Jumat, 13 Maret 2020

COVID-19: Matematika Sederhana dan Darurat Sistem Kesehatan Indonesia

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10222024705706916&id=1239387088

COVID-19: Matematika Sederhana dan Darurat Sistem Kesehatan Indonesia

Banyak dari kita mungkin masih tidak terbayang seberapa besar dampak COVID-19 bagi Indonesia khususnya bagi sistem kesehatan. Saya mau ajak kita semua berhitung secara sederhana, berdasarkan data yang sudah ada terkait pandemi COVID-19 sejauh ini.

Estimasi berdasarkan data:
* 20% total populasi orang dewasa akan terinfeksi COVID-19. (Ini estimasi yang konservatif, karena ilmuwan Dr. Lipsitch dari Harvard memperkirakan 20-60% populasi dewasa akan terinfeksi COVID-19.)
* 20% pasien COVID-19 membutuhkan opname di rumah sakit (15% rawat inap biasa, 5% rawat intensif). 80% pasien hanya akan menunjukan gejala ringan, sehingga tidak butuh diopname.
* 3% fatality rate (persentase kematian berdasarkan kasus yang terkonfirmasi). (WHO)
* Penularan COVID-19 bertambah secara eksponensial dengan faktor 1.15. Artinya, dibutuhkan waktu 20 hari dari jumlah kasus 100 menjadi 1000, dan kemudian 13 hari dari jumlah kasus 1,000 menjadi 10,000.

Contoh:
Sekarang mari kita ambil contoh Provinsi X di Indonesia. (Saya samarkan nama provinsinya, tetapi data sesuai dengan kenyataan di lapangan, dan sudah ada suspek kasus COVID-19 dari sana). 

Provinsi X punya penduduk 2 juta orang. Artinya, seiring waktu berjalan diperkirakan 400.000 orang di sana akan terinfeksi COVID-19, 80.000 orang di antaranya akan butuh dirawat di rumah sakit (60,000 rawat inap biasa, 20.000 rawat intensif), 12.000 akan meninggal karena COVID-19.

Rasio tempat tidur rumah sakit berbanding jumlah penduduk di Provinsi X adalah 1:1000. Artinya, di Provinsi X hanya tersedia 2.000 total tempat tidur rumah sakit. Ini sudah jumlah gabungan semua ruangan rawat inap (isolasi, rawat inap biasa, ICU, dan HCU). Saya belum tahu jumlah ventilator di Provinsi X, tetapi perkiraan saya jauh di bawah angka 20.000 (jumlah orang yang membutuhkan perawatan intensif).

Dengan pertumbuhan COVID-19 secara eksponensial, Provinsi X akan mencapai angka 2.000 pasien COVID-19 yang butuh rawat inap (maksimal kapasitas rumah sakit di Provinsi X) dalam waktu 40 hari sejak orang pertama terinfeksi. Ledakan pasien seperti ini yang terjadi pada Italia, Iran, Korsel, dan China. Itu juga mengapa China harus segera membangun rumah sakit dalam waktu 1 minggu saja.

COVID-19 adalah kegawatdaruratan untuk sistem kesehatan kita. Bagaimana caranya Provinsi X merawat 80.000 orang pasien hanya dengan 2.000 tempat tidur? Apa lagi masih ada pasien-pasien penyakit lainnya yang biasanya sudah memenuhi setidaknya 70% dari total tempat tidur (bed occupancy rate).

Satu-satunya cara adalah dengan memperlambat penularan sebisa mungkin. Kita harus menunda membludaknya pasien, agar sistem kesehatan kita tidak kolaps. Dengan kata lain atau "kasarnya", kita sakitnya harus gantian. Kalau kita sakit berbarengan, sistem kesehatan kita pasti ambruk. Pasien-pasien akan dirawat di selasar-selasar rumah sakit, atau tidak akan kebagian tempat rawat sama sekali, bisa jadi berjatuhan korban dari kalangan tenaga medis, dst. Ini adalah potret yang sangat mengerikan. Bahkan Italia menggambarkan situasi sekarang di sana seperti di medan perang.

Lalu, bagaimana caranya kita bisa memperlambat penularan?

1) Tekan angka interaksi sosial. Berdiam dalam rumah, karantina, meliburkan sementara sekolah, batalkan/hindari acara-acara yang mengumpulkan banyak orang (konser, berdesakan di kereta/bus), menunda mudik, dll adalah cara-cara sangat penting yang harus kita upayakan sekarang juga!

Jika 1 orang saja yang positif COVID-19 batuk/bersin maka orang-orang berjarak 2 meter dari orang tersebut dapat terpapar dan bisa menularkan ke keluarga di rumah, sehingga akan menambah laju penularan secara signifikan. Bayangkan jika ada beberapa orang yang positif (tapi tidak sadar) yang kemudian menularkan ke banyak orang.

2) Lacak, tes, obati (trace, test, treat). Suspek dan pasien COVID-19 harus segera dikarantina ketat. Seluruh kontak harus diselidiki dan dipantau. Lakukan perawatan yang memadai.

Kita sudah TIDAK PUNYA WAKTU untuk 'santuy'. Tidak perlu panik, tetapi kita harus waspada dan mempersiapkan diri. Tulisan adalah semata-mata matematika sederhana yang menunjukkan betapa besarnya gelombang pandemi COVID-19 yang sudah di depan mata kita.

Penulis: drg. Monica Nirmala, MPH
(Fulbright scholar, MPH 2020 - Harvard University, FKG UI 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar