Copas, ....permainan catur tingkat dewa, bersatulah NusantaraKu. 👇👍🤲🙏🇲🇨
Trauma Jokowi, Langkah Catur Jokowi, Yang Hari Ini Mungkin Anda Benci.
Tahukah Anda apa yang menjadi ketakutan Jokowi? Pahamkah Anda trauma yang ingin di lawannya?
Bagi yang sudah menonton film His Only Son, atau penonton film dengan judul lain dengan tema/semangat yang sama, bayangkanlah sebentar posisi Gibran sebagai anak yang akan dikorbankan.
Masa depan politiknya (diluar konteks capres ini) sesungguhnya sangat cerah.
Dia sangat mungkin mengulangi kisah sukses bapaknya di dunia politik.
Tahun 2024 semestinya Gibran bisa menjadi Gubernur.
Entah di Jateng, atau di DKI.
Sentimen publik sangat positif terhadap Gibran.
Bahkan dari pihak yang saat ini sangat membencinya.
Dan bila Gibran sudah 2 periode menjadi Gubernur, maka langkah berikutnya sudah jelas.
Jadi calon presiden.
Dan sangat mungkin menang.
Mengapa?
Karena konsultan politiknya adalah presiden tersukses di Indonesia hari ini.
Bapaknya sendiri.
Tahun 2034 Gibran akan berumur 47 tahun.
Usia yang matang dengan pengalaman yang cukup.
Layak jadi idola publik. Seharusnya begitu. Harapan banyak orang seperti itu.
Begitulah umumnya publik membaca garis tangan Gibran, Sang Walikota Solo.
Dan kalau anak tangga itu bisa dilaluinya secara wajar, maka dukungan kepadanya akan sangat kuat.
Asal sabar menunggu 10 tahun lagi saja. Bila Ganjar berhasil menjadi presiden, dan Gibran menggantikan beliau di Jateng, maka PDIP akan punya stok calon presiden untuk 20 tahun ke depan. Indah buat semua orang.
Tapi Gibran adalah "kurban" yang harus dipersembahkan demi masa depan Indonesia.
Mengapa disebut "kurban"?
Bayangkan sejenak.
Kalau tidak ikut pilpres, tapi ikut pilkada saja, peluangnya sangat besar.
Musuh sedikit.
Bila kalah dalam Pilpres 2024 nanti, karirnya akan otomatis meredup.
Seperti Agus Harimurti Yudhoyono.
Atau lebih malang lagi, nasibnya seperti anak² Cendana, yang tak pernah bisa masuk ke dunia politik secara terhormat.
Akan jadi gembel politik tanpa kelimpahan materi.
Dan Gibran pasti akan sangat sulit untuk rebound.
Dia malah akan dianggap lebih rendah dari AHY dan anak² cendana yang melimpah harta.
Dia akan terlanjur dicap pengkhianat.
Namanya busuk.
Tak akan ada partai yang mau memberinya keistimewaan lagi.
Tidak seperti AHY yang bapaknya memiliki partai politik, Gibran sangat mungkin jadi gembel politik seumur hidupnya.
Suram sekali.
Apakah Gibran tidak tahu itu?
Apakah Jokowi tidak tahu itu?
Apakah Iriana tidak tahu itu?
Apakah Opung Luhut tidak tahu itu?
Tentu saja mereka tahu.
Mereka sangat sadar akan resikonya.
Gibran akan menjalani hari² yang sangat berat saat ini dan ke depan nanti.
Sekalipun menang Pilpres, jalan yang dilaluinya tidak akan mudah.
Pengalaman dan pengetahuannya memang masih amat kurang.
Hanya orang bodoh yang akan berkata bahwa Gibran cukup matang menjadi wakil presiden.
Menang saja masih akan jadi masalah. Apalagi kalau Gibran sampai kalah?
Tapi mengapa Gibran mau menempuh jalan sangat beresiko ini?
Bukankah ada jalan lain yang lebih rasional untuk meniti karir politik?
Inilah yang ku tanyakan berulang-ulang dalam benakku.
Peluang menang Pilpres tidak sebesar peluang menang jadi gubernur.
Sekalipun Gibran menjadi wapres, maka dia cuma akan jadi pajangan saja.
Jadi ban serep. Seperti Maruf Amin.
Seperti semua wapres sebelumnya.
Tidak banyak disorot media.
Padahal kalau Gibran konsisten dalam karir politiknya, jabatan presiden di masa depan, 10 tahun lagi, akan sangat mungkin dia raih, setelah dia sukses sebagai gubernur.
Jokowi, Ganjar dan Ahok pasti akan sangat senang menjadi mentornya.
Tapi kenapa pemimpin masa depan ini menjadi pemimpi masa gitu?
Kita tidak akan memahami Gibran kalau kita tidak memahami Jokowi.
Tidak seperti yang dituduhkan semua orang yang berkata bahwa Jokowi haus kuasa, pengkhianat, lebih mementingkan dinasti politik daripada kepentingan bangsa.
Itu semua ocehan manusia dungu.
Ocehan orang yang frustasi dengan keruwetan pikiran²nya sendiri.
Mereka cuma sedang menunjukkan ketidakpahaman mereka akan Jokowi.
Pikirkanlah.
Mulai dari menjadi walikota Solo 2 periode, gubernur DKI 1 periode, presiden RI 2 periode, kapankah Jokowi terlihat memperjuangkan kepentingannya sendiri?
Adakah tanda atau gejalanya?
Adakah bukti Jokowi pernah menyalahgunakan kepercayaan publik?
Bukankah kesempatannya untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri dan bagi keluarganya terbuka sangat lebar?
Kalau dari dulu Jokowi tidak pernah berlaku serong, mengapa dia harus mencoreng arang di keningnya sendiri di akhir jabatannya?
Apakah mungkin dia serendah tuduhan orang² itu?
Mari Kita buka lagi lembaran Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Siapa lawan Jokowi?
Diatas kertas lawan Jokowi adalah Prabowo Subianto.
Tapi di lapangan lawannya yang sesungguhnya adalah KAUM RADIKALIS.
Semoga Anda mulai paham peta geo politik.
Tahun 2014, Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa.
Apakah mereka orang² radikal?
Apakah mereka berasal dari keluarga radikal?
Apakah mereka tergabung dalam kelompok radikal?
Demi Raminten dari Jogja, atau demi Toutatis dari Galia, mereka adalah 100% nasionalis.
Kalaupun Hatta Rajasa berasal dari PAN, dia juga adalah kelompok agamis moderat.
Tidak ada rekam jejaknya yang terindikasi radikal.
Tapi mengapa Pilpres 2014 bisa menjadi sangat brutal, dengan pembelahan dan permusuhan antara Cebong dengan Kampret?
Dengan isu agama yang sangat masif?
Siapa yang menabuh genderangnya?
Aneh kan?
Lalu tahun 2019, Jokowi juga berhadapan lagi dengan Prabowo, yang kini berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Apakah mereka berdua berasal dari kelompok radikalis?
Apakah mereka berasal dari keluarga radikalis?
Tidak.
Tapi mengapa Pilpres 2019 juga sangat brutal, dengan isu² pembelahan identitas yang sangat kental? Agama yang dijadikan alat kampanye yang kejam?
Aneh sekali bukan?
Kedua calon presiden dan wakil presiden itu, Prabowo dan Sandiaga Uno, sama sekali tidak punya bibit radikalisme agama, tapi mengapa tim mereka dikuasai kelompok radikal, yang sangat buas dan brutal?
Ganjil sekali bukan?
Lalu diantara kedua Pilpres itu ada pilkada DKI pada tahun 2017, yang puncaknya adalah pertarungan antara Ahok-Jarot melawan Anies-Sandi.
Adakah diantara mereka yang berasal dari kaum radikalis?
Apakah ada diantara mereka yang keluarganya radikalia agamis?
Tidak.
Anies walaupun orang Arab adalah mantan pendukung Jokowi, sangat moderat.
Sandiaga Uno juga sangat jelas rekam Jejak keluarganya.
Tapi mengapa pilkada DKI 2017 menjadi sangat brutal dengan isu agama yang sangat berbau amis, bahkan sampai mengantarkan Ahok masuk penjara?
Mengapa kelompok Anies dan Sandi sangat dikuasai kelompok radikalis dalam pertarungannya, padahal partai utama pengusung mereka adalah Gerindra yang adalah partai nasionalis?
Tidaklah Anda melihat anomali ini?
Dari ketiga peristiwa politik ini semestinya Anda sudah paham, betapa canggihnya pola permainan kelompok radikalis itu.
Biarpun mereka tidak dominan di partai, tapi mereka bisa sangat buas di lapangan.
Mereka lebih ganas dari serigala lapar.
Semua yang menentang mereka akan mereka cabik² dengan kejam.
Isu agama akan menjadi senjata yang sangat ampuh melumpuhkan logika anak bangsa.
Sudah mereka buktikan.
Nah, bayangkanlah diri Anda di posisi Kepala negara melihat peta persoalan itu.
Miris sekali.
Tinggal selangkah lagi saja sebelum Indonesia tercerai berai karena konflik identitas.
Cebong maupun Kampret/Kadrun sudah sama² panas, sudah terbakar dendam kesumat.
Bila ada pemicu yang pas, segera akan terjadi ledakan. Revolusi sosial. Bahkan perang saudara.
Itulah yang dilihat Jokowi.
Itulah yang mungkin tidak Anda lihat.
Itulah yang menggelisahkan hati kepala negara. Ancaman bagi Indonesia Emas 2045.
Prabowo itu orang kuat. Hatta Rajasa dan Sandiaga Uno itu orang pintar.
Anies Baswedan apalagi.
Tapi tak satupun di antara mereka berkutik melawan siasat kaum radikalis.
Mereka dipaksa untuk tunduk.
Itu fakta yang akan Anda temukan kalau melihat tahun² ke belakang.
Tidak menyenangkan. Tapi itulah faktanya. Apa adanya.
Maka ingatlah beberapa pesan presiden yang agak aneh beberapa waktu yang lalu.
Aku yakin Anda pasti masih ingat. Walau kuyakin Anda mungkin tidak paham maknanya.
Ada 2 pesan yang kuingat baik².
Pertama, presiden berkata bahwa dia akan ikut cawe².
Artinya ikut campur dalam konstelasi pemilihan presiden.
Mengapa?
Sekarang semestinya Anda tidak bingung lagi.
Jokowi tidak sedang berjuang demi dirinya atau keluarganya, tapi demi memenangkan peperangan melawan pengaruh kaum radikalis agamis yang brutal itu.
Jokowi sedang mengamankan masa depan Indonesia, dengan memilih jalan yang tidak populer, dengan resiko dibenci banyak orang yang tidak mengerti.
Apakah kelompok radikalis agamis itu berdiri sendiri dan independen?
Anda sangat dungu kalau berpikir demikian.
Siapa pendiri dan penyokong ISIS dibalik layar?
Siapa pendiri dan penyokong Al Qaeda di balik layar?
Siapa yang dulu membina Taliban melawan Uni Sovyet dibalik layar?
Tanpa dalang di belakang mereka, semua kelompok itu bukanlah siapa².
Mereka bisa menjadi sebesar dan sebrutal itu atas dukungan kelompok kepentingan tertentu.
Tujuannya jelas.
Ada wilayah dan sumber daya yang harus dikuasai.
Kelompok² itu hanyalah pion atau wayang yang bisa terlihat berperan.
Tapi dalang mereka tersembunyi dari segala pandangan.
Pernahkah Anda terpikir akan sebuah fakta aneh?
Muammar Khadaffi amat sukses membangun Libia.
Rakyatnya semua relatif makmur.
Pendapatan per kapita mereka sangat tinggi.
Rakyat Libia mayoritas mencintai Khadafi, sama seperi rakyat Indonesia yang mayoritas puas dengan kinerja Jokowi sebelum pilpres ini.
Tapi mengapa Khadaffi dibunuh dijalanan seperti maling ayam kelas kampungan?
Yang tak kalah lucu ialah nasib Saddam Husein.
Dia berhasil membangun negaranya. Dia menjadi kekuatan yang berpengaruh di Timur Tengah.
Tapi negara asing memporakporandakan negaranya dengan tuduhan menyimpan senjata pemusnah massal, yang sampai hari ini tidak terbukti.
Saddam Husein sudah mati.
Dan kasusnya ditutup begitu saja. Para pembunuhnya bebas dengan topeng²nya.
Apakah semua kisah diatas cuma sebuah kebetulan saja?
Kalau ia, maka betapa anehnya.
Maka dari situ kita akan paham maksud dari pernyataan Jokowi yang kedua, yang juga disalahpahami para pengamat dan badut² politik.
Jokowi berkata bahwa dia mendapat semua laporan intelijen terkait perkembangan sosial politik tanah air dan dunia.
Pengamat dan badut politik menuduh Jokowi memata²i partai politik dan para calon presiden.
Untuk apa?
Bodoh sekali bukan?
Jokowi sedang menyampaikan sesuatu yang sangat sensitif, bahwa tangan² asing sedang berusaha meng obok² bangsanya, Bangsa Kita.
Dan pemilu kali ini adalah media yang mereka pakai untuk melancarkan aksinya, seperti pemilu² sebelumnya.
Mereka sudah tanam saham dalam 2 kali Pilpres dan beberapa kali pilkada, dimana pilkada DKI adalah puncaknya.
Bila rakyat Indonesia masih akan dibentur²kan lagi, yang banyak diantaranya sudah termakan dendam berkarat, bukan tidak mungkin hasilnya akan sangat buruk.
Perang Saudara bukan tidak mungkin terjadi.
Maka dengan perhitungan inilah masa depan Gibran dijadikan taruhan.
Dengan masuknya Gibran di barisan Prabowo, kaum radikalis akan sulit berbicara mewakili kepentingan Prabowo.
Dengan menempel nya Jokowi pada Prabowo, tangan² geopolitik global alan sulit mengacak² gerakannya.
Mereka amat jijik dengan Jokowi, dan akan enggan mendukung calon yang didukung Jokowi.
Mungkin ada yang bertanya, tidak bisakah Erick Thohir atau tokoh lain yang menjadi cawapres Prabowo?
Tidak adakah tokoh yang lebih tepat selain Gibran?
Bacalah lagi peta politik tahun 2014, 2017, dan 2019.
Siapakah yang bisa melawan kelompok radikalis itu?
Tidak ada yang bisa melawannya.
Prabowo dan Sandiaga Uno sendiri sudah jera.
Usai pilpres mereka langsung merapat ke kubu Jokowi.
Hanya Jokowi yang bisa menaklukkan kelompol radikalis yang dikendalikan oleh oligarkhi² internasional ini.
Ini bukan asumsi.
Sejarah sudah mencatat kegagalan para tokoh melawan hegemoni kaum radikalis, yang ditunggangi kelompok² oligarkhi internasional.
Mereka amat pintar bersembunyi.
Dan itu yang membuat mereka sangat sukar dibasmi.
Hancurnya Iraq, Libia, Suriah, dll, adalah bukti kekuatan mereka. Jangan sampai Indonesia jadi korban berikutnya.
Lalu apa hasil cawe² Jokowi?
Lihatlah semua pasangan capres itu.
Ganjar berpasangan dengan Mahfud. Tak ada keraguan pada mereka.
Gerakan mereka dibackup penuh oleh PDIP, yang ideologinya jelas.
Prabowo dibackup keluarga Jokowi.
Jokowi adalah antitesa kaum radikalis.
Anies ditempel Muhaimin Iskandar.
Muhaimin sendiri bukan sosok yang kuat.
Tapi karena berlatar NU, keluarga pendiri NU, sudah pasti NU akan memperhatikan betul langkah² beliau.
NU tentu tidak mau kecolongan.
Alangkah malunya NU kalau Cak Imin ditunggangi kaum radikalis.
Maka dengan formasi ini agenda Pilpres 2024 sudah mulai terkendali.
Bisa dibilang semua paslon adalah All Jokowi Man. Termasuk Anies dan Cak Imin.
Maka perhatikanlah suasana kebatinan netizen pasca pendafataran para capres kemarin.
Nyaris tidak ada hingar bingar isu identitas agama yang dipertentangkan.
Semua capres bisa lega karena tidak dituduh PKI dan anti Islam.
Tapi bukan berarti kelompok radikalis diam² saja.
Di ranah Pilpres mereka sudah terkunci.
Masih mencari cara untuk membajaknya.
Maka mereka memainkan isu yang sangat brutal dalam kasus Palestina vs Israel.
Saking halusnya permainanya, nyaris tak ada orang yang menyadari strategi licik mereka?
Pahamkah Anda?
Rakyat Palestina, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, pemerintah Indonesia, sudah dengan tegas menyatakan bahwa konflik Palestina vs Israel bukanlah perang agama.
Itu adalah konflik antara 2 bangsa yang berebut wilayah.
Kedua bangsa punya komposisi umat beragama yang hampir sama, dengan komposisi terbalik.
Di Palestina ada umat Islam, ada Kristen, ada Yahudi, dll.
Di Israel juga ada umat Islam (20%), ada Kristen, ada Yahudi, dll.
Tapi mengapa suara media sosial Kita dipenuhi dengan seruan perang agama?
Mengapa media sosial setiap saat dikumandangkan panggilan berperang ke Palestina untuk membela saudara seagama?
Padahal seluruh dunia sudah diberi tahu bahwa itu bukan perang diantara penganut agama?
Siapa yang menjajah kesadaran umat itu?
Siapa yang membunuh kesadaran anak bangsa Kita itu?
Siapa yang membolak-balik cara berpikir rakyat RI itu, yang membuat sesama anak bangsa terjebak dalam kebencian akibat konflik di negara asing?
Bukankah ini mirip dengan yang terjadi pada pilpres dan pilkada DKI dulu?
Kalau Anda pikir itu terjadi secara spontaniah saja, maka Anda adalah orang yang akan mudah diperalat oleh kekuatan² yang ingin menguasai Indonesia.
Apa sebenarnya yang dilakukan kaum radikalis yang disetir oligarkhi internasional itu?
Sederhana saja.
Mereka akan menggiring rakyat Indonesia untuk saling membenci terlebih dahulu, dengan membenturkan isi identitas agama.
Agar tercipta persepsi bersama, siapa kelompok kawan dan siapa kelompok lawan.
Kalau kebencian itu sudah cukup kuat, maka dengan sendirinya rakyat akan mengelompok sesuai agama mereka masing².
Kelompok identitas yang sama akan dianggap sebagai kawan dan pelindung, sementara kelompok identitas lain akan dianggap sebagai ancaman yang harus dilawan.
Dan setelah itu tinggal menggiring mereka untuk saling menyerang dan saling mengalahkan.
Sebab secara naluriah manusia memang akan selalu berusaha menghilangkan setiap ancaman.
Semakin merasa terancam maka akan semakin kuat keinginannya untuk melawan dan menghilangkan ancaman.
Dulu Kita pernah dijajah oleh bangsa yang rakyatnya jauh lebih sedikit dari rakyat Kita.
Mengapa?
Apakah karena Kita tubuhnya lemah?
Tidak.
Tapi karena Kita bodoh dan mudah diadu domba selama 350 tahun kita diperdaya.
Kita dibuat sibuk bertengkar dengan sesama anak bangsa, sementara itu para penjajah sibuk menguras kekayaan alam kita.
Hanya setelah Kita sadar akan pentingnya menjaga akal sehat dan semangat persatuan bangsa, orang² asing itu bisa kita usir dengan relatif tidak terlalu sulit.
Apakah Kita sudah makin cerdas hari ini?
*LEO TARIGAN – DDB*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar