(Oleh: Adi W. Gunawan)
Gusti Mboten Sare adalah kalimat dalam bahasa Jawa bermakna Tuhan tidak tidur. Kalimat singkat ini bila direnungkan, dalam konteks kehidupan dan keterbatasan kita sebagai makhluk, sejatinya menunjukkan keyakinan, penerimaan, dan kepasrahan penuh akan keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan selaku makhluk adikodrati omnipresent (selalu hadir) dan omnipotent (adidigdaya).
Dengan mengucap Gusti Mboten Sare, kita percaya bahwa Tuhan senantiasa hadir, mencatat setiap bentuk pikiran, ucapan, dan tindakan kita, baik atau buruk, tanpa terkecuali.
Kalimat ini digunakan secara luas dalam berbagai konteks, kerap diucapkan terutama oleh mereka yang berharap keadilan. Mereka yang melihat, mengetahui, atau merasa dirinya dizalimi atau terzalimi, merasa tidak mampu atau tidak berdaya untuk mendapat keadilan, berpaling dan berpasrah pada Tuhan sebagai Sang Mahaadil.
Bila ditilik dari kondisi batin, ada dua kategori manusia yang mengucap kalimat Gusti Mboten Sare. Pertama, mereka yang benar dizalimi, karena situasi atau kondisi tertentu, tidak bisa mendapat keadilan, dan berpasrah sepenuhnya pada Tuhan untuk memberi keadilan sejati.
Kedua, mereka yang merasa dizalimi atau terzalimi, dan mengajak Tuhan bersekutu dengan mereka untuk melakukan balasan penghukuman kepada orang yang mereka yakini, padahal belum tentu benar, telah menzalimi mereka.
Kondisi batin antara kelompok pertama dan kedua sangat beda. Kelompok pertama mengutamakan dan bersandar pada kekuatan ikhlas dan pasrah, sementara kelompok kedua memegang bara api kemarahan dan kebencian di hatinya.
Adil versi manusia dengan segala keterbatasannya tentu beda dengan adil versi Tuhan. Dan yang sering terjadi, manusia dengan segala dalil berusaha meyakinkan dan memaksa Tuhan melakukan kemauan mereka, memberi keadilan versi mereka.
Saya meyakini bahwa segala sesuatu yang kita alami dalam hidup adalah pesan dan pelajaran yang Tuhan berikan agar kita semakin bertumbuh menjadi pribadi lebih baik, hingga akhirnya menjadi manusia mulia paripurna.
Alih-alih segera menghakimi suatu kondisi atau masalah sebagai kezaliman, alangkah bijak bila kita berani menelaah kondisi ini dengan kacamata kearifan dan kejujuran. Apakah kondisi ini benar adalah kezaliman atau ini hanyalah "kezaliman" akibat pemaknaan kita yang bias dan salah?
Dengan berani mengucap kalimat Gusti Mboten Sare kita sepenuhnya yakin dan pasrah bahwa apapun yang kita alami dalam hidup, Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk diri kita. Dan apapun yang kita alami, semua terjadi atas izinNYA.
Saya ingat benar pesan Guru spiritual saya, alm. R. Endro Sudirman, yang disampaikan pada saya bertahun lalu. Beliau dengan sangat bijak berpesan, "Mas Adi...cari dan temukan pelajaran hidup dari apapun yang Mas Adi alami, baik itu hal yang menurut Mas Adi tidak baik, ataupun hal yang baik. Orang sering mudah mengatakan bahwa bila sedang kesusahan, ini adalah pelajaran atau cobaan dari Tuhan. Jarang ada yang berhati-hati saat mendapat berkah (luar biasa), seperti rezeki, kepandaian, posisi atau jabatan, atau apapun yang enak-enak. Mereka lupa, saat mereka mendapat semua berkah ini, sebenarnya mereka juga sedang diuji oleh Tuhan. Orang yang lupa diri, gagal memanfaatkan titipan atau kepercayaan Tuhan akan jatuh dan kembali ke titik nol. Dalam beberapa kejadian, mereka malah minus."
Dalam konteks konseling dan terapi, saya tidak masuk ke wilayah relasi vertikal antara klien dan Figur Otoritas tertinggi dalam keyakinannya. Ini di luar kapasitas dan kompetensi saya, dan adalah ranah privat klien.
Yang selalu saya sampaikan pada klien, bila sedang mengalami masalah, ia perlu mencari ke dalam diri, khususnya ke pikiran bawah sadarnya. Pengalaman dan temuan saya di ruang praktik memvalidasi hipotesis saya, bahwa kondisi yang dialami seseorang, baik atau buruk, untung atau rugi, sukses atau gagal, atau masalah berulang, sangat besar kemungkinan ada akar masalah di pikiran bawah sadarnya.
Seringkali, karena ketidaktahuan, ketidakpedulian, atau bila mau jujur kebodohan kita, masalah demi masalah yang kita alami, yang sejatinya berisi pesan atau pembelajaran penting untuk kebaikan kita, terabaikan karena kita berusaha memaksakan kebenaran versi kita.
Mereka yang semula berharap, lebih tepatnya memaksa, Tuhan memberi keadilan dan tidak beroleh keadilan seperti yang mereka inginkan, akhirnya mengganti kalimat Gusti Mboten Sare dengan Gusti Mboten Sae atau Tuhan tidak baik. Menurut mereka, Tuhan tidak baik karena telah berlaku tidak adil dengan tidak memberi mereka keadilan versi mereka.
Di sisi lain, kalimat Gusti Mboten Sare juga sering digunakan untuk memotivasi dan menguatkan diri, bahwa apapun kebaikan yang dilakukan atau diperbuat, hal positif, baik, bermanfaat, tidak butuh persetujuan atau pujian dari orang lain, tidak butuh balasan apapun dari siapapun.
Bila kita yakin dan percaya Gusti Mboten Sare, tentu kita sangat hati-hati dalam berpikir, berucap, dan bertindak. Bukankah semuanya pasti tercatat dan kita pasti mendapat hasil atau balasan, baik atau buruk. Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang dituai. Pas, tidak lebih, tidak kurang.
Orang-orang baik dan bijak bekerja dengan tulus, sepenuh hati, berbuat kebajikan dalam sepi, tanpa woro-woro, tidak berharap balasan apapun, bahkan dari Tuhan. Mereka bekerja dan berbuat baik demi perbuatan baik itu sendiri, bukan karena pamrih.
Setiap bentuk pikiran, ucapan, tindakan atau perbuatan ibarat sebutir kerikil yang kita lempar ke tengah kolam air yang tenang. Saat kerikil ini menyentuh permukaan air, muncul riak yang menyebar ke segala penjuru. Saat riak ini mencapai tepi kolam, ia akan berbalik menuju ke titik awal riak.
Saat seseorang turut bahagia dan mendoakan keberhasilan orang lain, ia mencipta riak positif. Demikian pula saat seseorang berharap orang lain menderita, ia mencipta riak negatif. Apapun riak yang dihasilkan, cepat atau lambat pasti akan kembali ke sumbernya.
Prinsip ini sejalan dengan kebenaran yang disampaikan Buddha dalam Dhammapada:
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan bayang-bayang yang tak akan meninggalkan bendanya.
Demikianlah adanya...
Demikianlah kenyataannya...
Selamat pagi Frens !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar