun Cikini. Mimbar Bebas ini kemudian beralih ke Jalan Diponegoro. Aksi Mimbar Bebas kemudian dengan cepat berubah menjadi bentrokan terbuka antara Massa dengan Aparat Keamanan. Bentrokan antara Massa dan Aparat semakin meningkat, sehingga Aparat terpaksa menambah kekuatannya. Massa terdesak mundur kearah RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) dan Jalan Salemba. Massa Marah. Beberapa di antaranya boleh jadi ada yang memprovokasi, membakar 3 Bus Kota dan sejumlah Gedung di Jalan Salemba. Jakarta bergejolak. Peluru muntah dari Senapan Aparat. Sejumlah Orang Tewas dan terluka. Di dekat Pasar Burung Pramuka Seorang Lelaki Setengah Baya tertembak Dadanya dan Tewas. Setelah makin lama terdesak oleh Tindakan Represif Aparat Keamanan pada Sabtu Malam yang kemudian berlanjut sampai beberapa Malam berikutnya, Ribuan Orang dari berbagai kalangan baik Aktivis PDI, Mahasiswa, kalangan LSM dan sebagainya memadati kediaman Megawati di Jl. Kebagusan, Jakarta-Selatan. Suasana haru dan Emosional tampak menyelimuti Rumah Ketua Umum DPP PDI ini. Masing-masing Orang saling menceritakan pengalamannya seputar Peristiwa berdarah tersebut. Hari Minggu Siang Megawati sempat menemui para Pendukungnya di Halaman Rumahnya untuk mengkonfirmasikan bahwa ia tidak di Tangkap karena sebelumnya sempat beredar Kabar Angin bahwa ia di Tahan Aparat Keamanan. Akibat Peristiwa Berdarah 27 Juli 1996 itu banyak Korban berjatuhan. Menurut temuan Komnas HAM yang di Umumkan 12 Oktober 1996 sebanyak : - 23 Orang Hilang. - 5 Orang Tewas. - 149 Orang Luka-luka. - Kerugian Materi di taksir mencapai 100 Milyar Rupiah. Dalam Peristiwa tersebut Ratusan Warga dan Simpatisan PDI di Tangkap dan 124 Orang di antaranya kemudian di Adili. PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang di Pimpin Budiman Soedjatmiko di tuding sebagai Dalang Peristiwa itu. Walau akhirnya tuduhan itu tidak pernah terbukti. Ironisnya para Penyerbu maupun "Otaknya" justru tidak ada yang di Tangkap dan di Seret ke Pengadilan. DI BALIK PENYERBUAN. Sepetak Kantor di Jalan Diponegoro No. 58 Jakarta Pusat memang sangat bermakna Strategis. Sejak Persiapan "Kongres Medan" banyak Warga PDI dari berbagai Daerah dan berbagai Elemen Masyarakat datang ke Kantor itu untuk menyatakan Dukungannya terhadap Kepemimpinan Megawati dan Menolak Kongres Rekayasa. Ribuan Orang tersebut menyatakan rasa Simpatinya dengan menghadiri "Mimbar Demokrasi" yang di gelar di Halaman Kantor. Peristiwa 27 Juli 1996 menunjukkan Kuatnya tuntutan Demokratisasi yang semakin sulit di kontrol oleh Kekuasaan Dentralistik Orde Baru. Penguasa mengambil Resiko melakukan pengambil alihan Kantor secara paksa karena merasa tidak memiliki pilihan untuk menghentikan Akumulasi Dukungan yang potensial mengganggu keberlangsungan Rezim Orde Baru. Dalam Pledoi TPDI (Tim Pembela Demokrasi Indonesia) di Pengadilan Kasus 27 Juli 1996 di sebutkan, Penyerbuan itu melibatkan Petugas Keamanan bersama banyak Warga Sipil yang di peralat. Komandan Jaga Satgas Muslimin, memberi kesaksian di Pengadilan, ketika Kaos Merah Penyerbu di lepas, dia melihat ada yang menggunakan Kaos berlogo sebuah Kesatuan di Angkatan Darat dan ada juga yang berkaos Logo Satu Kesatuan di Lingkungan Kepolisian. "Saya lihat sendiri kejadian itu dan beberapa Teman sempat juga ada yang melihat", katanya. Adapun Herman Y. Mamangkey salahseorang Satgas yang ikut berjaga di Kantor tersebut, menyaksikan banyak di antara Penyerbu Berkaos Merah memiliki Rambut cepak dan memakai Ikat Kepala yang di ikat terbalik menutupi cepaknya. "Bahkan ada beberapa Orang yang memakai Wig karena pada waktu membetulkan Ikat Kepala Rambutnya ikut bergerak", katanya. Menurut temuan TPDI kerjasama antara Penyerbu dan Aparat tampak pula pada waktu Pagar di dobrak Aparat. Setelah Pagar jebol dan roboh, Aparat kemudian di ikuti Penyerbu masuk ke Halaman dan di teruskan ke dalam Kantor DPP PDI. Para Penyerbu ada yang memakai Pentungan, ada juga memakai Parang. Seorang yang memakai Parang itu ketika kejadian memakai Baju Merah di kemudian Hari di ketahui berada di antara para Penyidik yang menginterogasi Korban Penyerbuan di Kantor Polda Metro Jaya. Belakangan di ketahui bahwa Orang-orang Yayasan At-Taubah, Lembaga yang Membina para Mantan Napi yang ingin kembali bermasyarakat juga di peralat untuk menyerbu dan mengambil alih Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Hal ini terungkap setelah Seno Bella Emyus dan Kawan-kawannya dari Yayasan tersebut mengadu ke TPDI. Mereka di janjikan Rp 200 Juta apabila Penyerbuan dan Pengambilalihan telah selesai. Namun ternyata janji itu di ingkari. Dalam Gugatannya di Pengadilan saat penghujung Orde Baru, Seno menjelaskan ia mengumpulkan Anak Buahnya sebanyak 400 Orang berkumpul di Cibubur Tanggal 26 Juli 1996 sekitar Jam 19.00 WIB. Dari sana di bawa ke Polda Metro Jaya. Kemudian mereka ke Hotel Kartika Plaza. Dari tempat inilah mereka berangkat menuju Jalan Diponegoro No.58 melalui Jalan Imam Bonjol. Seno mengaku pada saat terjadi Negosiasi antara Pendukung Megawati dan Kapolres Jakarta Pusat Rombongannya Melarikan Diri sambil membuka Kaos Merah dan membuangnya ke Kali. Sehingga pada saat Penyerbuan ke-2 mereka tidak ikut. Di samping Anggota Yayasan At-Taubah banyak Rakyat Kecil lain juga di peralat untuk menyerbu dengan iming-iming Pekerjaan. Mereka umumnya para Pekerja Sektor Informal, seperti Buruh Lepas dan Keamanan Kampung yang berasal dari : - Jembatan Dua. - Muara Angke. - Kapuk. - Cengkareng . Di Pengadilan terungkap dari Keterangan beberapa Saksi, mereka di tawari Pekerjaan oleh seseorang untuk menjaga Tanah di Daerah Sentul Bogor dengan imbalan sebesar Rp 70.000 per hari. Ternyata mereka di bawa ke Pulo Mas untuk kemudian di angkut ke Gedung Artha Graha Jalan Jenderal Sudirman. Pada hari Sabtu dini hari 27 Juli 1996 mereka di suruh berbaris dan di Kawal oleh beberapa Petugas yang tak jelas asal Kesatuan dan Pangkatnya. Mereka kaget ketika di suruh memakai Kaos "PDI Pendukung Kongres IV Medan". Mereka lebih kaget lagi ketika di angkut naik Truk dan Bus menuju Jalan Diponegoro untuk melakukan Penyerbuan. Mereka menghadapi dilema, ingin Lari tapi Jalan di belakangnya di hadang Aparat bersenjata lengkap. Jika diam bisa terkena lemparan Pendukung Megawati yang sedang berjuang mempertahankan diri. Lain lagi Cerita para Preman dan Buruh Bongkar Muat di Pasar Induk Kramat Jati. Mereka di iming-imingi menonton Dangdut di Diskotek. Dengan di Koordinasi seorang Tokoh Ormas di kawasan itu sekitar 200 Orang menerima Uang masing-masing Rp20.000 plus Makan dan Rokok. Mereka kemudian di angkut dengan 7 buah Mobil. Ternyata mereka di kumpulkan di sebuah Gedung di belakang Polda Metro Jaya dan di beri Kaos Merah. Mereka sadar di peralat dan sebagian berhasil meloloskan diri. SIAPA DALANGNYA? Masih banyak Sisi Gelap dalam Tragedi 27 Juli 1996. Misalnya siapakah Dalang Peristiwa Berdarah itu?  Lalu di manakah para Korban yang Hilang? Dalam Rangka Penyusunan Buku "Jejak Langkah 27 Tahun dari PDI ke PDI Perjuangan" terbitan DPP PDI Perjuangan (2000) Penulis pernah menemui mantan Ketua TPDI RO Tambunan SH untuk menanyakan Kasus tersebut dari aspek Hukum. Ia menjelaskan dari segi Yuridis hal itu merupakan Pelanggaran karena pengambil alihan suatu Kantor, siapa pun yang merasa punya Hak atas Kantor itu tidak boleh Main Hakim Sendiri. "Pengambil alihan harus melalui Prosedur Hukum, melalui pengosongan oleh Pengadilan. Pengambil alihan tidak bisa dengan menyerbu, tindakan kekerasan, penganiyaan dan mengakibatkan Tewasnya Orang lain", paparnya. Adapun siapa yang paling bertanggung-jawab terhadap Penyerbuan itu, menurut Tambunan harus di lihat dari siapa yang melakukan Penyerbuan. Kalau Penyerbuan itu murni di lakukan oleh Kelompok Soerjadi yang bertanggungjawab adalah Soerjadi yang mengaku sebagai Ketua Umum DPP PDI. Lalu Orang yang memimpin atau menggerakkan Penyerbuan itu dalam hal ini adalah para Pengurus Kelompok Soerjadi yakni : - Buttu R. LilyHutapea. - Alex  Widya Siregar. - Romulus Sihombing. Tapi... Lanjut Tambunan, Data-data dalam Persidangan baik dalam Persidangan Korban 27 Juli maupun Persidangan Perkara Perdata Seno Bella yang menggerakkan adalah ABRI (saat itu TNI dan Polri belum di pisah). "Kita dengar mereka di kumpulkan di Cibubur, Polda dan sebagainya. Pada kenyataannya yang di gunakan adalah Preman-preman di tambah dengan ABRI", katanya. Di Era Presiden BJ Habibie, Tambunan bersama TPDI pernah menemui mantan Kassospol ABRI Syarwan Hamid yang sudah menjabat Mendagri. "Saya katakan kepada Syarwan Hamid, Peristiwa 27 Juli 1996 tidak lepas dari tanggungjawab : - Soeharto. - Pangab Feisal Tandjung. - Kassospol Syarwan Hamid . - Dan Aparat-aparat Keamanan. Jadi tanggungjawab Yuridis dan Politis sepenuhnya berada di Tangan Soeharto. Sebab Penyerbuan itu sendiri atas Perintah Soeharto kepada Pangab, terus ke Syarwan dan ke Aparat-aparat lainnya", jelas Tambunan. TPDI bertemu Syarwan Hamid untuk memintanya mundur dari Jabatan sebagai Mendagri. Saya bilang begini : "Anda tahu tentang Peristiwa 27 Juli 1996. Anda terlibat. ABRI terlibat. Bukti-bukti semua ada. Lalu kenapa Anda katakan Dalang Peristiwa 27 Juli 1996 itu Muchtar Pakpahan dan Budiman Soedjatmiko?". Syarwan tidak membantah dan mengelak. "Pada saat itu Saya kan bawahan. Saya dapat Perintah dari Atasan katanya sambil menunjuk Tangannya ke atas", tambah Tambunan. Zaman sudah berganti. Tentara juga sudah mereformasi diri menjadi Alat Negara yang memiliki banyak Prestasi membanggakan. Namun Kasus 27 Juli 1996 tidak pernah tuntas secara Hukum. Belum pernah ada Keputusan Pengadilan yang menyatakan siapa Dalang sesungguhnya. Soeharto dan Feisal Tanjung Wafat tanpa sempat di mintai keterangannya. Hingga kini Kawan-kawan yang di Hilangkan secara paksa di penghujung kekuasaan Orde Baru juga tidak di ketahui keberadaannya. *** Retor AW Kaligis. Tim Penyusun Buku "Jejak Langkah 27 Tahun dari PDI ke PDI Perjuangan". Terbitan DPP PDI Perjuangan (2000). Doktor Sosiologi Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar