Bu Ani, Masih Berani jadi Menkeu?
Pagi saya mendapat pesan singkat dari kawan lama. Isinya menginformasikan, "Bu Ani (Sri Mulyani Indrawati) ke Indonesia." Pesan singkat yang biasa dikirimkannya setiap Managing Director Bank Dunia itu pulang kampung.
Bedanya, kunjungan Bu Ani kali ini dilakukan ketika isu mengenai perombakan Kabinet Kerja menguat. Dugaan saya ternyata benar, salah satu alasannya mudik karena menerima pinangan Presiden Joko Widodo.
Sore ini, Rabu (27/7), Bu Ani kembali ke Lapangan Banteng, Jakarta Pusat untuk menahkodai lagi Kementerian Keuangan, instansi yang mengawali reformasi birokrasi ketika dipimpinnya dulu.
Tidak ada keraguan sedikit pun terhadap kapasitas Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai bendahara negara. Yang jadi pertanyaan saya justru, Kok ya masih mau Bu Ani kembali ke Lapangan Banteng (Kementerian Keuangan)?. Nggak kapok apa menghadapi dinamika politik anggaran yang pernah mendepaknya?
Banyak pengalaman emosional yang pernah dialami SMI di Lapangan Banteng. Mulai dari kisah yang menyenangkan, menyedihkan, hingga membuatnya marah besar.
Tak terlalu penting mengulas kisah menyenangkan SMI di Lapangan Banteng, seperti saat-saat mendengarnya beryanyi atau ketika bermain voli.
Menarik justru mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah merusak emosi SMI ketika menjadi pembantu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ketika krisis ekonomi 2008, misalnya, masa-masa yang memeras keringat dan menguras waktu para pejabat negara. Suatu hari di pertengahan Oktober, SMI menggelar rapat pimpinan Kemenkeu secara estafet, dari pagi hari hingga tengah malam. Misinya saat itu meredam dampak krisis subprime mortgage di AS terhadap perekonomian Indonesia.
Menjelang senja, kabar duka menyela agenda. Ibunda SMI, Prof Dr Retno Sriningsih dikabarkan meninggal dunia. Rapat diskorsing sementara, SMI keluar ruang menyeka air mata dan menghela nafas sejenak, lalu melanjutkan rapat hingga larut malam, hingga anak dan suaminya, Tony Sumartono menjemput dirinya.
Lalu pada medio 2009. SMI membuat gebrakan yang menganggu bisnis mantan Menko Perekonomian yang juga petinggi Partai Beringin, Aburizal Bakrie. Awalnya, SMI menghentikan alokasi anggaran penanganan bencana Lumpur Sidoarjo, yang berdasarkan audit investigative BPK merupakan kesalahan PT Lapindo Brantas.
Tak lama berselang, SMI menginstruksikan Direktorat Jenderal pajak (DJP) mengusut tunggakan utang pajak dan royalti batubara PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resources Tbk (Bumi), dan PT Arutmin Indonesia. Nilai total tunggakan pajak ketiga perusahaan tambang milik keluarga Bakrie itu mencapai Rp 2 triliun.
Konflik keduanya tampak semakin meruncing saat pemerintah dan Bakrie berebut 10 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Dalam kasus ini, Bakrie dimenangkan ketika rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menko Perekonomian Hatta Radjasa menyerahkan hak divestasi ke Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat.
Rangkaian kebijakan itu pula yang akhirnya memaksa SMI hengkang dari Indonesia. Puncaknya ketika politisi Senayan mempermasalahkan kasus Bailout Bank Century pada akhir 2008. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FJPP) sebesar Rp689,39 miliar ke Bank Century saat itu menyeret SMI dan Boediono (Gubernur Bank Indonesia) selaku ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) ke dalam pergulatan politik dan hukum yang kurang nyaman. Keputusan sulit yang kabarnya pernah membuat Sri Mulyani marah besar terhadap jajaran Gubernur BI.
Di tengah desakan hukum dan ancaman koalisi pecah, berbekal restu SBY akhirnya SMI hijrah ke Bank Dunia sebagai direktur pelaksana. Lamban laun suhu politik mereda, imbas krisis keuangan dapat dikendalikan, dan hiruk-pikuk kasus Bank Century pun perlahan sirna.
"Saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya tidak di sini," ujar Sri Mulyani menjelang kepergiaannya ke Amerika pada Mei 2010.
Enam tahun berjalan, SMI akhirnya kembali ke Indonesia. Dia kembali menjadi Menkeu, tawaran jabatan Jokowi yang kabarnya pernah ditolak pada akhir 2014.
Kondisi politik dan ekonomi Indonesia saat ini tentu berbeda dengan kondisi ketika SMI hijrah ke Bank Dunia. Namun tantangan yang dihadapi mungkin hampir sama atau bahkan lebih berat. Kapasitas fiskal yang terbatas dalam menstimulus ekonomi menjadi salah satu tugas berat SMI memaksimalkan peran anggaran negara.
Sementara itu, soliditas koalisi pemerintah kembali diuji dengan masuknya sejumlah partai oposisi ke dalam koalisi Jokowi-Jusuf Kalla. Sisi positifnya tentu koalisi yang kuat dapat memperlancar proses politik anggaran di parlemen. Namun, belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, peta politik sangat mungkin berubah dan bisa saja berbalik menghambat kerja para pengambil kebijakan.
Di tengah euforia penunjukan SMI sebagai Menkeu, saya menyempatkan mengganti saluran televisi untuk menengok Rapimnas Golkar. Aburizal Bakrie dalam pidatonya menegaskan dukungan politik Golkar terhadap pemerintahan Jokowi-JK sebagai bentuk rekonsiliasi politik. Semoga itu bukan sinetron politik, yang sebenarnya sudah dipahami betul oleh SMI.
"Saya bukan dari partai politik, saya bukan politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu politik," tegas Sri Mulyani Indrawati.
Welcome back Bu Ani. Selamat melanjutkan reformasi birokrasi.
Pagi saya mendapat pesan singkat dari kawan lama. Isinya menginformasikan, "Bu Ani (Sri Mulyani Indrawati) ke Indonesia." Pesan singkat yang biasa dikirimkannya setiap Managing Director Bank Dunia itu pulang kampung.
Bedanya, kunjungan Bu Ani kali ini dilakukan ketika isu mengenai perombakan Kabinet Kerja menguat. Dugaan saya ternyata benar, salah satu alasannya mudik karena menerima pinangan Presiden Joko Widodo.
Sore ini, Rabu (27/7), Bu Ani kembali ke Lapangan Banteng, Jakarta Pusat untuk menahkodai lagi Kementerian Keuangan, instansi yang mengawali reformasi birokrasi ketika dipimpinnya dulu.
Tidak ada keraguan sedikit pun terhadap kapasitas Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai bendahara negara. Yang jadi pertanyaan saya justru, Kok ya masih mau Bu Ani kembali ke Lapangan Banteng (Kementerian Keuangan)?. Nggak kapok apa menghadapi dinamika politik anggaran yang pernah mendepaknya?
Banyak pengalaman emosional yang pernah dialami SMI di Lapangan Banteng. Mulai dari kisah yang menyenangkan, menyedihkan, hingga membuatnya marah besar.
Tak terlalu penting mengulas kisah menyenangkan SMI di Lapangan Banteng, seperti saat-saat mendengarnya beryanyi atau ketika bermain voli.
Menarik justru mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah merusak emosi SMI ketika menjadi pembantu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ketika krisis ekonomi 2008, misalnya, masa-masa yang memeras keringat dan menguras waktu para pejabat negara. Suatu hari di pertengahan Oktober, SMI menggelar rapat pimpinan Kemenkeu secara estafet, dari pagi hari hingga tengah malam. Misinya saat itu meredam dampak krisis subprime mortgage di AS terhadap perekonomian Indonesia.
Menjelang senja, kabar duka menyela agenda. Ibunda SMI, Prof Dr Retno Sriningsih dikabarkan meninggal dunia. Rapat diskorsing sementara, SMI keluar ruang menyeka air mata dan menghela nafas sejenak, lalu melanjutkan rapat hingga larut malam, hingga anak dan suaminya, Tony Sumartono menjemput dirinya.
Lalu pada medio 2009. SMI membuat gebrakan yang menganggu bisnis mantan Menko Perekonomian yang juga petinggi Partai Beringin, Aburizal Bakrie. Awalnya, SMI menghentikan alokasi anggaran penanganan bencana Lumpur Sidoarjo, yang berdasarkan audit investigative BPK merupakan kesalahan PT Lapindo Brantas.
Tak lama berselang, SMI menginstruksikan Direktorat Jenderal pajak (DJP) mengusut tunggakan utang pajak dan royalti batubara PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resources Tbk (Bumi), dan PT Arutmin Indonesia. Nilai total tunggakan pajak ketiga perusahaan tambang milik keluarga Bakrie itu mencapai Rp 2 triliun.
Konflik keduanya tampak semakin meruncing saat pemerintah dan Bakrie berebut 10 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Dalam kasus ini, Bakrie dimenangkan ketika rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menko Perekonomian Hatta Radjasa menyerahkan hak divestasi ke Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat.
Rangkaian kebijakan itu pula yang akhirnya memaksa SMI hengkang dari Indonesia. Puncaknya ketika politisi Senayan mempermasalahkan kasus Bailout Bank Century pada akhir 2008. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FJPP) sebesar Rp689,39 miliar ke Bank Century saat itu menyeret SMI dan Boediono (Gubernur Bank Indonesia) selaku ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) ke dalam pergulatan politik dan hukum yang kurang nyaman. Keputusan sulit yang kabarnya pernah membuat Sri Mulyani marah besar terhadap jajaran Gubernur BI.
Di tengah desakan hukum dan ancaman koalisi pecah, berbekal restu SBY akhirnya SMI hijrah ke Bank Dunia sebagai direktur pelaksana. Lamban laun suhu politik mereda, imbas krisis keuangan dapat dikendalikan, dan hiruk-pikuk kasus Bank Century pun perlahan sirna.
"Saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya tidak di sini," ujar Sri Mulyani menjelang kepergiaannya ke Amerika pada Mei 2010.
Enam tahun berjalan, SMI akhirnya kembali ke Indonesia. Dia kembali menjadi Menkeu, tawaran jabatan Jokowi yang kabarnya pernah ditolak pada akhir 2014.
Kondisi politik dan ekonomi Indonesia saat ini tentu berbeda dengan kondisi ketika SMI hijrah ke Bank Dunia. Namun tantangan yang dihadapi mungkin hampir sama atau bahkan lebih berat. Kapasitas fiskal yang terbatas dalam menstimulus ekonomi menjadi salah satu tugas berat SMI memaksimalkan peran anggaran negara.
Sementara itu, soliditas koalisi pemerintah kembali diuji dengan masuknya sejumlah partai oposisi ke dalam koalisi Jokowi-Jusuf Kalla. Sisi positifnya tentu koalisi yang kuat dapat memperlancar proses politik anggaran di parlemen. Namun, belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, peta politik sangat mungkin berubah dan bisa saja berbalik menghambat kerja para pengambil kebijakan.
Di tengah euforia penunjukan SMI sebagai Menkeu, saya menyempatkan mengganti saluran televisi untuk menengok Rapimnas Golkar. Aburizal Bakrie dalam pidatonya menegaskan dukungan politik Golkar terhadap pemerintahan Jokowi-JK sebagai bentuk rekonsiliasi politik. Semoga itu bukan sinetron politik, yang sebenarnya sudah dipahami betul oleh SMI.
"Saya bukan dari partai politik, saya bukan politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu politik," tegas Sri Mulyani Indrawati.
Welcome back Bu Ani. Selamat melanjutkan reformasi birokrasi.
Dikirim dari perangkat Samsung saya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar