Kenapa pilihan sulit begini datang padaku? Aku tak ingin kehilangan suami juga tak ingin kehilangan saudara. Ini hanya salah paham. Akan tetapi para saudaraku sepertinya sudah emosi. Bang Parlin pun untuk pertama kali kulihat dia emosi.
"Ayo, Dek!" kata suami lagi, tangannya masih terulur.
"Maafkan aku, Kak, Bang, adikku semua, aku pergi," kataku akhirnya. Kuraih tangan Bang Parlin, kami pun pergi.
"Aku merasa bersalah, Dek, ayo kita kembali, biar kujelaskan semua," kata suami ketika kami sudah di atas motor.
"Percuma Bang, mereka memang benci Abang," kataku kemudian.
"Kok benci Abang, emang Abang salah apa?"
"Pas kita dijodohkan pun abang dan kakakku gak setuju."
"Biar Abang minta maaf sama mereka, Dek,"
"Lo, Abang kan gak salah?"
"Minta maaf demi keutuhan keluarga, Dek,"
"Udah, gak usah, Bang, nanti mereka makin melanjuk, Adek juga gak tega kalau Abang terus dihina," kataku kemudian.
Kami pun pulang ...
Kami tetap datang tahlilan, aku antar suami malam hari, biarpun tak mereka tegur, kami tetap datang. Hingga malam kedua, adikku yang paling bungsu bicara pada kami.
"Kata Abang habis tahlilan nanti jangan langsung pulang dulu, kita musyawarah," kata adikku tersebut.
Aku dan suami menurut saja, setelah semua orang pulang, kami pun berkumpul di ruang tengah.
"Begini, besok malam kan malam ke-tiga tahlilan, seperti tradisi di sini akan ada nasi berkat serta kue-kue, jadi kita butuh dana sekitar dua juta," kata Abang yang tertua.
"Urusan dana kalian lah dulu yang lumayan itu," langsung disambut kakakku yang nomor dua.
"Kamipun lagi susah, tambah lagi ini bulan tua," kata adikku.
Aku dan suami tetap diam, ingin rasanya aku membantu, tapi takut mereka tuduh pula uang ngepet.
"Jadi bagaimana? kita tiadakan saja?" kata Abang tertua.
"Emangnya uang kemalangan tidak ada?" aku akhirnya bicara juga.
"Ada, tapi kan sudah habis untuk biaya ini dan itu," jawab adikku.
"Berapa yang dibutuhkan?" tanya suami.
"Kan udah dibilang, sekitar dua juta," jawab kakakku.
"Kami talangi semua, ambil duitnya, Dek, uangmu bikin, nanti uangku dikira pula hasil ngepet," kata suami.
Semua terdiam, aku keluar untuk mengambil uang ke ATM, kali ini aku pakai ATM-ku, karena uangku juga masih ada, ditambah lagi kalau uang sapi itu sudah masuk.
Aku terkejut melihat saldo ATM-ku, kukira uang sapi itu hanya sekitar dua puluh juta, ternyata saldoku sudah tujuh puluh juta, seumur hidup belum pernah aku punya uang segitu. Aku ambil seperlunya saja, dua juta sesuai permintaan mereka. Aku kembali dan memberikan uang tersebut pada abangku yang tertua.
"Satu lagi, kebetulan kita semua di sini, aku ingin bicara perihal warisan, seperti kita tahu, warisan orang tua kita hanya rumah ini, jadi biar bisa dibagi, kita jual saja, taksiranku rumah ini laku tiga ratus juta, kita bagi sesuai kebiasaan saja, yang laki-laki dapat tujuh puluh juta seorang yang perempuan dapat tiga puluh juta" kata Abang tertua.
"Aku gak setuju rumah ini dijual, banyak kenangan di sini," kata adik perempuanku.
"Jadi bagaimana, kan gak mungkin kita belah membaginya?"
"Biarkan saja di sini, siapa yang mau tinggal boleh," kata adikku lagi.
"Tapi kami lagi butuh uang ini," sambung adik iparku.
"Udah, aku yang beli, tapi dua ratus juta, itupun uangnya dua bulan lagi," kata kakakku.
Aku kenal kakakku ini, dia tukang ngutang, uangku pun sudah sering dia utang dan tak pernah dibayar. Dugaanku dia mau gadaikan rumah ini dulu baru uang gadainya dia kasih kami bagi.
Suami lalu berbisik ke telingaku, "bilang kita yang beli," bisik suami.
'Kenapa bukan abang yang bilang," jawabku sambil berbisik.
"Ini rumah kalian, Abang gak boleh ikut campur," kata suami masih dengan berbisik.
"Baik, kami yang bayar tiga ratus juta," kataku kemudian.
"Tunai?" tanya kakak iparku.
"Ya, tunai,"
"Dari mana pula kalian ambil uang segitu?" kakak ipar ini memang bicaranya selalu merendahkan.
"Mudah saja, aku ngepet dulu malam ini, besok pagi sudah ada uangnya, kami tambah jadi tiga ratus dua puluh juta." suami tiba-tiba bicara membuat semua mata melihat ke arahnya. Kucubit paha suami, gemas juga, dianggap orang dia miskin, dia terima, dianggap orang dia ngepet malah dia iyakan.
"Bagaimana? kalau ditunggu sampai laku, bisa sebulan, dua bulan, bahkan bisa tahunan, dijual cepat pasti murah, sementara kalian butuh uang, jadi aku ngepet saja, urusan dosanya biar aku yang tanggung," kata suami lagi.
Semua terdiam.
"Baik, kita sepakati, tapi harus besok pagi uangnya," kata abang yang tertua.
"Pagi sekali tidak bisa, karena siang dulu baru bisa kembali jadi orang," kata suami lagi. Aku makin gemas, kucubit pahanya makin keras.
"Aduh!" Bang Parlin akhirnya mengaduh juga.
Rapat ditutup, kamipun pulang, dalam perjalanan pulang kuomeli suami habis-habisan.
"Apa sih susahnya bilang sawit Abang luas, sapi Abang banyak?" kataku seraya mengemudi.
"Abang kesal, Dek, belum tiga hari mereka sudah bicara warisan," kata suami.
"Iya, gak gitu juga kali, masa Abang bilang Abang ngepet?"
"Abang itu sesuai anggapan orang, bila dianggap orang Abang miskin, ya, miskin, dianggap orang kaya, ya, kaya."
"Abang aneh,"
"Ha, itu satu lagi, bila dianggap adek Abang aneh, ya, Aneh," kata suami.
Aku makin gemas saja.
Sampai di rumah aku masih terus mengomel, akan tetapi suami malah ngajak bercanda.
"Jaga lilin ya, Dek, Abang pergi dulu cari uang," kata suami, kubalas dengan lemparan bantal.
"Jangan sampai lilinnya mati, ya, Dek," katanya lagi seraya menghidupkan lilin. Ini suami ternyata bisa juga bercanda, tuduhan orang pun dia buat sebagai candaan.
Tok ... tok ...
Terdengar suara ketukan di pintu diiringi suara salam dari seseorang. Segera kubuka pintu ternyata abang Ipar-suami dari kakakku yang datang. Saat itu suami masih memegang lilin candaannya.
"Ada apa, Bang, silakan masuk," kataku kemudian.
"Parlin, tolong dulu aku, aku sudah lelah dikejar utang terus, ajari dulu aku ngepet," katanya setelah duduk.
Aduh, Abang ipar ini ternyata menganggap Bang Parlindungan bicara serius, harus bagaimana lagi ini, kebetulan pula dia lihat suami memegang lilin.
"Kakakmu banyak utang, Nia, di mana-mana utangnya berserak, makan pun jadinya tak enak, tidur tak bisa nyenyak, aku sudah putus asa," kata Abang iparku ini lagi.
Kulirik suami dia justru memegang mulutnya menahan tawa.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar