Minggu, 07 November 2021

WISATA HALAL BERPOTENSI MEMECAH BELAH BANGSA

Ir. KPH. Bagas Pujilaksono Widyakanigara, M. Sc., Lic. Eng., Ph.D.

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Ketua Dewan Pakar Seknas Jokowi

Setiap warga negara punya hak menjalankan tuntunan agamanya, termasuk makan dan minum. Tidak ada yang bisa melarang dan bukan masalah bagi NKRI. Itu bagian dari kebebasan beragama dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya. HAM yang paling mendasar.

Namun, pemakaian istilah keagamaan secara terbuka di ruang-ruang publik, sangat berpontensi memecah belah bangsa, karena istilah keagamaan itu sifatnya eksklusif dan sangat deskriminatif dalam masyarakat yang plural. Hanya akan memunculkan itilah Mayoritas vs. Minoritas, politik menang-menangan. Pancasila tidak mengenal Mayoritas vs. Minoritas. Yang minoritas bisa benar, yang mayoritas bisa keblinger. Musyawarah untuk mufakat atau musyawarah untuk sepakat. Hukum Termodinamika ke NOL. Alam memberi contoh yang bijak, rasional dan humanis.

Pendiri bangsa sepakat, Pancasila adalah ideologi politik dan dasar negara, dimana Pancasila mengatur kehidupan orang-orang beragama dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara yaitu pada sila I dan II: Ketuhanan Yang Maha Esa secara manusiawi, adil dan beradab. Jelas  Pancasila tidak menyentuh substansi agama. Pancasila mengatur kehidupan orang-orang beragama dalam dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, demi utuhnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Saya tidak sepakat dengan pemakaian istilah Wisata Halal yang akhir-akhir ini muncul di masyarakat. Bukan substansi halalnya yang saya masalahkan, saya muslim, namun pemakaian istilah keagamaan secara formal dipakai di ruang-ruang publik, itu yang saya tidak setuju. Bagi saya pemakaian istilah keagamaan dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, lebih dominan nuansa politiknya, yaitu politik menang-menangan, dari pada menjadikan agama sebagai rujukan etika dan moral. Mempolitisir agama adalah menistakan agama, karena agama yang mulia, diturunkan derajatnya menjadi alat propaganda politik.

Contoh kasus, hewan anjing yang baru-baru ini dibantai semena-mena hanya demi Wisata Halal. Perbuatannya yang haram itu semakin membuat saya tidak setuju dengan pemakaian istilah Wisata Halal. Hewan anjing adalah ciptaan Tuhan. Tuhan tidak pernah sia-sia menciptakan sesuatu. Apa hak manusia secara sadis dan biadab membantai anjing? Apa manfaatnya sibuk menggotong istilah Wisata Halal, dengan perbuatannya yang haram?

Kata Mahatma Gandhi: The greatness of a nation and its moral progress may be seen by the way its animals are treated. Ini cara berKetuhanan yang manusiawi.

Semuanya hanya karena politik. Hanya gara-gara tidak mampu bersaing ide dan program, dengan argumen yang kuat, dipakailah agama dan etnis untuk mendapatkan dukungan manuver politiknya. Demi untuk sebuah kemenangan, yang dilakukan adalah melarang orang lain. Ada perayaan budaya tradisional dilarang, olah raga Yoga dilarang, tarian dan baju tradisional diharamkan, dll. Kelompok yang hobinya mempolitisir agama, tidak akan pernah menegakkan fairness dan keterbukaan. Mereka juga tidak akan memberikan pilihan bebas kepada masyarakat. Merusak dan menghancurkan kebhinnekaan Indonesia.

Indonesia bukan negara agama, melainkan negara kebangsaan, 🇮🇩. Menghormati pemeluk agama, tidak harus memunculkan istilah keagamaannya. Belajar dari Piagam Jakarta 1945, dengan dihapusnya anak kalimat: dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Anak kalimat tersebut banyak mudhorotnya dari pada manfaatnya dalam konteks persatuan dan kesatuan bangsa.

Persatuan dan kesatuan bangsa adalah prioritas utama.
Secara teknis, banyak cara menghormati pemeluk-pemeluk agama, tanpa harus memunculkan istilah keagamaan di masyarakat yang plural. Wisata Halal sangat deskriminatif dan berpotensi memecah belah bangsa. Terimakasih.

Yogyakarta, 2021-11-06
BP. Widyakanigara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar