Minggu, 06 November 2016

Serbal Jokowi Berpotensi 'Fatal' Bagi SBY

status fb Derek Manangka, mantan Pemred rcti dan MediaIindomesia: CATATAN TENGAH, Minggu 6 Nopember 2016

Serbal Jokowi Berpotensi 'Fatal' Bagi SBY 

*) Terbongkar, 34 Proyek PLN Mangkrak 

JAKARTA -  Pengumuman oleh dua Menteri di Kabinet Presiden Joko Widodo pada Jumat siang 4 Nopember 2016, tentang dua perkara penting,  nampaknya tenggelam dalam hingar bingar peliputan Demo Damai "Sejuta Umat". Walaupun pengumuman kedua Menteri itu disiarkan secara live oleh stasiun TV, di saat massa sedang berkonsolidasi di mesjid Istiqlal, namun nampaknya tidak banyak orang  yang memperhatikan esensinya. 

Dokumen itu, bisa dikatakan memang sangat fundamental. 
Perkara itu antara lain bisa membuka tabir sejumlah mega skandal korupsi di era pemerintahan SBY. Sekaligus dapat membalikkan semua kleim keberhasilan pemerintahan SBY selama 10 tahun, ke titik zero.  

Ibarat bencana, jika dua dokumen itu terpolitisasi, goncangannya bisa seperti sebuah hantaman tsunami terhadap rezim sebelumnya. 

Joko Widodo, Presiden yang sedang berkuasa membongkar aib masalah lalu dari Presiden yang digantikannya. 

Apa sih dokumen itu ? 

Pertama soal penegasan Menteri Sekretaris Negara Pratikno bahwa dokumen asli Tim Pencari Fakta pembunuhan Munir, tidak ditemukan di arsip Sekretariat Negara. Sehingga hal ini menyebabkan pemerintahan Joko Widodo tidak bisa menindak lanjuti kasus ini sesuai desakan Presiden SBY. 

Dengan penegasan itu, Presiden Joko Widodo seolah 'menyuruh' balik  SBY untuk menelusuri dimana keberadaan dokumen negara tersebut. 

Hal ini bisa berujung dipanggil atau diperiksanya SBY oleh aparat Kejaksaan.  Pemeriksaan ini jika terjadi, secara psikologis akan sangat memukul kewibawaan SBY sebagai bekas Presiden RI.

Sementara itu dari sisi psikologis, belum tentu SBY siap diperiksa atau memenuhi panggilan Kejaksaan seperti yang dilakukan oleh almarhum Presiden Soeharto, pasca terjungkalnya dari kekuasaan di tahun 1998.

Namun sebaliknya apabila SBY tidak bersedia  diperiksa atau memenuhi panggilan jaksa, sikap itu akan  menjadi semacam senjata makan tuan.  Penegasan SBY agar di negara ini tidak boleh ada warga negara yang kebal hukum, dia langgar sendiri. 

Selama dokumen itu tidak ditemukan, SBY seperti dipaksa harus memegang "bola panas" . Dan ironisnya "bola panas" tersebut tidak bisa dipindahkannya ke orang lain. 

Tuduhan terhadap SBY sebagai pihak yang menghilangkan dokumen negara itu, akan sangat mendestruksi kredibilitasnya sebagai bekas Presiden. 

Pertanyaan lanjutannya, masih bisakah SBY  menemukan kembali dokumen TPF Munir tersebut ? Inilah sebuah pertanyaan sekaligus sebuah persoalan. 

Kasus terbunuhnya Munir, bertema  soal pelanggaran HAM dan isunya sudah mengglobal.

Oleh sebab itu kalau hilangnya dokumen itu menjadi sebuah persoalan, hal ini akan menjadi beban tersendiri bagi SBY baik sebagai politisi maupun jenderal yang demokrat. 

Dokumen  kedua soal mangkraknya 34 buah proyek PLN di era pemerintahan SBY. Mangkraknya proyek tersebut sejauh ini terkesan tertutupi atau ditutup-tutupi. 

DPR misalnya tidak pernah menggugatnya.  Sudah dua tahun SBY meninggalkan kursi kekuasaan, baru sekarang kasusnya terbongkar.  

Yang mengungkapkan skandal korupsi ini BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan), lembaga anti rasuah yang dibentuk di era Presiden Soeharto.  

Ini saja mengundang tanya - mengapa BKPK dan kemana atau dimana KPK yang dibentuk pasca reformasi, tahun 2002 ? 

Momen pengungkapan ini terjadi di saat SBY sedang berusaha 'come back' ke panggung politik nasional, misalnya melalui keikut sertaan trahnya Agus Hari Murti di Pilkada DKI 2017.  

Paradoksal memang. Karena modal yang digunakannya untuk 'come back' berupa politisi berkualitas dan Presiden yang berhasil serta bersih dari korupsi. 

Tapi mangkraknya 34 proyek di era SBY, membalikkan semua teori bersih dan berbagai atribut positif lainnya. 

Sebab kerugian negara akibat kegagalan protyek itu sangat besar. Jauh lebih besar dari Proyek Hambalang. 

Kalau tidak salah mencatat, Menteri Pramono Anung menyebut, kerugian negara itu mencapai sekitar Rp. 76 Triliun!  Sekali lagi triliunan rupiah, bukan ratusan milyar rupiah. 

Pertanyaannya, kemana saja uang sebanyak itu mengalir ? 

Dijadikannya tanggal 4 Nopember 2016 sebagai momen pilihan untuk mengumumkan "dosa" pemerintahan  SBY, tidak bisa dianggap sebagai hal secara kebetulan.

Boleh jadi itu pilihan. Bisa jadi Presiden Joko Widodo sudah merasa "enouh is enough", karena  selama 2 tahun memerintah, yang paling banyak mengeritiknya hanya SBY. 

Dibalik kritikan itu, membentang sebuah sindiran, seolah-olah Joko Widodo masih harus banyak belajar. Hal mana kemudian mengundang Jokowi dan para penasehat sekaligus pembisiknya untuk bersikap. 

Kebetulan ada momen penting. Yaitu hari dimana terjadi Demo Damai "Sejuta Umat".  Momen itu sebetulnya hari dimana Joko Widodo sedang dimarginalisasi.  

Tapi hasilnya berbeda. Jokowi pun 'menumpang' di atas peristiwa itu. Jokowi pun bisa bermanuver di sana. 

Jadi bukan hanya SBY dan mereka  yang ingin menjatuhkan Jokowi yang bisa mengkapitalisasi momen tersebut.

Joko Widodo yang selama ini terkesan bersikap pasif dalam menghadapi serangan atau kritikan Presiden SBY, berbalik agresif. 

Maka pengungkapan kasus ini bisa berarti sebagai sebuah momen dimana bendera perlawanan Joko Widodo terhadap SBY, dikibarkan.

Pengungkapan kasus di atas,  tak berarti hanya itu "kartu truf" yang dimiliki Presiden Joko Widodo. 

Dari berbagai postingan oleh sejumlah staf di bawah kementerian pimpinan Luhut Panjaitan misalnya, tercatat  adanya skandal Bank Century dan Proyek Hambalang.  

Presiden Joko Widodo didesak untuk membongkar  semuanya. 

Pembongkaran kasus Bank Century makin mungkin terjadi sebab pada 10 Nopember pekan ini, Antasari Azhar, mantan Ketua KPK akan bebas dari penjara. 

Antasari termasuk salah seorang yang mengetahui ceritera lengkap terjadinya skandal Bank Century. 

Antasari yang dijatuhan hukuman 18 tahun, tapi kemudian memperoleh berbagai remisi, pernah berjanji akan "bernyanyi" setelah bebas dari tahanan.  Dan kalau Antasari "bernyanyi", sejumlah orang penting di rezim  SBY bakal terkait-kait.  

Yang menjadi pertanyaan, apakah nama-nama yang bakal diungkap Antasari hanya berhenti di mereka yang melingkari SBY? 

Pembongkaran Skandal Bank Century perlu. Sebab kasus ini menyebabkan negara kehilangan uang sebanyak Rp. 6,7 Triliun. 

Pembongkarannya semakin  menemukan momentum setelah kehadiran Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan di pemerintahan Joko Widodo. 

Karena di tangannya dia, Menkeu yang sempat "dibuang" oleh SBY ini, tersimpan sejumlah fakta. Apa dan bagaimana sebenarnya peran Presiden SBY dalam mega skandal bank swasta ini.

Duet Antasari - Sri Mulyani akan menjadi pasangan menarik dalam pembongkaran skandal Bank Century. 

Sejauh ini skandal itu masih menyisakan sejumlah misteri.  Sebab dana sebanyak Rp. 6,7 triliun sudah dikeluarkan dari brankas Bank Indonesia, tapi nyatanya para nasabah Bank Century masih banyak yang tidak mendapatkan ganti rugi sama sekali. 

Pertanyaan yang selalu diajukan para nasabah tapi tak pernah terjawab, kemana jadinya uang hasil talangan itu ? 

Jika Antasari  "bernyanyi", bukan mustahil mereka yang sedang dipenjara akibat perbuatan korupsi mereka di era pemerintahan SBY, juga bakal ikut-ikutan. Kemungkinan banyak "novum" baru terungkap dari berbagai skandal korupsi oleh mereka yang menjadi korban  atau dikorbankan.

Menurut catatan, saat ini setidaknya terdapat 5 Menteri  di era pemerintahan SBY yang tengah meringkuk dalam penjara, dengan tuduhan korupsi. 

Mereka adalah Siti Fadilah Supari (eks Menkes), Dahlan Iskan (eks Meneg BUMN), Andi Mallarangeng (eks Menteri Pemuda dan Olahraga), Surya Darma Ali (eks Menteri Agama) dan Jero Wacik (eks Menteri ESDM). 

Mereka semua kemudian disebut-sebut sebagai orang yang "sakit hati" terhadap SBY. 

Jumlah mereka makin bertambah jika politisi lainnya yang menjadi kader Partai Demokrat, partai yang kini diketuai oleh SBY sendiri, ikut dimasukkan. 

Seperti Anas Urbaningrum (mantan Ketum Partai Demokrat) dan Angelina Sondakh, bintang iklan "Katakan Tidak Pada Korupsi", iklannya Partai Demokrat. 

Kemudian Sutan Batoegana si politisi yang kesohor dengan ungkapan centilnya   "masuk barang itu". Dan tak ketinggalan mantan Bendara Partai Demokrat, Nazarudin. 

Bersatunya para "sakit hati" ini dengan tekad Joko Widodo membongkar kasus-kasus yang sudah disebutkan di atas, mampu menimbulkan kerusakan fatal pad diri Presiden SBY. 

Semua bahan di atas menjadi mesiu bagi senjata serbal  Presiden Joko Widodo. 

Serbal Joko Widodo ini sendiri boleh jadi tidak direncanakan. Tetapi mencuat tiba-tiba, setelah Presiden ke-7 RI merasa terus menerus  disudutkan dalam berbagai  hal. Misalnya yang terakhir dia dianggap konconya Gubernur DKI Ahok Basuki Tjahaja Purnama. Dalam kasus penistaan agama dan kasus-kasus lainnya, Joko Widodo dikesankan melindungi Ahok. 

Pernyataan Presiden SBY yang antara lain menyebut bahwa kalau kasus Ahok tidak diselesaikan secara hukum, sampai Lebaran Kuda pun kegaduhan tak akan bisa dihentikan, bermakna sarkartis dan menyakitkan bagi bekas Walikota Solo ini. 

Nah serbal-nya Joko Widodo ini, besar kemungkinan bakal menyebabkan tersobeknya baju persahabatan kedua figur. 

Semoga saja, tersobeknya persahabatan kedua figur - kalau itu memang terjadi, hanya berhenti di lingkaran mereka sendiri. Kita berharap tidak ikut mengoyak "barang pecah bela"  yang ada di hadapan mereka berdua. 

Kalimat bagian akhir ini hanyalah sebuah kiasan atau perumpamaan. 

Sebab pemberantasan korupsi tidak boleh  melahirkan dendam baru dan perkelahian. Termasuk dendam dan perkelahian politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar