Ayah mertua tak menginap, langsung pulang sore harinya juga. Berbagai cara kulakukan untuk menahan, akan tetapi Ayah mertua tetap ngotot pulang, alasannya tinggal sawit, tinggal kambing peliharaan Ayah mertua.
Kubelikan oleh-oleh khas Medan untuk Ayah mertua. Bika ambon dan bolu gulung. Sebelum pulang Ayah mertua berbicara lama dengan Bang Parlin, aku sedikit kesal karena mereka berbicara dalam bahasa yang tak kumenengerti, ingin ikut bicara tapi tak tahu apa yang dibahas.
Setelah Ayah mertua pergi, segera kukeluarkan uang dalam tas kresek itu. "Kita hitung ya, Bang," tanyaku pada Bang Parlin.
"Jumlahnya dua ratus lima puluh juta, itu hasil empat bulan," kata suami.
"Dari mana Abang tau?"
"Ayah yang bilang, Dek,"
"Banyak juga ya,"
"Iya, Alhamdulillah,"
"Kita apain ini uang, Bang?" tanyaku lagi.
"Ya, disimpan, Dek, keluarkan dua setengah persen untuk zakat,"
"Dua setengah persen?" aku lalu coba berhitung, matematika memang kelemahanku, akhirnya kuambil HP, terus ke kalkulator. Wah, enam juta dua ratus lima puluh ribu. Akan ke mana ini dibayarkan?
"Ke mana dibayarkan, Bang?"
"Biasanya Abang berikan ke orang yang betul-betul butuh, Abang pernah kasih dua puluh lima juta kepada satu orang, itu zakat satu tahun,"
"Wah, dua puluh lima juta ke satu orang, dibagi ke orang banyak seratus ribu seorang dah berapa itu, bisa menyaingi si Baim Abang,"
"Siapa si Baim?"
Duh, aku lupa, suamiku ini tak kenal medsos, dia hanya nonton TV.
"Kenapa harus ke satu orang, Bang?"
"Supaya berguna, benar-benar bisa merubah kehidupan orang, biasanya sebelum Abang kasih, survey dulu, Abang kasih ke orang yang benar-benar butuh, misalnya butuh modal mau ternak, modal buka warung. Pokoknya yang bisa merubah orang, kalau dikasih satu juta seorang, percuma, tiga hari sudah habis. Tak ada yang berubah."
"Ooo," mulutku membulat, andaikan semua orang kaya seperti Bang Parlin, mungkin tak akan ada orang yang terjebak riba karena ngutang modal.
"Jadi ini enam jutaan, kita kasih siapa, Bang?" tanyaku.
"Genapkan dua puluh juta, sekalian zakat uang yang di Bank itu, adek yang cari orang yang pantas menerimanya." kata suami.
Dua puluh juta, harus keberikan kepada satu orang, yang bisa mengubah kehidupan orang? Aku mulai berpikir, siapa ya? adikku? Abangku? entah kenapa yang teringat pertama justru keluarga. tapi apa mereka akan bisa berubah dengan uang dua puluh juta?
"Tak inginkan Abang beli HP?" tanyaku di suatu malam, saat itu dia lagi memperhatikan aku yang lagi berselancar di Facebook.
"Ada kok, HP Abang,"
"Mana?"
"Ya, itu,"
"Maksudnya HP yang gini, Bang." kutunjukkan HP-ku padanya.
"Kembali ke kebutuhan dan keinginan, Dek, kebutuhan Abang hanya ditelepon, mau SMS saja Abang kesulitan, buat apa HP begitu," jawab suami.
"Udah ketemu belum orangnya?" tanya suami lagi.
"Aku masih bingung, Bang, antara tiga orang, satu Janda, butuh motor untuk jualan keliling, satu lagi seorang anak muda yang butuh uang untuk bayar kuliah kedokteran. Satu lagi seorang bapak tua yang butuh modal buka warung," kataku menerangkan, memang sudah ada tiga kandidat yang akan menerima uang dua puluh juta kami. Aku masih bingung pilih yang mana.
"Bukan itu, Dek, si Rara itu, Adek bilang hari itu pasti ketemu," kata suami.
Ih, sebel, ternyata dia masih ingat si Rara. Kucek inbok masuk, memang aku jarang buka inbox. Ternyata ada tiga yang inbok mengaku si Rara. Kuperhatikan satu persatu, ada yang masih sekolah SMA, langsung kuabaikan, sudah pasti bukan dia, yang dicari adalah orang yang berumur sekirra tiga puluh enam tahun.
(Bang Pain, itu Bang Pain,) ada inbox seperti itu dari sebuah akun bernama Mams Lindung. sudah pasti bukan dia, yang dicari Rara, yang cari Parlin, bukan Pain.
"Belum ada, Bang, ada yang ngaku Rara, masih SMA, ada yang bilang Pain ...,"
"Itu dia, Rara panggil aku Bang Pain," seru suami.
Wah, segera kulihat akun Mams Lindung ini, tak ada foto yang jelas. Coba kubalas inboknya.
(Ini Rara?)
(Iya, saya Rara, ini istrinya Bang Pain ya) balasnya dengan cepat.
(Iya, Bang Parlin yang gobel kayak Sanjay Dut)
(Bang Pain, minta izin VC boleh)
(Boleh, tapi saya gak punya messenger, lewat WA saja,) balasku seraya memberikan nomor WA.
Lalu datanglah panggilan vc itu.
"Ini Rara-mu, Bang Pain," kataku seraya menunjukkan pada Bang Parlin.
"Bang Pain, apa kabar? sehatkah, sudah berapa anakmu," kata Rara dari seberang.
"Rara, maafkan aku, Rara, rambut Sanjay Dutnya sudah hilang," kata suami.
Ishh, lebay amat, sih?
"Kami baik saja, Rara, kabarmu bagaimana?" aku yang menjawab seraya menempelkan badanku ke Bang Parlin. Aku ingin si Rara ini lihat Bang Painnya sudah bahagia.
"Si Nunung sudah mati, kau lama kali datangnya," kata suami seraya menitikkan air mata. Ah, aku makin kesal, suamiku ini terlalu lebay.
"Kenalkan ini anakku Lindung Cafri," kata Rara seraya menunjukkan seorang anak laki-laki berambut gobel."
"Dah berapa umurnya?" tanyaku karena suami terus saja diam, dia sibuk menghapus air matanya.
"Lima tahun, namanya diambil dari Parlindungan juga," jawab Rara.
Ah, dua orang ini lebay betul, punya anak pun ambil dari nama mantan. Entah kenapa aku terbakar cemburu.
"Bagaimana utangku, Rara, aku merasa tak enak, puluhan tahun kutunggu untuk membayarnya," kata Bang Parlin.
"Udah, gak apa-apa, melihat kau sukses saja aku sudah senang,"
"Tapi utang tetap utang, Rara,".
" Aku tak pernah anggap itu utang, Bang Pain, ini suamiku," kata Rara seraya menunjukkan seorang lelaki yang lagi tiduran.
"Oh, ya, kalau kau sudah bahagia, aku juga bahagia, Rara, terima kasih, salam untuk Bapak."
"Akan kusampaikan, Bang Pain, siapa nama kakak itu?"
"Nia," jawabku cepat.
"Nia, jaga Bang Pain, kau beruntung mendapatkan dia," kata Rara.
"Iya, Rara."
"Udah, ya, Bang Pain, lupakan saja utangmu itu, aku anggap lunas," kata Rara.
Sambungan video call pun terputus.
"Abang dengar itu, Rara sudah bahagia," kataku pada Bang Parlin, matanya masih basah.
"Percaya gak kau, Dek, Abang tak pernah punya pacar, Abang mau nikah karena ayah,"
"Percaya, Bang, percaya,"
"Ajari dulu Abang main HP, kata Bang Parlin.
"Jangan, Bang, gak usah, banyak dosanya, banyak godaannya,"
"Berarti banyak dosamu, Dek,"
"Ih, Abang bikin gemas saja," kataku seraya mencolek pipinya.
Uang zakat dua puluh juta masih di tanganku, belum kuputuskan untuk berikan pada siapa, bingung juga memilih orang yang paling pantas mendapatkan uang dua puluh juta ini, amanah dari Bang Parlin harus bisa mengubah kehidupan seseorang itu.
Abangku yang tertua datang, dia datang bersama kakak ipar, tumben juga, mereka tiba-tiba sudah ramah. Mereka datang bawa duku dan manggis. Katanya oleh-oleh untuk kami. Kakak ipar yang biasanya selalu menyindir dan sarkas kini super ramah.
"Eh, Nia, kau makin cantik saja setelah nikah," kata kakak ipar.
"Hehehe," aku hanya tersenyum.
"Parlin memang saudara yang baik, dia beli rumah ini, kalau dia tak beli jadi rumah orang lain rumah kita," kats abangku. Aku mulai menduga-duga ke mana arah pembicaraan mereka.
"Begini Parlin, kami dengar kalian punya sawit yang luas, sapi ratusan, wah, aku senang sekali punya ipar seperti kamu," kata abangku.
"kami juga mau buka kebun sawit seperti kalian,"
"Oh, ya, bagus itu,"
"Tapi kan kami belum punya lahan, jadi sebai saudara, kami datang minta bantuan modal untuk buka lahan sawit, kalau bisa beli kebun yang sudah ditanami, biar gak capek nunggunya," kata kakak ipar.
Oh, ternyata karena mau pinjam, makanya ramah. kulihat suami, menunggu jawaban apa yang akan dia berikan. Entah dari mana abangku tahu semua ini.
"Kedengar kalian mau hibahkan uang, sam a kami ajalah, Nia, saudara harus didahulukan lo," kata kakak ipar lagi.
Bersambuang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar