https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10224040687431247&id=1420824653
KEBAKTIAN DI GEREJA LAGI:
NEW NORMAL ATAU ABNORMAL?
Tidak lama lagi, anda yang sehat dan berusia di bawah 60 tahun bisa kembali beribadah di gedung gereja (on-site). Banyak gereja sedang mempersiapkan gedung gerejanya seturut protokol kesehatan agar umat dapat beribadah tanpa resiko tertular Covid-19. Ada yang menerapkan protokol standar seperti cek suhu tubuh. Ada juga yang menerapkan protokol super, seperti mengharuskan semua yang bertugas melakukan rapid/swab test lebih dulu. Bisakah 100% aman? Tidak juga. Seorang epidemiolog menyatakan, berkumpul bersama dalam waktu cukup lama di ruang ber-AC tanpa sirkulasi udara yang mengalir tetap beresiko, apalagi saat menyanyi bersama. Sejalan dengan itu, Phillip C. Song MD, seorang ahli laryngology (ilmu yang mempelajari gangguan produksi vokal/suara manusia), menyatakan bahwa menyanyi bersama jauh lebih berbahaya daripada batuk, karena selama beberapa menit kita mengeluarkan droplet berukuran lebih kecil dan ringan(aerosol) yang dapat melayang di udara. Penularan jadi lebih mungkin terjadi saat menyanyi di ruang tertutup. Kalau nyanyinya keras, masker tipis Anda tidak akan mampu menahan muncratan droplet/aerosol sampai 100%.
Menyadari bahayanya menyanyi bersama, ibadah on-site meminimalkan kegiatan menyanyi bersama (community singing). Di GKI, dari 5-6 nyanyian dipotong menjadi dua saja. Itu pun harus dinyanyikan sambil mengenakan masker (cobain deh bagaimana rasanya menyanyi pakai masker di rumah). Ada juga gereja yang menghilangkan sama sekali nyanyian bersama. Selain membatasi nyanyian bersama, aspek persekutuan juga dibatasi. Umat harus duduk berjauhan satu sama lain di sepanjang kebaktian, lalu harus segera bubar begitu kelar. Lenyaplah kehangatan persekutuan (fellowship) yang biasanya muncul lewat duduk bareng, "ngerumpi" dan "kongkow-kongkow" sesudah kebaktian. Kita seolah beribadah sendirian secara bersama-sama atau "beribadah di dalam gelembung."
Kedua unsur tadi, community singing dan fellowship adalah dua hal yang membuat kebaktian on-site menjadi unik, indah dan tak tergantikan dengan ibadah online. Tanpa kedua hal tadi, kebaktian on-site menjadi kurang lebih sama saja dampak dan nuansanya dengan kebaktian online. Tanpa kedua hal tadi, kebaktian on-site di masa pandemi ini bukanlah kebaktian "normal baru" (new normal), melainkan kebaktian tidak normal (abnormal). Ia bisa diadakan, tetapi tidak bisa memuaskan. Ia bukan normal baru, karena kita tidak ingin menjadikannya normal. Pada saatnya nanti kita perlu kembali ke kebaktian normal, walau harus menunggu cukup lama.
Seorang rekan Pendeta di Gereja Presbiterian di Kanada kaget banget waktu saya menceritakan bahwa gereja-gereja di Indonesia sedang berencana kembali membuka ibadah di gedung gereja. Dia bilang, jumlah kasus Covid-19 di Kanada sangat sedikit dibanding dengan Indonesia. Belakangan malah hampir tidak ada, tetapi gerejanya masih menunda kebaktian on-site sampai akhir tahun atau tahun depan. "Hebat amat gereja di Indonesia?" katanya. Entah memuji atau menyindir. Kita mungkin terlalu latah dengan istilah "normal baru." Kita pikir gereja harus sama seperti tempat kerja atau mall: buru-buru memasuki normal baru. Padahal tidak mesti begitu.
So, kalau Anda belum mau ikut kebaktian on-site, it's OK. Saya paham. Ikuti saja dulu Kebaktian Online. Lebih aman, bahkan mungkin lebih memuaskan. Setidaknya Anda bisa nyanyi sekeras-kerasnya tanpa masker di ruang tamu Anda. Lama nyanyinya juga nggak perlu dibatasi. Mau sepuluh lagu juga OK. Selama tidak mengganggu tetangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar