HARTA, TAHTA, IRIANA Dalam hidup ini, terutama bagi laki-laki, ada tiga hal yang menjadi ujian hidup, harta, tahta, wanita. Kualitas manusia ditentukan dengannya. Sepanjang sejarah manusia, ditulis kisah epik berkaitan dengan tiga hal itu. Dalam konteks politik terkini, tiga ujian tersebut juga sedang menimpa keluarga Pak Lurah. Soal harta, mungkin Pak Lurah bukan sosok ambisius. Tapi putra bungsunya sering disebut tersangkut. Sayangnya di Indonesia ini, keluarga presiden itu suci. Sejak zaman Soeharto dulu, anak-anak presiden bergandengan tangan dengan oligarki. Tradisi itu terus berjalan sampai kini. Keluarga presiden tak tersentuh hukum. Tomy Soeharto harus dikecualikan untuk kasus pembunuhan hakim agung. Harta adalah ujian pertama. Orang-orang yang dulu dianggap sederhana sekalipun akan tergoda dengan gemerlap harta. Ujian kedua adalah tahta. Dalam kondisi sekarang, tahta adalah jabatan. Posisi strategis. Dulu anak-anak Pak Lurah tidak ingin berpolitik. Tapi dalam dua kali kekuasaan bapaknya, mereka akhirnya sadar, kekuasaan itu manis. Sesuai fatwa Nietzsche, semua makhluk memiliki kehendak untuk berkuasa. Ambisi untuk berkuasa mulai tumbuh pelan-pelan. Dinasti harus dibangun. Jalan terjal diratakan. Tahta menjadi ujian kedua bagi siapa saja. Termasuk Pak lurah. Meskipun lelaki kurus yang tumbuh di bantaran Kali Anyar itu selalu ingin tampil sederhana. Tapi ambisi bukan sesuatu yang mudah ditutupi. Ia menyusup dalam gerak-gerik. Tercermin dalam keputusan. Soal pat gulipat, bau-bau korupsi, hampir semuanya tutup mata. Anak presiden suci, yang lain penuh dosa. Dulu pun kita ingat, nama Ibas diseret-seret para koruptor. Tapi tak sekalipun dia dimintai tanggung jawab. Sekarang juga sama. Pak Lurah telah gelap mata. Ada banyak bolong yang harus ditutupi. Restu harus diberikan. Meskipun harus lewat tangan kotor paman. Ujian selanjutmya adalah wanita. Bahkan dalam sejarah kerajaan kita, wanita sering menjadi bagian dari strategi politik. Wanita di sana berperan sebagai obyek. Mereka umpan agar pemilik otoritas melunak. Mudah dibelokkan. Majapahit kabarnya jebol dengan strategi umpan gadis Champa. Kekuatan politik berlatar agama dibiarkan tumbuh, hingga akhirnya menguasai. Majapahit pada akhirnya runtuh. Wanita dalam konsep terkini bukan lagi obyek, tapi subyek. Dalam kasus Mahkamah Keluarga misalnya, peranan wanita di sana sentral. Iriana adalah nama yang hari ini disebut memiliki power luar biasa. Dia mengubah sejarah. Tapi apa yang disebut oleh Tempo itu hanya sebagian kecil dari cerita tentang Iriana. Ada banyak kisah muram, yang jauh-jauh hari sudah diketahui banyak orang. Kisah yang tak pantas untuk dituliskan. Tapi saat itu, siapapun masih ingin melindungi Pak Lurah. Sosok yang dianggap sederhana. Tak paham politik. Manut pada suaminya. Ternyata malah sebaliknya. Dia yang mengontrol Pak Lurah. Namanya bahkan pernah jadi kandidat cawapres, ketika anaknya dulu terganjal aturan untuk maju. Berkat tangan ajaib paman, aral itu hilang. Tapi wacana mencawapreskan ibu suri itu pernah terjadi. Dan itu cukup untuk menunjukkan gambaran, perempuan itu tak pernah sederhana. Ketika hari ini peran Iriana mulai dibongkar, itu sebenarnya mirip upaya menggarami luka. Kami sudah tahu jauh-jauh hari sebelum Tempo melakukan investigasi. Memang sebaiknya, pihak netral yang mengusut. Biar nanti tak muncul tuduhan-tuduhan kusut. Kita pernah membuat narasi, Pak Lurah adalah manusia setengah dewa. Pada akhirnya tiga hal itu menguji kualitasnya. Karakternya. Ambisinya. Tapi agar tepat konteks, tiga istilah di atas harus sedikit diubah menjadi, harta, tahta, Iriana... Kajitow Elkayeni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar