Publik harus paham. Kepolisian RI, Polda Metro Jaya harus mulai waspada. Lembaga peradilan dan penegakan hukum sedang mengarah kepada kepentingan politik. Kasus peradilan tentang penyerangan teroris FPI di KM 50 dalam bahaya. Peradilan yang bias terkait Muhammad Rizieq Shihab (MRS), sejak awal, harus menjadi catatan. Peradilan bisa mengorbankan siapa pun. Termasuk aparat kepolisian, tujuan politis. Sinyalemen lemahnya peradilan muncul dari Mahkamah Agung. MA memotong hukuman penjara pentolan organisasi teroris FPI. Jangan dikira pentolan organisasi teroris FPI itu lemah. Mahfud MD saja membela penyerobotan tanah oleh FPI dari PTPN VIII. Erick Thohir pun tidak berkutik. Itu contoh kekuatan MRS yang memang dipelihara oleh kepentingan bohir, yang memengaruhi lembaga peradilan. (Saya ingat; kalau tidak dikawal ketat, Buni Yani juga akan bebas dulu.) Benar. Maka signal kembalinya kekuatan Rizieq muncul di Mahkamah Agung. Artinya Rizieq akan bebas sebelum Pilpres 2024. Keluarnya Rizieq dari penjara – ditambah remisi dan sebagainya akan memungkinkannya membuat kerusuhan. Latar belakang alasan MA memotong karena dianggap hoaks yang disebarkan oleh MRS tidak menimbulkan dampak di masyarakat. Keputusan MA ini tidak berdasar. Justru dampak dari kegilaan dan sikap ugal-ugalan MRS dan teroris FPI saat itu yang membuat MRS berlaku kurang ajar. RS Ummi sebagai rumah sakit afiliasi kelompok radikal tak terelakkan. Mereka membantu melakukan tindakan melawan negara. Dan, RS Ummi pun berani membantu MRS karena imej dan imajinasi kekuatan MRS tanpa tanding. MRS malang-melintang karena merasa kuat. BIN pun ditantang. TNI-Polri diinjak-injak. Pelanggaran PSBB oleh MRS sejak di Bandara sampai Tebet dan Megamendung telah menimbulkan keresakan di masyarakat. Kecut publik melihat Negara tidak berdaya. MA yang bahlul dan terasuki simpati kepada Rizieq tidak melihat fakta tersebut. MA adalah organisasi politik hukum. Kehilangan pentolan sekelas Artidjo Alkostar membuat MA kehilangan simbol kebenaran. Hanya menyisakan Albertina Ho, tidak cukup kuat. MA kembali menjadi organisasi simpatisan. Bukan lembaga penegak hukum. Dan, publik pun tahu sejak lama MA termasuk sarang para penyamun. Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurachman, Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna, Fauzatulo Zendrato, Bambang Agus Purnomo. Itu di tingkat MA. Di level pengadilan tinggi. Jelas bukan hanya pemotongan hukuman ke koruptor Jaksa Pinangki dari 10 tahun ke 4 tahun. Korupsi telah menjadi warna kegembiraan di lingkungan peradilan. Harini Wiyoso. Soetrisno, M. Saleh, Ramadhan Rizal, Syarifudin, Ramadhan Rizal (Pengadilan Tinggi Jakarta), Andry Djemi Lumanauw, Edy Nasution, dan Herman Allositandi (Jaksel). Di PTUN Jakarta juga sama bobroknya. Ada Ibrahim. Luar Jakarta muncul koruptor Tripeni Irianto Putro, Amir Fauzi, Dermawan Ginting, Syamsir Yusfan. Di luar Jakarta dari seantero wilayah Indonesia marak berbaris para koruptor di bawah MA. Berentetan yakni Zaini Bahrum, Pragsono, Setiabudi Tejocahyono, Muhtadi Asnun, Heru Kusbandono, Roy Maruli Napitupulu, Nuril Huda, Pasti Serevina Sinaga, Untuk Adhoc Tipikor ada koruptor berjudul Kartini Juliana Magdalena Marpaung, Ramlan Comel, Asmadinta. Di peradilan industrial pun ada; Imas Dianasari. Pengadilan Agama pun menyumbang koruptor, tak mau kalah: Syamri Adnan. Rusaknya peradilan di bawah Mahkamah Agung menjadi cermin kebobrokan peradilan. Dan, disusupi kekuatan radikalisme simpatisan organisasi teroris FPI. Maka menjadi perhatian kepolisian untuk mengawal kasus KM 50 agar para aparat kepolisian yang menjadi korban penyerangan, sehingga menimbulkan perbuatan unlawful killing. Jangan sampai aparat kepolisian mengalami persekusi hukum di pengadilan karena kegilaan lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung yang memang bobrok. Munculnya pemotongan hukuman tidak terlepas dari upaya membuat kisruh dan keseimbangan politik – apalagi munculnya fenomena Ganjar Pranowo dan benteng NKRI yang baru: Andika Perkasa. Agenda setting politik dan kepentingan koruptor di peradilan menjadi alat untuk membuat kekisruhan. Bukti politik hukum dan hukum politik sangat berlaku di Republik Indonesia. Ditambah perilaku korup seperti terpampang di atas. Komplit bobroknya. Rusaklah NKRI. Kali ini kontributornya bukan BUMN – Mahkamah Agung. (Penulis: Ninoy Karundeng).
Selasa, 16 November 2021
Bahaya! MA Potong Vonis Rizieq dan Ancaman Pengadilan KM 50
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar