Selasa, 17 Maret 2020

LOCKDOWN GIGI LU PEANG

Saya ingat pernah baca tulisan seorang - yang katanya dia dokter dan ahli virus. 

Ada satu paragraphnya yang berbunyi, "Pak Jokowi, lockdown, pak. Kami bisa kok tahan kelaparan beberapa saat, yang penting negara ini sehat.." 

Tulisan ini viral dan dibagikan ribuan orang, yang akhirnya membangun narasi supaya Jokowi mengambil tindakan tegas LockDown untuk mencegah virus Corona menyebar. 

Enak memang bicara "tahan lapar" ketika di ATM ada uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah sebagai cadangan. Paling pusingnya sedikit, ketika bahan pokok hilang dari pasar. 

Tapi bagaimana dengan driver ojek online ?

Mereka ga punya tabungan. Pendapatan mereka harian. Istilahnya, gak ngaspal gak makan. Belum lagi mereka harus bayar cicilan motor tiap bulan. Debt collector gak kenal lockdown, mereka hanya kenal "telat berapa bulan".

Itu baru driver ojol, belum lagi pedagang kaki lima, buruh harian, buruh pabrik dan banyak lagi. Apa mereka bisa dikasi narasi "tahan lapar" dengan santai ? 

Tahu jumlah mereka semua ?? Puluhan juta orang ! 

Lockdown berarti menghentikan semua kegiatan dan warga gak boleh keluar rumah. Pabrik berhenti. Kegiatan ekonomi mati. Transportasi publik berhenti.

Sehari ? Ngga. 
14 hari, bro !

Lalu siapa yang menanggung makan mereka, anak mereka, cicilan mereka, bayar listrik mereka dan semua kebutuhan harian mereka ? Si dokter ahli virus itu ? Atau dokter bedah plastik itu ? Atau sosialita itu ? Atau para kelas menengah ngehek yang sok tahan lapar itu ? 

Egois. 

Itulah kata yang tepat yang harus saya berikan pada mereka. Kalau pengen ngomong "tahan lapar", ngomong di depan para pekerja di sektor informal itu. Jangan cuman gagah di medsos, habis itu shopping ke mall belanja sepatu buat anak yang harganya bikin kepala berjendol.

Tahan lapar ? Pengen muntah rasanya baca tulisan itu.

Lihat DKI hari ini.

Sehari saja transportasi publik dibatasi, antrian mengular sana sini. Pengen cegah Corona, malah virus itu bebas kesana kemari. Itu baru dibatasi. Belum lockdown. 

"Loh, kan perusahaan harusnya stop produksi ??"

Gigi lu peang ! 

Lah, kalau perusahaan IT sih oke bisa kerja di rumah, tapi bagaimana dengan perusahaan manufaktur yang pekerjakan ribuan orang ? Kalau berhenti, siapa yang produksi ? Kalau gada yang produksi, siapa nanti yang gaji ? 

Ngomong enak, ludah nyembur sana sini. Realitas tidak seperti saat lu tidur di ruang AC dan ngetik di hape. 

Iran saja, negara yang sejak lama musuhan dengan barat, mau tidak mau minta bantuan IMF, karena ekonomi mereka berhenti akibat Corona. Karena pabriknya berhenti produksi. Karena harus menanggung makan warganya sehari2. 

Dan tau akibat pinjam ke IMF, brother ? Mereka kuasai ekonomi. 

Jadi gak gampang bicara lockdown, terutama Indonesia ini. Dan karena itulah Jokowi tegas, urusan lockdown urusan pusat, bukan urusan daerah. Bahaya. Dampaknya bisa kemana-mana. Negara jatuh bukan karena virus, tapi karena ekonomi runtuh. 

Jangan sembarangan bicara lockdown kalau ga paham apa2. Apalagi terikut narasi kadrun yang memang ingin chaos dan bersiap mendirikan khilafah. Goyang negara ini. 

Untuk yang sibuk nyetatus "lockdown lockdown", sungguh gua pingin lock lu di kamar sempit terus gua smack down. 

Jadi esmosi. Sampe ketelan gelas kopi. Glek !

Denny Siregar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar