DENNYSIREGAR.COM, JAKARTA – Waktu kecil saya sering nonton film kartun Coyote and Bibip. Film kartun itu bercerita tentang seekor Coyote (sejenis musang) yang napsu ingin menangkap seekor burung yang tidak bisa terbang tapi mampu berlari sangat kencang. Burung itu selalu bersuara, "bip bip". Pada intinya, si Coyote ini selalu gagal dan sial karena si bibip sulit ditangkap dan masuk jebakan.
Film kartun itu keluar lagi dari memori ketika saya melihat permainan politik Ahok vs lawannya.
Lawan Ahok ini persis seperti seekor Coyote. Mereka mengamati gerakan Ahok dan selalu memasang jebakan di depannya. Ketika Ahok mendeklarasikan untuk menempuh jalur independen, mereka pun memasang perangkap di ujung jalan.
Untuk semakin menguatkan supaya Ahok tetap berada di jalur menuju perangkap, mereka secara bergantian memainkan peran sebagai pendorong. Ada yang bilang potong kuping, ada yang mau terjun dari monas dan segala macam. Intinya, supaya Ahok terus tertantang dan berada di jalur yang sama dimana jebakan menunggu.
Mereka berpandangan bahwa karakter Ahok yang arogan akan menjadi musuh terbesarnya. Ahok ketika ditantang akan semakin menguatkan niatnya. Maka diperbesarlah emosinya dengan membakar2 "semangat"para pendukung fanatik Ahok supaya terus mendorong Ahok untuk tetap berada pada jalurnya. Mereka sudah membayangkan "sate Ahok" ketika sudah masuk perangkap dan mereka akan berpesta-pora.
Perangkap itu ada di KPU.
Mereka sudah menyiapkan banyak perangkap mulai verifikasi, pencoblosan sampai hitung ulang. Kalau Ahok lolos dari perangkap satu, perangkap lain menunggu. Pokoknya bagaimana caranya yang penting Ahok jangan menang.
Meninggalnya Husni Kamil, Ketua KPU, semakin memperkuat perangkap mereka. Husni Kamil adalah batu sandungan yang besar karena posisinya yang cenderung netral. Pilpres 2014 sudah cukup memberi mereka pelajaran bahwa Husni Kamil tidak bisa diarahkan.
Dan sambil menanti Ahok terus berada di jalur independen, mereka juga terus "membakar semangat" supaya Ahok tetap berada di jalurnya. Perangkap yang mereka siapkan itu harganya mahal dan membutuhkan waktu yang panjang untuk menyiapkannya mulai dari rencana sampai "membeli" perangkat2nya.
Momen Ahok tercipta ketika pertarungan di tubuh Golkar dimenangkan oleh Luhut Panjaitan. Setnov yang berprinsip, "dimana ada uang disanalah aku memandang" dengan mudah memenangkan posisi Ketua Umum. Perang di Golkar itu hanya perang uang, bukan perang ideologi. Dan Luhut – yang besar di Golkar – tentu paham itu.
Benar saja, Golkar yang dulunya terlihat keras pada Jokowi dan Ahok, dengan "tanpa berdosa" berbalik arah. Mulai Tantowi Yahya sampai Nurul Arifin, sibuk menjilat ludah. Dulu keras menentang, sekarang keras mendukung.
Dengan kartu Golkar di tangan, ditambah Hanura dan Nasdem yang sudah berada di posisi lebih dulu, maka mulailah kartu dimainkan.
Secara mendadak Ahok mengumumkan bahwa ia bertarung di pilkada melalui jalur partai.
Ini benar2 langkah yang tidak diperhitungkan. Lawan Ahok sudah tidak punya cukup waktu untuk me-revisi kembali rencana dan perangkap yang sudah tertanam sejak lama. Pendaftaran calon mulai tanggal 19 September, bagaimana mungkin dalam waktu sedekat itu mereka harus menyiapkan rencana yang tidak pernah terpikirkan ?
Sama seperti si Coyote, mereka hanya bisa memaki. Yang dibilang mencla mencle lah, yang munafik lah, yang tidak gentle lah, yang mengkhianati Teman Ahok dan lain2. Sumpah serapah yang keluar dari rasa panik dan ketidak-siapan strategi baru.
Jalan satu2nya mereka harus melakukan propaganda bahwa Ahok bukan tipikal orang yang bisa dipegang omongannya. Dengan propaganda melalui media sosial, mereka berharap pendukung Ahok kecewa dan menarik dukungannya kepada Ahok saat pencoblosan.
Hanya itu saja yang mereka bisa lakukan sekarang dan mereka sendiri sudah tidak yakin bahwa propaganda itu efektif, paling hanya menggeser sekian poin saja dan tidak berpengaruh banyak. Perangkap mahal itu sudah tidak berguna lagi padahal mereka sudah keluar uang banyak untuk membayar sana sini.
Dengan Ahok berada di jalur partai, maka mereka tidak berani lagi mengkritisi "jalan" Ahok, karena berarti sama saja mengkritisi diri mereka sendiri. Buah simalakama, dimakan nenek masuk neraka, gak dimakan kakek yang masuk neraka. Seperti itulah.. Eh.
Politik itu dinamis dan terus bergerak sesuai perubahan yang terjadi di lapangan. Penyesuaian harus terus dilakukan supaya tidak "mati sebelum bertanding". Dan saya kira, Ahok sudah bisa membaca dari awal situasi yang akan terjadi.
Kalau Jokowi itu pemain catur yang strateginya jitu dalam penempatan2 bidak, Ahok ini pemain Poker yang ulung. Ia terus menggertak supaya lawannya terus mengira2 kartu apa yang dia genggam. Ketika lawannya sudah menetapkan hitungannya dan bergerak sesuai arah gertakan, tiba2 Ahok berbalik dan dengan santai membuka kartu yang ternyata cuman 2 pair, kartu yang kecil nilainya dalam permainan Poker.
Tahu nggak hal yang menyakitkan pemain Poker ? Ketika lawannya menang dengan kartu kecil sedangkan ia memegang kartu yang jauh lebih besar, tapi ia tidak mampu membaca ke mana arah gertakan lawan.
Ahok lewat dengan kecepatan tinggi sambil bersuara, "bibip.. bibip" mentertawakan mereka yang sedang bengong karena semua perkiraan mereka salah besar.
Mungkin sekarang para Coyotes, seperti Lulung, Habiburakhman, Gerindra dan PDI-P sedang sibuk minum kopi….. sambil menelan cangkir2nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar