(DR.Adi W. Gunawan)
Banyak yang mengeluh bahwa hidup mereka sulit, tidak nyaman, tidak menyenangkan. Banyak yang menyalahkan orang lain, lingkungan, situasi, kondisi, dan berbagai sebab eksternal atas kondisi yang mereka alami.
Sangat jarang ada yang berani dan bersedia menelisik ke dalam diri untuk mencari dan menemukan sumber derita mereka. Ada pula yang mengatakan bahwa kondisi hidup adalah nasib yang harus diterima dan tidak bisa diubah.
Sejatinya, bahagia dan derita bersumber dari pikiran kita sendiri, bukan karena faktor luar apapun. Orang bahagia atau menderita sepenuhnya bergantung pada kondisi pikirannya dan makna yang ia berikan atas pengalaman hidupnya.
Umumnya kita tidak menyadari bahwa pikiran memiliki sifat, antara lain, selalu sibuk melompat ke sana ke mari, tidak bisa diam bila tidak dikendalikan secara sadar atau dilatih untuk tenang, selalu ingin mengulang atau menggenggam rasa senang, nikmat, atau kondisi menyenangkan, baik dialami secara fisik, lewat enam pintu indra, maupun yang dialami secara emosi.
Sifat pikiran lainnya ia menolak, berusaha mengenyahkan dengan segala cara hal-hal yang ia tidak suka atau hal-hal yang ia persepsikan atau percaya dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman (derita).
Ketidaktahuan akan sifat pikiran dan cara mengendalikan pikiran inilah sesungguhnya sumber derita. Sebaliknya, bila seseorang mampu mengendalikan pikiran dengan kesadaran dan kebijaksanaan, bahagia adalah keniscayaan.
Dikatakan bahwa sumber derita dan bahagia bermula dari pikiran karena pikiran memunculkan keinginan. Keinginan sejatinya netral, tidak baik, tidak buruk. Keinginan yang tidak terkendali adalah sumber derita yang tiada habisnya. Bila keinginan diibaratkan sungai, tidak ada satupun sungai di dunia ini yang bisa mengalahkan derasnya arus keinginan.
Keinginan sangat sulit dikendalikan bila kita tidak mengembangkan kesadaran, perhatian, dan kebijaksanaan. Saat pikiran memunculkan keinginan, dan keinginan ini dilekati dan didorong oleh emosi (intens), baik positif atau negatif, ia menjadi sangat sulit dikendalikan karena emosi menumpulkan nalar dan melemahkan kedali diri.
Saat seseorang berhasil mendapat yang ia inginkan, timbul rasa senang, nyaman, nikmat, enak, dan secara otomatis pikiran berusaha menggenggam dan menikmati perasaan ini selama mungkin. Saat perasaan ini akhirnya pudar, pikiran akan mendorong individu mencari cara untuk mengulangi pengalaman ini. Dengan demikian individu semakin hari semakin kuat dicengkeram oleh keinginannya.
Bila individu, karena sesuatu hal, tidak bisa atau terhalangi untuk mengulangi pengalaman menyenangkan ini, pikiran memunculkan perasaan marah, benci, dan mendorong individu untuk menghilangkan, mengeyahkan, atau menghancurkan si penghalang dengan segala cara dan segera.
Demikianlah proses suka-derita terus bekerja menguasai diri individu tanpa disadari. Individu yang tidak menyadari kerja dan kamuflase pikiran, sesungguhnya sedang dikuasai dan diperdaya oleh pikirannya sendiri.
Ia tidak menyadari bahwa dalam kenikmatan yang ia alami sejatinya terkandung derita, karena perasaan nikmat ini pada suatu saat pasti berakhir. Dan pada titik inilah, bila ia tidak mengembangkan kesadaran dan menggunakan kebijaksanaan, ia akan marah, sedih, kecewa, dan mengalami derita.
Bila kita mengembangkan kesadaran, perhatian, dan kebijaksanaan, saat timbul keinginan tertentu, kita dapat secara sadar dan bijak mengenali dan mengendalikannya.
Kita mengerti bahwa bila pun kita merasakan perasaan nikmat atau senang karena keinginan kita tercapai, kenikmatan ini hanya bersifat sementara.
Seiring waktu, perasaan nikmat ini pasti pudar. Dan saat ia pudar, kita tidak sedih atau marah. Kita sepenuhnya menyadari ini adalah proses kehidupan dan memang demikianlah cara kerja semesta, tidak ada yang kekal. Yang kekal hanyalah ketidak-kekalan itu sendiri.
Demikianlah adanya...
Demikianlah kenyataannya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar