Jumat, 03 April 2020

Gereja Harus Menata Kembali Konsep Keberimanan

Copas dari GWA:

Pdt Belitung Sui Hiong 

AFTER CORONA

Setelah pandemik Corona ini berlalu, banyak yg bakalan berubah. Dari sisi gereja dan dogma, kita hrs menata ulang kembali konsep keberimanan kita, seperti ttg ibadah, divine healing (bagi bbrp gereja yg punya penekanan dogma pd hal ini), akuntabilitas di ruang publik, dll. Saya khusus menyoroti ketiga hal tsb, krn menurut hemat saya, ketiga hal inilah yg paling dihantam oleh fenomena serangan Covid 19. 

Ibadah
Gereja tdk bs lagi menakut2i jemaat agar datang ke gereja, krn banyak penjelasan telah diberikan saat ini oleh para pemimpin gereja bahwa ibadah itu tdk harus di gedung gereja. Di rumah jg bisa, online pula. Perdebatan ttg bisa tidaknya ibadah di rumah ada banyak di medsos, baik yg argumennya bagus maupun yg gak jelas. So, siap2lah gereja jika jemaatnya punya banyak alasan utk tdk datang ke gereja. Gereja hrs bs merumuskan konsep ibadah yg bs meyakinkan umat bahwa bersekutu bersama (di dalam gedung gereja) itu penting, walau bukan segala-galanya.

Divine Healing
Bagi sebagian gereja (khususnya Pentakosta dan Kharismatik--P/K) harus mulai merumuskan ulang konsep kesembuhan ilahinya, krn hrs diakui doktrin ini tiba2 raib dan tdk punya kekuatan di tengah2 pandemic Covid 19 yg terjadi saat ini. Bahkan di media sosial, banyak kalangan, terutama yg non-P/K yg mempertanyakan dimana kuasa kesembuhan ilahi yg diklaim dimiliki gereja (atau hamba Tuhan yg diurapi) tertentu, kemana mrk semua? Malah ada yg bercanda dgn adanya himbauan pemerintah utk melakukan ibadah dr rumah krn fenomena Covid 19, ibadah KKR kesembuhan ilahi pun ditunda sampai situasi aman. "Masak ibadah kesembuhan ilahi takut sama Corona?" Kata sebagian mereka. Konsep kesembuhan ilahi pasca Corona harus dipikirkan ulang. Gereja (terutama P/K) harus bs meyakinkan bahwa kesembuhan ilahi masih ada, tentunya dgn lebih seimbang, misalnya dgn lebih menekankan pada kedaulatan Tuhan, bkn kehebatan gereja/hamba Tuhan tertentu. 

Akuntabilitas di Ruang Publik
Bagian ini benar2 hancur. Gereja sama sekali menjadi bulan2an. Tdk sedikit blunder dilakukan oleh para "tokoh" gereja yg dianggap bertentangan dgn akal sehat masyarakat. Di sana-sini viral khotbah pendeta2 yg menjadi sasaran kemarahan publik. Betapa tidak, beberapa pendeta tak peduli dgn imbauan pemerintah utk melakukan sosial distancing (yg pada akhirnya mengakibatkan kesedihan krn bbrp korban Covid 19 adalah para pendeta). Di sisi lain, banyak org bertanya2, dmn peran gereja (megachurch?) dlm peperangan melawan pandemik Corona ini? Sementara para pengusaha Buddha dan perkumpulan Buddha Tzu Chi mendapat applaus dr masyarakat atas sepak terjang dan bantuan mereka, gereja justru mendapat penilaian yg sangat negatif krn tdk kedengaran kontribusinya. Sampai2 ada yg menyerukan agar org Kristen jgn lg kasih persepuluhan ke gereja, lbh baik kasih ke Buddha Tzu Chi saja!๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ Pertanggungjawaban kita thd masyarakat benar2 kritis, kepercayaan publik thd gereja (dan para pemimpinnya) jatuh. Gereja harus mengkonsep ulang lg pemahamannya atas tanggungjawab gereja thd masyakarat dan kemanusiaan. Jika tidak gereja akan semakin alpha atas tanggung jawab publiknya tsb, dan karena itu akan semakin tdk disukai masyakarat. Dari sini kita disadarkan bahwa gereja ada bukan hanya utk dirinya sendiri, tp utk masyarakat dan kemanusiaan, termasuk dlm hal uang yg dimiliki gereja. 

So, dgn semua realita ini, mari kita bersama2-- sebagaimana perjuangan setiap org percaya dlm setiap generasi yg hrs terus menerus merumuskan ulang teologi dan ekspresi berimannya agar sesuai dgn keadaan zaman sekaligus setia pada kebenaran FT-- melakukan refleksi, retrospeksi dan rekonsepsi agar kekeristenan yg kita imani tetap dapat memberikan jawaban atas segala perubahan zaman.

Semoga gerรฉja ke depan semakin jauh lebih baik untuk menuntaskan perannya di dunia ini๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

Tidak ada komentar:

Posting Komentar