Jauh sebelum nama Hercules Rosario Marshall disebut dengan penuh ketakutan oleh para pengusaha, jauh sebelum ia menjadi ikon kontroversial karena kedekatannya dengan Prabowo Subianto, namanya lebih dulu bergema dalam forum² ilmiah.
Dibalik tubuh kekar dan reputasi jalanan, para ilmuwan sosial melihat sebuah gejala yg lebih luas : *absennya negara.*
Salah satu yg paling tajam membedahnya adalah lan Douglas Wilson, akademisi asal Australia yg juga dosen di Murdoch University. Dalam buku _The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia,_ yg diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai _Politik Jatah Preman,_ Wilson menyebut kehadiran Hercules sebagai cerminan dari kegagalan negara dalam menjalankan fungsi² dasarnya : melindungi, mengatur dan menciptakan keadilan.
Hercules, kata Wilson, adalah perantara kekuasaan informal yg muncul karena kekosongan otoritas formal. la adalah "makelar kekerasan" dalam sistem demokrasi yg pincang, tempat dimana hukum tidak mampu menjangkau lorong² paling gelap dari Republik ini.
Wilson menggambarkan Hercules bukan sebagai pengecualian, tetapi sebagai pola, sebagai manifestasi struktural dari relasi kuasa yg terputus antara rakyat dan negara.
Kadang Hercules berjalan di lorong gelap, kadang pasar yg riuh, kadang berselimut wangi jas dan dasi, tapi tetap membawa jejak sepatu dari lumpur jalanan.
Ia hadir di ruang² kosong yg dibiarkan negara menganga. Sebab, dalam dunia yg tanpa jaminan keadilan, reputasi kekerasan lebih dipercaya ketimbang proses hukum.
Dalam pengamatan Wilson, yg selama ber-tahun² tinggal di Indonesia, Hercules adalah tokoh yg "mengerti betul bagaimana memanfaatkan ketakutan sebagai mata uang sosial."
Kekuatannya bukan semata berasal dari otot, melainkan dari jejaring, loyalitas dan ini yg paling penting, ambiguitas hukum yg dibiarkan tumbuh oleh rezim pasca-Orde Baru. la menyebut ini sebagai _coercive capital_ - modal koersif yg digunakan untuk membentuk otoritas tanpa legitimasi formal.
Wilson tidak sedang menulis kisah kriminal. la menulis tentang demokrasi yg compang-camping. Tentang negara yg kehilangan taringnya. Tentang hukum yg hanya hadir di pasal², tapi tidak menyapa di lorong² pasar.
Kekuasaan, kita tahu, tidak selalu hadir dalam bentuk yg bisa ditakar. Di negara yg merayakan pemilu lima tahun sekali, kita membayangkan kedaulatan rakyat sebagai pusat kekuatan. Tapi diluar sana, diluar podium dan televisi, kekuasaan juga bisa hadir lewat tepukan di meja warung kopi, atau kalimat yg samar seperti, "Kami juga ingin diperhatikan."
Begitulah yg terjadi di sebuah ruangan dingin, di kantor sebuah perusahaan otomotif Tiongkok, BYD. Orang² datang dengan senyum, mengaku sebagai "mitra lingkungan," bicara perihal harmoni dan keamanan. Tapi dibalik kata² itu ada sesuatu yg tidak diucapkan. Yg tidak perlu diucapkan.
Jatah. Itu kata yg tidak pernah disebut, tapi justru paling terasa. Wilson menyebutnya sebagai _"invisible coercion"_ yg dibungkus dalam bahasa kewirausahaan dan stabilitas.
Orang² seperti Hercules atau para penerusnya, tidak sekadar meminta upeti. Mereka menawarkan "perlindungan" dari kekacauan yg mereka sendiri ciptakan dan dalam logika yg ironis, itu dianggap sebagai bentuk "kontribusi sosial".
Premanisme hari ini tidak selalu datang dengan parang dan tatapan tajam. Ia bisa muncul lewat proposal pengamanan. la bisa menyebut dirinya ormas. la bisa berfoto bersama politisi. la bisa mengirimkan surat resmi. Tapi tetap, yg ia bawa adalah dunia lama : dunia tanpa kepastian hukum, tanpa perlindungan yg adil. Dunia dimana yg kuat adalah yg bisa membuat takut.
Kita bisa melihat semua ini sebagai kegagalan hukum. Tapi mungkin lebih dari itu : ini adalah cermin dari negara yg tidak selesai. Negara yg membiarkan kekuasaan berserakan dan tidak pernah sungguh² merebutnya kembali dari tangan² tidak bernama.
Wilson menyebut Indonesia sebagai demokrasi yg "dipenuhi bayangan" - bayangan kekuasaan informal yg menyusup kedalam sistem formal. Preman, kata Wilson, bukanlah lawan dari negara, tetapi kadang mitra yg dibutuhkan oleh elite untuk mengerjakan apa yg tidak bisa dilakukan secara sah.
Hercules pernah menjadi ancaman bagi negara. Tapi ia juga sekaligus penanda : bahwa negara bisa diancam karena ia terlalu lama absen.
Dan para "mitra lingkungan" yg mengetuk pintu BYD itu mereka adalah penerus jaman. Mereka tidak perlu keras. Cukup hadir. Karena mereka tahu, dalam dunia yg tidak pasti, ketakutan adalah alat tawar paling kuat.
Wilson menulisnya dengan tenang. Tapi setiap kalimatnya memanggil kita untuk bertanya : apakah kekuasaan kini benar² ada ditangan rakyat atau diam² telah diambil alih oleh yg tahu cara menundukkan tanpa perlu bicara keras?
*"Mungkin itulah tragedi kita hari ini : negara ada, tapi tidak hadir. Preman ada dan selalu tahu kapan harus datang"*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar