Gunung Tidar. Jika anda mendaki ini gunung yang ada di kota Magelang, anda akan bisa melihat makam {petilasan?) syeh Subakir. Serta kisah misionaris Islamiyah syeh Subakir, yang diceritakan mampu mengalahkan danyang/penguasa tanah Jawa yang bernama eyang Semar/eyang Sabdopalon?. Serta menaklukan dan mengusir para jin, setan, iblis yang selama ini selalu mengganggu dan menghalang-halangi penyebaran agama Islam di tanah Jawa?.
Banyak kisah tentang mahkluk qoib yang diceritakan secara turun-temurun yang biasanya bersifat local, yang hal itu sebenarnya representasi dari pemikiran kultural masyarakat setempat tentang alam semesta. Tentang approach mereka terhadap alam semesta/Tuhan YME.
Dan hal itulah (roh spiritual Nusantara) yang selama ini dinistakan, distigma sebagai ajaran sesat, bid"ah, musryik dan menyekutukan Tuhan. Dimiskinkan, dikerdilkan dan ingin dihilangkan dari ingatan kolektif kita sebagai orang Nusantara. Kisah mahkluk qoib sebagai representasi dari pemikiran kultural masyarakat tentang alam semesta yang melahirkan aneka macam kearifan local, direduksi jadi sekedar mahkluk menakutkan yang suka mengganggu dan jahil.
Disinilah kita perlu memandang ulang tentang dunia qoib Nusantara secara lebih cerdas dan kekinian. Sebenarnya yang mau dipersoalkan dari dunia qoib itu apa?.Kenapa harus dikalahkan? Kenapa harus dikait-kaitkan dengan penyebaran agama?. Benarkah hanya agama yang bisa itu usir/kalahkan Iblis?.Benarkah di tanah Jawa kini sudah tidak ada Iblis? Ataukah justru kini para jin, setan iblis itu telah malih rupa lebih canggih dengan berlindung dibalik kosmetika kesucian agama?.
Ketidakjelasan dalam memandang dunia ghaib itu, sebenarnya mempresentasikan pula ketidakjelasan dalam system bermasyarakat (bagaimana seharusnya menjadi manusia). Disini secara masiv dan sistimmatis ingatan kita dipotong, dijauhkan dan dilupakan dari keluhuran ajaran nenek moyang kita sendiri. Kita jadi tak kenal wajah diri, jatidiri sendiri,.. Roh, jiwa, spiritual bangsa sendiri yang adiluhung.
Jadi eyang Semar/eyang Sabdopalon yang di stigma sebagai raja jin, setan, iblis dan segala mahkluk halus itu sebenarnya ya mbahmu sendiri, nenek-moyang leluhurmu sendiri. Pertanyaannya, benarkah leluhur nenek moyang kita itu bangsa bar-bar tak beradap pemakan darah sesamanya? Kalau memang demikian, ya memang pantas dihinakan leluhur kita itu. Tapi bagaimana jika ternyata sebaliknya? Nenek moyang kita lebih luhur budi-pekertinya dan para tamu itu yang kurang ajar? Hanya bangsa tolol bermental budak yang memuja bangsa lain yang tak beradap dan menghina leluhurnya sendiri yang adiluhung perilakunya.
Mereka kotbah membawa ajaran rahmatan lil Alamin?. Lho emangnya sebelum ajaran agama itu datang kita tidak punya penghormatan pada alam semesta?
Ajaran kejawen itu mengajarkan keseimbangan, keselarasan dan saling menghormati. Bukan hanya kepada sesama manusia, tapi kepada seluruh isi alam semesta. Hutan, gunung, laut, pohon, sungai, setan, iblis, semua itu adalah ciptaan Tuhan. Dan menghormati segala ciptaanNya adalah bukti nyata penghormatn manusia jawa pada Dia yang menciptakan semua itu. Begitu luhur khan ajaran Kejawen itu?. Adakah ajaran gurun mengajarkan penghormatan-cinta lingkungan yang demikian?.
Ajaran Kejawen itu tidak ingin mendominasi, sok kuasa, sok suci, sok merasa paling benar, suci dan sempurna sendiri. Semua manusia manusia sama seharkatnya sebagai citra Allah yang sederajat, sekaligus sama pula sebagai pribadi-pribadi yang berhak menentukan jalan bagi dirinya sendiri. Maka kalau harus menang, harus merangkul/rekonsiliasi/nguwongke (memanusiakan). Menang tanpo ngasor ake. Menang tanpa merendahkan/menghina. Adakah ajaran luhur macam itu dari gurun sana?. Menang mereka justru menghina-nista, ngusir dan rendahkan. Menang lewat intimidasi kalau perlu main pedang?
Ajaran kejawen itu ajaran orang merdeka. Yang harus diterima dengan kesadaran, bukan karena tekanan dan terpaksa. Dan orang merdeka adalah orang yang tidak ingin jadi budak maupun memperbudak orang/golongan lain. Adakah ajaran indah dan dalam macam itu dari gurun?
Manusia jawa itu percaya adanya Tuhan sang penguasa alam semesta. Tuhan yang maha besar, karena besarnya dia tidak bisa dibatasi dalam nama. Karena itu manusia Jawa tidak pernah mempermaslahkan manusia dalam memberi nama Dia yang maha tak terbatas itu. Coba anda lihat ajaran gurun itu, beda nama saja sudah akan buat mereka naik darah dan siap bunuh-bunuhan.
Sebelum agama-agama Samawi itu datang ke tanah jawa, orang jawa dibilang tidak kenal Tuhan, benarkah itu? Salah satu ciri orang yang udah dekat –kenal Tuhannya itu hidupnya penuh syukur-bahagia. Sebelum agama-agama Samawi itu datang, kita ini bangsa yang penuh rasa syukur dan suka merayakannya, masih bisa kita lihat dalam tradisi-tradisi kita. Istri hamil di rayakan, anak lahir dirayakan, nikah dirayakan, hasil panen dirayakan, bersih desa dirayakan.
Bahkan hutan, pohon, gunung, laut diajak bersama merayakan, bagi mereka yang utamakan ritual, formalitas/dogmatis, itu dianggap kerjaan orang tak waras. Padahal itu tunjukkan betapa halus/pekanya jiwa manusia Jawa. Bahagia yo ngajak siapa saja. Kalau Surga memang ada, manusia jawa tentu juga ingin masuk rame-rame dengan setan, iblis, jin, wewe, tuyul, kuntilanak, wedus, pitik, monyet yang semua itu bukankah mahkluk ciptaan Tuhan Juga?. Adakah ajaran macam itu dari gurun? Mereka hanya ingin surga di isi orang segolongan dan mau jadi pengikut mereka saja.
Ciri manusia waras/beradap itu bisa diajak ngomong/komunikasi. Dan manusia Jawa sangat ramah/terbuka untuk semua tamu. Manusia beradap itu tahu etika, estetika, punya keaneka-ragaman adat budaya ,mencipta/membangun peradapan, tepo seliro dan sopan santun. Dan itu telah dimiliki manusia Jawa sebelum agama-agama Samawi itu datang ke tanah Jawa. Kurang apa coba? Bangunan-bangunan candi indah penuh makna bisa dibangun, coba bangunan apa yang bisa dibanggakan manusia gurun?.
Kalau Cuma budaya ngamuk-an, ngrusak, kesombongan merasa paling benar, suci dan sempurna sendiri, pemuja kekerasan, pintar ibadah-mulut fasih mengutip ayat tapi tidak bisa memanusiakan sesama, ya untuk apa ajaran macam itu. Tukang klaim merasa kebenaran dan Tuhan ada di pihaknya, lalu menyombong merasa jadi wakil Tuhan di dunia, suka menghakimi/stigma orang yang tak bersamanya sebagai kafir, musuh allah dan calon penghuni Neraka. Jelas manusia itu sedang melakukan penipuan besar-besaran, karena hanya Tuhan yang punya otoritas untuk menghakimi manusia seperti itu.
Dalam masyarakat agrarris/feodal, mereka yang dihormati akan dimakamkan/diletakkan di tempat yang tinggi. Maka para dewa-dewi pun di gambarkan tinggal di puncak gunung tertinggi Mahameru. Dan ini uniknya, petilasan eyang Semar itu berada di puncaknya gunung Tidar, sementara tempat petilasan syeh Subakir ada di lereng/bawahnya.
Dan diantara petilasan eyang Semar dan syeh Subakir itu ada lapangan luas, dan disitu berdiri tugu dengan tiga sisi yang di ditiap sisinya ada satu huruf "Sa/S" dalam huruf jawa bukan Arab. Tiga hurus "S" yang jika di baca akan berbunyi "Sopo Salah seleh" tercemahan bebasnya, waktu akan membuktikan siapa yang salah siapa yang benar.
Manusia Jawa itu manusia yang penuh bahasa symbol. Tugu 3S yang ada di lapangan itu maknanya, hanya mereka yang bisa lapang jiwa dan lapang otak wawasannya, yang akan bisa memilah dan memilih. Bisa bedakan mana barang berharga dan mana sampah.
Dan pesan simbah, "Tansah eling lan waspodo yo, le. Sebab saat ini banyak Iblis bertopeng Malaikat, dan ada malaikat malah di maki-maki sebagai Iblis!"
Rahayu 🙏🌸 Satria Sansan 07-05-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar