https://www.kompasiana.com/andrevincentwenas/5fd34a0bd541df06b036d1f3/jk-bilang-kalau-ahok-menang-bisa-ribut-siapa-yang-ribut-pak
*JK Bilang Kalau Ahok Menang Bisa Ribut! Siapa yang Ribut Pak?*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
"Saya bilang Jakarta ini menjadi amburadul." – Megawati Soekarnoputri, dalam pidatonya 10 November 2020 yang baru lalu.
Pak JK yang saat itu (tahun 2017) masih menjabat sebagai Wapres, seperti pengakuannya sendiri, adalah tokoh yang mengusulkan dan melobi partai Gerindra dan PKS saat itu untuk mendukung Anies Baswedan.
"Saya kenal dekat dengan Anies benar. Saya yang mendukung dia jadi calon gubernur, itu benar. Malam-malam 12 jam sebelum penutupan saya telepon Pak Prabowo dan Ketua PKS semua setuju," begitu pengakuan Pak JK seperti dikutip luas oleh berbagai media dari wawancaranya di kanal youtube Berita Satu.
Mengapa beliau yang saat itu masih menjabat sebagai Wapres-nya Pak Jokowi malah mengusung Anies Baswedan? Padahal Ahok adalah mantan wakil-gubernur di era Pak Jokowi sebagai gubernur Jakarta. Nah inilah yang bagi kita agak membingungkan. Apa pasal?
Aneh memang, saat itu konstelasi Pilkada DKI Jakarta sangat panas. Perbenturan kepentingan terlihat blak-blakan. Terang benderang. Politik-identitas berkelindan dengan politik-uang yang menghantam politik-baik.
Kasus impor bus transjakarta telah mendepak Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono, bahkan sampai masuk penjara. Juga untuk soal reklamasi yang menggeret Sanusi (adik M. Taufik) dari Gerindra juga ke meja hijau pengadilan Tipikor dan akhirnya dijebloskan ke penjara.
Calon yang oportunis pun bak magnet menarik mereka yang juga oportunis. Seperti kata pepatah, 'bird of the same feather flock together', burung yang bulunya sama berkerumun dengan yang serupa.
Ditengarai para preman berjubah, mafia tanah, mafia anggaran, politisi oportunis dan orang pecatan sampai para ASN yang frustrasi lantaran tak bisa lagi nyolong dan bobo-bobo siang bergerombol bikin semacam koalisi demi menghadapi musuh bersama: Ahok, yang kabarnya sebagai sasaran antara menuju target utama: Jokowi. Begitu menurut sahibul hikayat.
Masih hangat dalam ingatan publik, dua putaran. Putaran pertama Ahok unggul, dan para sponsor dan para pendemo anti-Ahok pun manyun lantaran salah satu gacoannya tersisih. Memasuki putaran kedua, perseteruan menjadi bipolar (dua kutub). Dan jelas sekali siapa ada di pihak mana.
Gerindra (Prabowo Subianto), PKS (Sohibul Iman), PAN (Zulkifli Hasan, Amien Rais), Perindo (Hary Tanoe) dan tentu saja Wapres Jusuf Kalla ada di pihak Anies. Juga kelompok garis keras seperti FPI (Rizieq Shihab), dan beberapa ormas lainnya, serta mereka yang jelas sakit hati (luka batin) terhadap Ahok, dan diam-diam juga baper kepada Jokowi.
Partai Demokrat, setelah kekalahan paslon Agus-Silvy, tidak jelas posisinya, kesana-kemari kelihatannya oke-oke saja.
Sisanya ada di pihak Ahok, walau katanya (dan ini problemnya) banyak juga yang setengah hati. Kenapa? Ya lantaran Ahok kelewat keras orangnya. Mereka selama ini katanya ikut-ikutan 'menderita' lantaran bancakannya tersunat oleh coretan singkat, 'Pemahaman Nenek Loe!' yang legendaris itu.
Wapres JK rupanya tidak mendukung Ahok. Begini, seperti dikatakan sendiri oleh Pak JK, "Saya telepon dari New York. Karena ada bahayanya, kalau Ahok yang menang, ribut ini, dan bisa kena akibatnya ke Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo)."
Apakah kalau Ahok menang bisa ribut? Aneh sekali. Tak jelas apanya yang diributkan ya? Atau siapa yang ribut? Sehingga katanya dampaknya bisa sampai kena ke Pak Jokowi.
Jakarta jadi amburadul di bawah kepemimpinan Anies Baswedan, dan kita pun sependapat dengan Bu Megawati Soekarnoputri.
Tak ada lagi transparansi anggaran, skandal pembengkakan anggaran lem aibon, komputer, ballpen, pasir, sampai ke kasus uang muka Formula-E dengan dana rakyat Rp 560 milyar yang tidak jelas sampai sekarang kapan dikembalikan. Padahal Fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta sudah berkali-kali berteriak soal ini.
Pemborosan anggaran yang mendapat kritik masyarakat, soal monumen bambu , monumen batu (gabion), bongkar-pasang trotoar, penebangan pohon Mahoni di Monas yang akhirnya hilang tak jelas juntrungannya, sampai kasus akhir-akhir ini yang ramai soal dana bansos di DKI Jakarta.
Litani keamburadulan kebijakan berlanjut ke soal inkonsistensi soal ijin reklamasi, rumah susun atau versinya jadi rumah lapis ber-DP nol persen, normalisasi sungai atau versinya jadi naturalisasi sungai, dan berbagai gimmick istilah yang tanpa esensi telah membuat muak masyarakat banyak.
Sehingga akhirnya kita pun tersadarkan, kalau dulu banyak anggota DPRD DKI Jakarta yang marah (ribut) kepada Ahok, tapi didukung oleh masyarakat akal sehat. Sekarang, Anies nampaknya didukung oleh hampir semua anggota DPRD DKI Jakarta (kecuali oleh fraksi PSI), tapi masyarakat akal sehat jadi muak alang kepalang dan marah.
Terhadap itu semua, apakah Pak JK yang dulu mengusung Anies Baswedan (seperti pengakuannya sendiri) bisa dan berkenan untuk mengevaluasinya.
Mengevaluasi kinerjanya Gubernur Anies secara jujur, obyektif dan terbuka kepada publik pemilih di Jakarta, juga di seluruh Indonesia, lantaran Jakarta adalah barometer perpolitikan nasional juga.
Bagaimana Pak JK, berkenankah?
Penutup: tulisan ini hanya opini pribadi, dan sekedar saran atau usulan Pak. Terima kasih dan salam hormat kami.
11/12/2020
*Andre Vincent Wenas*, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar