Oleh : Dahlan Iskan
18 01 2022
SAYA terlambat tahu: Ny Ciputra ternyata sudah meninggal dunia. Berarti, hanya tiga tahun setelah sang suami mendahuluinyi.
Ada satu pelajaran penting bagi gadis-gadis masa kini. Terutama bagi gadis yang merasa dirinyi sangat cantik. Atau setidaknya cantik sekali. Secantik apa pun Anda masih akan kalah cantik dengan Dian Sumeler —yang awalnya memilih menjadi istri mahasiswa miskin ITB tapi berkembang menjadi konglomerat besar bernama Ciputra.
Saya selalu menjadikan Dian contoh klasik yang Anda sudah hafal ini: di balik apa ada apa.
Suami istri Ciputra-Dian itu sempurna —kalau saja Tuhan tidak cemburu pada predikat itu. Itulah pasangan kekal —seperti ikut hukum kekekalan energi.
Yang suami keras-ngotot. Yang istri lembut-sabar-mengalah. Itu juga lambang bahwa cinta itu —seharusnya— tidak mempertimbangkan rupa dan harta: "Wajah Ciputra itu sangat jauh dari ganteng". Tapi, sebagai wanita yang amat cantik, Dian tidak pernah mengejek Ciputra itu jelek —pun kalau itu hanya guyon.
Ciputra contoh orang yang punya keinginan kuat. Kerja keras. Hemat. Ngotot. Sukses. Sekaligus contoh keluarga yang taat beragama, berjuang untuk agama itu, sekaligus contoh kerukunan dan keserasian rumah tangga.
Sama sekali tidak ada omongan tentang cewek atau cowok lain di hubungan suami istri tersebut.
Pun dalam mendidik anak-anak. Sampai pun semua rumah keempat anaknya itu harus di satu blok, bersebelahan atau berseberangan di satu jalan —di kompleks perumahan elite di Pondok Indah.
Dian adalah penyeimbang roket bernama Ciputra.
Awal kisah cinta mereka hampir mustahil terjadi lagi di zaman TikTok ini: gara-gara tabrakan sepeda.
Ketika masih berumur 17 tahun, Dian sudah jadi bintang segala bintang di Manado —di bidang kecantikan. Dian menjadi pembicaraan di basis orang cantik Manado. Sampai-sampai di umur sebelia itu sudah diincar anak salah satu orang terkaya di Manado.
Dian masih harus sekolah. Dia masih berstatus pelajar SMA di sana.
Dian tidak tergiur itu.
Suatu hari Dian naik sepeda memboncengkan temannya, sesama siswi SMA Susteran. Dari arah berlawanan Ciputra diboncengkan sepeda oleh temannya. Sesama cowok siswa SMA Don Bosco. Si teman itulah yang sebenarnya yang menaksir Dian.
Sepeda itu tabrakan. Atau ditabrakkan. Entahlah. Yang jelas, dua cowok itu punya alasan untuk berkenalan dengan dua cewek dari SMA yang berbeda itu.
Anehnya, justru Dian lebih tertarik pada si pemilik wajah yang lebih jelek: Ciputra. Padahal, waktu itu Ciputra anak janda miskin. Ayahnya sudah lama ditangkap Jepang: dituduh jadi mata-mata Belanda. Sejak ditangkap itu, sang ayah tidak pernah kembali —sangat mungkin sudah mati dibunuh Jepang.
Dian asli Manado —setidaknya lahir di Manado, besar di Manado. Dia sendiri merasa sebagai orang Tionghoa Manado.
Sedangkan Ciputra lahir di kota kecil Parigi —di leher ceking Pulau Sulawesi: jauh dari Palu, jauh pula dari Gorontalo.
Sebelum SD, Ciputra sudah diajak ibunya mengungsi ke utara. Ke Desa Bumbulan. Itulah desa di dekat Pantai Tomini, yang masuk Kecamatan Paguat. Anda tentu masih ingat Paguat: pusat bisnis investasi online yang merugikan ribuan investor yang dijalankan seorang polisi berpangkat letnan dua kapan itu (Baca Disway edisi: Investasi Paguat).
Di Desa Bumbulan tersebut Ciputra tumbuh sebagai remaja. Teman terbanyak masa kecilnya ada di desa itu. Kelak, ketika sudah jadi konglomerat, Ciputra naik helikopter ke Desa Bumbulan: menemui semua teman kecilnya, membagikan uang kepada mereka, dan membangunkan rumah bagi yang termiskin. Termasuk membangun pula gereja di situ. Lalu, naik helikopter lagi ke kota kecil Parigi —tempat kelahirannya.
Itulah untuk kali pertama Ciputra ke desa itu, dan ke tempat kelahirannya itu, sejak meninggalkannya. Dan ternyata itu juga untuk kali terakhir.
Baru ketika harus masuk SMA, Ciputra ke Manado. Masuk SMA Don Bosco. Sampai akhirnya tabrakan sepeda itu.
Zaman itu hubungan Dian-Ciputra jadi gosip hebat di sana. Kok mau-maunya: Dian yang begitu cantik berpacaran dengan anak janda miskin, tidak ganteng pula. Padahal, yang gagah nan kaya mengantrenyi.
Umur Dian-Ciputra hanya selisih kurang dari enam bulan. Mereka tidak bisa dipisah lagi. Ketika Ciputra berangkat kuliah ke ITB, Bandung, Dian juga meninggalkan Manado: ke Surabaya. Sekolah farmasi. Lalu, menyusul Ciputra ke Bandung. Kawin di Bandung. Ayah-ibu Dian tidak bisa hadir: tidak ada biaya ke Jawa. Demikian juga ibunda Ciputra.
Ketika Ciputra kuliah, Dian-lah yang bekerja. Yakni, di sebuah perusahaan Belanda di Bandung. Dian fasih berbahasa Belanda. Saat kecil, Dian memang sekolah SD Belanda (HIS). Lalu, masuk SMP Belanda (MULO). Diteruskan ke SMA Susteran —pengganti SMA Belanda yang tidak diperbolehkan lagi.
Semua itu menjadi modal utamanyi untuk bekerja —di samping wajah kebelanda-belandaannyi. Apalagi, dia memang mampu mengerjakan pembukuan keuangan di situ.
Ciputra sendiri bekerja paruh waktu —di sela-sela kuliahnya. Yang penting pengantin baru itu bisa hidup dan Ciputra bisa mencapai cita-citanya menjadi arsitek.
Sebenarnya saya selalu ingin bertanya kepada Dian —apanya yang menarik dari Ciputra-muda. Tapi, setiap kali saya ke rumah Pak Ciputra, selalu saja Dian hanya sebentar ikut menyapa, lalu menghilang ke belakang. Saya selalu mencuri pandang wajahnyi. Pun biar hanya sesapuan, saya harus bilang: Dian cantiiiiiiik sekali. Pun sampai ketika Dian sudah punya cucu.
Saya tidak pernah bisa ngobrol panjang dengan Dian. Dia memang tipe wanita yang tidak mau ikut urusan suami.
Bahwa Dian kemudian dikenal sebagai istri konglomerat, itu kan belakangan. Bahwa dia duduk juga di komisaris banyak perusahaan, itu juga ketika sang suami sudah tiada.
Dian tidak mengincar itu. Dia siap menderita ketika memilih Ciputra —instead of anak orang yang terkaya dulu itu.
Padahal, seperti diakui anak-anaknya, Ciputra itu orangnya keras. Kalau punya kemauan, ngototnya bukan main. Harus tercapai. Harus cepat. Kalau ada yang bikin lambat, ia marah-marah.
"Kalau lihat papa marah, biasanya mama bilang: biarkan saja, nanti kan reda sendiri," ujar Junita Ciputra, satu di antara empat bersaudara anak Ciputra: Cakra Ciputra, Rina Ciputra, Candra Ciputra, dan Junita Ciputra.
Junita melihat mamanyi orang yang sangat sabar. Tidak punya banyak kemauan. Easy going. Hanya satu yang diinginkan Dian. Pun ketika sudah tua: harus tetap tampil cantik.
"Ke dokter saja harus pakai perhiasan, harus ke salon, dan harus berdandan," ujar Junita yang kawin dengan Harun Hajadi.
"Dalam hal penampilan, mama itu Manado sekali," ujar Junita.
Dengan tinggi badan 167 cm, Dian terasa tinggi di tengah teman-temannyi. Tinggi, cantik. Sampai-sampai banyak yang berasumsi Dian itu punya darah Belanda. Keturunan campuran Belanda. Dan itu biasa di Manado.
Rasa penasaran itu membuat anak-anaknyi mengambil keputusan: tes DNA. Dilakukan di Amerika Serikat. Seperti juga yang pernah saya lakukan bersama John Mohn —ayah angkat anak saya.
Hasil tes Dian itu mengejutkan keluarga: darah Tionghoa Dian ternyata hanya 30 persen. Jauh dari bayangan awalnya yang setidaknya 70 persen. Bahkan, tidak ada darah Belanda sama sekali.
Darah Dian justru justru didominasi darah Filipino. Sampai 50 persen. Sedang yang 20 persen sisanya tidak bisa diperinci. Secara global hanya disebutkan 20 persen itu darah "Asia Tenggara".
Semua anak Ciputra juga menjalani tes. Hasilnya: darah Tionghoa mereka lebih tinggi. Tentu. Ciputra adalah keturunan murni Tionghoa. Mungkin. Ciputra tidak sempat dites. Waktu ide tes itu lahir, Ciputra sudah sulit mengisikan air liur dalam jumlah yang cukup ke tabung khusus dari lab DNA.
"Ciputra" baru menjadi nama resmi setelah dewasa: Tji-Putra —anaknya Tji. Nama awal Ciputra adalah: Tjie Tjin Hoan. Ayah Ciputra adalah: Tjie Siem Poe yang kawin dengan Lie Eng Nio.
Sebenarnya anak-anak begitu ingin Ciputra menjalani tes itu. Bukan hanya soal darahnya dari mana, tapi juga penyakit apa yang kemungkinan diturunkan ke anak-anak. Agar bisa diantisipasi.
Bahwa darah sang mama didominasi Filipino itu sih sebenarnya wajar. Manado lebih dekat ke Filipina daripada ke Jawa. Raut wajah umumnya orang Manado juga lebih mirip Filipino daripada Jawa. (Dahlan Iskan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar