Rabu, 27 Januari 2021

UNDANGAN UNTUK REFLEKSI DAN KETERLIBATAN PADA MASALAH ETIS TERKAIT DENGAN DISTRIBUSI VAKSIN COVID-19

Dari Dewan Gereja-gereja se Dunia dan Kongres Jahudi se Dunia:

UNDANGAN UNTUK REFLEKSI DAN KETERLIBATAN PADA MASALAH ETIS TERKAIT DENGAN DISTRIBUSI VAKSIN COVID-19

(terimakasih kepada Pdt Dr Joas Adiprasetya, yang telah berinisiatif menerjemahkannya)

Geneva/New York, 22 December 2020

Akhirnya, muncul sebuah terang di ujung terowongan COVID-19. Terdapat hampir 200 calon vaksin pada saat ini dalam proses pengembangan dan uji klinis. Lebih dari sepuluh vaksin sedang berada dalam ujicoba skala besar Fase 3, dari situ beberapa hasil yang sangat menjanjikan telah muncul. Beberapa vaksin telah menerima otorisasi terbatas atau untuk keadaan darurat, dan program vaksinasi kini dimulai di beberapa negara. Harapan meningkat untuk berakhirnya pandemi, kematian, dan penderitaan yang telah diakibatkannya, dan dampak-dampak bagi seluruh kehidupan kita, masyarakat dan ekonomi.

Namun demikian, terlepas dari kecepatan pengembangan, pengujian, dan persetujuan vaksin ini yang belum pernah terjadi sebelumnya, mereka tidak menawarkan solusi langsung atau lengkap untuk pandemi. Kebutuhan dan permintaan global pasti akan melebihi pasokan dalam jangka pendek hingga menengah. Diperkirakan tidak akan tersedia cukup vaksin untuk seluruh penduduk dunia hingga tahun 2023 atau 2024. Akibatnya, pemerintah, otoritas terkait, dan praktisi medis mau tak mau harus membuat keputusan sulit terkait dengan prioritas untuk peluncuran dan distribusi dari sumber daya yang tersedia secara terbatas ini.

Karena keputusan semacam itu pada dasarnya bersifat etis, para pemimpin agama dan organisasi-organisasi memiliki sebuah peran penting dan tanggung jawab untuk terlibat dalam diskusi kebijakan yang relevan.

Di tingkat internasional, sebuah perhatian utama adalah pada pemerataan global dalam distribusi vaksin yang tersedia, sehingga negara-negara miskin tidak dikecualikan dari akses pada produk-produk yang menyelamatkan kehidupan ini. COVAX—sebuah kemitraan antara GAVI (Global Alliance for Vaccines and Immunization; Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi), WHO (World Health Organization; Organisasi Kesehatan Dunia), dan CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations; Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi)—telah dibentuk untuk menangani masalah ini, dan untuk menawarkan negara-negara yang didukung oleh COVAX untuk memiliki akses yang adil kepada vaksin yang efektif. Mayoritas negara yang berpenghasilan tinggi dan menengah telah berkomitmen untuk mendanai COVAX, demi membantu negara-negara berpenghasilan rendah dalam mengakses persediaan vaksin. COVAX bertujuan untuk menyediakan dua miliar dosis pada akhir tahun 2021 untuk melindungi populasi yang berisiko tinggi di negara-negara miskin di seluruh dunia, dan dalam jangka yang lebih panjang memberikan kepada mereka dosis yang cukup untuk mencapai 20% dari populasi mereka.

Terlepas dari komitmen publik terhadap solidaritas internasional, "nasionalisme vaksin" tetap menjadi sebuah perhatian yang serius. Transaksi langsung yang dilakukan oleh negara- negara berpenghasilan tinggi (dan beberapa negara berpenghasilan menengah) menghasilkan sebuah kemungkinan yang sangat berkurang bagi tersedianya pasokan untuk alokasi global yang adil. Banyak negara berpenghasilan tinggi telah melakukan pembelian di muka dalam dosis yang cukup dari beberapa calon vaksin yang berbeda untuk memvaksinasi populasi mereka beberapa kali lipat. (Catatan kaki: Duke Global Health Innovation Center, Launch & Scale Speedometer: https://launchandscalefaster.org/COVID-19). Ini merupakan sebuah masalah moral yang menuntut tanggapan dan tindakan dari para pemimpin agama.

Di tingkat domestik, alokasi pasokan vaksin COVID-19 yang terbatas pada akhirnya akan dilakukan oleh masing-masing pemerintah nasional berdasarkan konteksnya sendiri dan risiko yang sudah diteliti. Kerangka kerja bagi alokasi sumber daya yang langka harus didasarkan pada sebuah pilihan yang jelas dan spesifik dari tujuan(-tujuan) prioritas yang paling penting dalam konteks tersebut. Sebagaimana diakui di dalam sebuah Konsep yang dikembangkan oleh WHO bagi akses yang adil dan alokasi yang setara dari produk-produk kesehatan COVID-19, "sains dan/atau bukti saja tidak dapat memberi tahu kepada kita pilihan atau tujuan mana yang 'benar' atau yang mengarah bagian masyarakat yang harus dipentingkan. Ini membutuhkan sebuah keputusan nilai, yang merupakan domain dari etika."

Di dalam tradisi Kristen dan Yahudi, beberapa dasar utama biblis yang di atasnya refleksi- refleksi dan tindakan-tindakan para pemimpin dan komunitas agama harus didasarkan meliputi:
• Martabat dan harga diri yang Allah berikan kepada setiap manusia. (Kej. 1:27)
• Perintah untuk mengasihi sesama kita seperti mengasihi diri kita sendiri. (Im. 19:18; Mrk. 12:31)
• Seruan iman untuk secara khusus peduli pada mereka yang paling lemah dan paling rapuh di antara kita. (Yes. 1:17; Yak. 1:27)

Di dalam keterlibatan mereka dalam percakapan-percakapan nasional mengenai alokasi vaksin, para pelaku agama harus mempertimbangkan beberapa prinsip dan isu berikut:
• Kesetaraan: Sumber daya yang tersedia harus dialokasikan tanpa diskriminasi—yaitu tanpa perlakuan yang tak setara yang tidak dapat dibenarkan atas dasar karakteristik-karakteristik seperti ras, etnisitas, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, usia, afiliasi agama, kebangsaan, status sosial, atau kemampuan untuk membayar.
• Hak asasi manusia atas kesehatan: Sebagai sebuah masalah hukum hak asasi manusia internasional, setiap manusia memiliki hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai. (Catatan kaki: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, article 12(1); Universal Declaration of Human Rights, article 25)
• Semua tindakan harus dipandu oleh tujuan untuk meminimalkan jumlah kematian dan menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa.
• Sasaran mana yang harus mendaptkan nilai/prioritas tertinggi? Beberapa alternatif untuk dipertimbangkan dalam hal ini adalah sebagai berikut:
o Menghentikan pandemi dengan cara tercepat (yaitu "kebaikan yang lebih besar:);
o Melindungi mereka yang paling rapuh/mereka yang paling berisiko mengalami sakit
parah jika terinfeksi;
o Memastikan bahwa petugas kesehatan terlindungi dan bahwa sistem kesehatan
masyarakat tidak kewalahan dan mampu terus mendukung kebutuhan kesehatan
masyarakat;
o Menghindari kerugian umum dan jangka panjang terhadap ekonomi dan mata
pencaharian mayoritas penduduk; atau,
o Kesejahteraan, pendidikan dan prospek masa depan dari kaum muda (yang secara umum lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami sakit parah akibat virus ini).

Pilihan atas tujuan yang mana yang harus diprioritaskan—yang mungkin berbeda di antara negara-negara dan konteks-konteks—akan menentukan strategi alokasi vaksin di negara atau konteks tersebut. Tetapi pilihan mana pun yang diambil, dalam sebuah konteks sumber daya yang terbatas dan tidak mencukupi, beberapa pasti akan kalah meskipun memiliki klaim moral yang sah. Oleh karena itu, sungguh sangat penting bahwa pilihan itu sendiri, pembenaran moral untuk pilihan itu, dan proses yang melaluinya pilihan itu diambil harus dikomunikasikan secara terbuka dan transparan. Selain itu, pilihan tersebut harus diterapkan secara konsisten, melalui sebuah cara yang non-diskriminatif—yaitu, jika vaksin dialokasikan berdasarkan kebutuhan atau kerapuhan, mereka yang memiliki kebutuhan atau kerapuhan serupa harus diperlakukan serupa.

Para pemimpin agama harus mempertimbangkan untuk mengkonfrontasi secara publik rumor yang tidak berdasar dan mitos-mitos konspirasi, yang dipromosikan tanpa bukti, yang merusak kepercayaan publik pada otoritas dan layanan kesehatan dan pada vaksin-vaksin yang telah diuji dan disetujui itu sendiri—yang dengan demikian dapat mengancam respons kesehatan masyarakat yang efektif terhadap pandemi. Dalam beberapa kasus, mitos-mitos konspirasi semacam itu secara eksplisit memiliki dasar antisemitik yang harus dikecam. Pemimpin agama senior mungkin ingin menimbang kemungkinan, misalnya, untuk divaksinasi di depan media, idealnya bersama-sama untuk menunjukkan solidaritas dan kerja sama antaragama, jika demonstrasi seperti itu akan membantu mengurangi ketakutan yang tidak berdasar dan "keengganan vaksin" (vaccine reticence) di dalam komunitas-komunitas mereka.

Di beberapa negara, otoritas terkait dapat mempertimbangkan untuk mewajibkan vaksinasi, atau sebuah prasyarat penting untuk akses ke layanan publik atau fasilitas swasta tertentu (termasuk perjalanan udara). Ini kemungkinan besar akan menjadi tindakan kontroversial. Namun demikian, sementara sumber daya pada prinsipnya tidak boleh digunakan untuk perawatan yang pasien tidak ingin menerimanya, dalam konteks usaha-usaha luar biasa saat ini untuk mengendalikan pandemi global, pertimbangan kesehatan masyarakat yang sah dapat membenarkan tindakan yang sebaliknya akan dianggap kejam.

Undangan ini dikeluarkan tanpa bermaksud untuk menetapkan pendekatan-pendekatan khusus untuk diterapkan di mana-mana, melainkan untuk mendorong para pemimpin agama dan organisasi berbasis agama untuk memainkan peran mereka yang sesuai dan dibutuhkan dalam berkontribusi pada diskusi-diskusi kebijakan publik tentang isu-isu kritis ini, yang harus dipertimbangkan setiap masyarakat di dalam momen yang penting ini.

Rev. Prof. Dr Ioan Sauca 
Interim General Secretary World Council of Churches

Maram Stern
Executive Vice President World Jewish Congresss

Link asli: https://www.oikoumene.org/resources/documents/invitation-to-reflection-and-engagement-on-ethical- issues-related-to-covid-19-vaccine-distribution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar