Kamis 24 September 2020
Oleh : Dahlan Iskan
HARAPAN apa yang masih bisa diberikan kepada masyarakat? Ketika pemerintah secara resmi menyatakan Indonesia sudah berada dalam resesi ekonomi?
Yang terbaik adalah menceritakan keadaan apa adanya. Jangan membuat orang takut tapi juga jangan membuat PHP baru.
Orang sudah tahu hanya sektor government yang masih bisa tumbuh. Sektor apa pun terus turun –termasuk sektor konsumsi. Padahal andalan terakhir kita adalah sektor konsumsi.
Maka baiknya mulai ada gambaran masih berapa lama sektor pemerintah ini bisa tumbuh. Bukankah pendapatan pajak akan turun drastis?
Demikian juga sumber pendapatan dari utang. Bukankah semua negara cari pinjaman sehingga sumber pinjaman kian terbatas?
Sebenarnya di tengah masyarakat masih banyak yang punya uang. Berlebih pula. Tapi mereka takut investasi, takut ekspansi, bahkan takut ke luar rumah. Mereka tidak mau belanja, makan di restoran, atau jalan-jalan ke mal. Mereka tidak belanja.
Pikiran mereka konsentrasi ke keselamatan masing-masing. "Ini soal giliran saja kapan saya terkena virus?" kata teman-teman pengusaha. Itulah yang memenuhi pikiran mereka.
Bank-bank besar sebenarnya juga masih punya likuiditas banyak. Tapi mereka takut menyalurkan ke nasabah –takut macet. Apalagi OJK sudah resmi mengumumkan nilai pinjaman yang disetujui untuk restrukturisasi mencapai Rp 860 triliun lebih.
Memang saya selalu mengatakan sektor pertanian masih bisa diharapkan menjadi tumpuan pertumbuhan baru. Tapi saya sudah terlalu sering bicara soal ini –sudah bisa dikategorikan nyinyir. Nyinyir yang sia-sia.
Maka satu-satunya harapan yang masih bisa diberikan kepada rakyat adalah ini: vaksinasi Covid-19.
Orang seperti saya tidak lagi memikirkan dampak sampingan vaksin itu. Vaksinasi adalah satu-satunya harapan. Kita tidak akan bisa hidup begini terus. Banyak sekali teman saya yang minta dicarikan vaksin. Mereka mau vaksinasi sekarang juga. Mahal pun mau.
Dikira saya bisa menggunakan jaringan saya di Tiongkok untuk mendapatkan vaksin yang sudah diproduksi di sana.
Hampir tiap hari saya menghubungi teman-teman di sana. Di kota yang berbeda-beda.
Pertanyaan saya singkat: Anda sudah melakukan vaksinasi?
Semua menjawab: belum.
Bukankah ada berita bahwa vaksin itu sudah diproduksi di Tiongkok?
"Belum untuk umum," jawab mereka.
Mereka umumnya juga berharap vaksinasi sudah bisa dimulai Januari akhir tahun depan.
Memang, biar pun Tiongkok, juga harus tunduk pada WHO –organisasi kesehatan dunia. WHO-lah yang akan mengeluarkan izin edar secara internasional.
Bahwa ada yang sudah divaksinasi itu sifatnya penggunaan darurat. Misalnya untuk tentara dan tenaga kesehatan di rumah sakit. Itu pun juga selektif.
Salah satu yang dianggap selektif adalah: orang Tiongkok yang akan terbang ke luar negeri. Agar mereka tidak tertular virus di negara tujuan. Lalu ketika pulang tidak membawa oleh-oleh yang membahayakan itu.
Kita sendiri sudah diberi harapan itu: November nanti sudah akan punya 10 juta vaksin. Yang dibeli dari Sinovac, Tiongkok.
Vaksin itu dikirim ke Indonesia dalam bentuk kontainer besar. Untuk dibotolkan menjadi 10 juta unit kecil yang siap disuntikkan. Yang melakukan pembotolan dan pengemasan itu adalah PT Biofarma, salah satu BUMN farmasi yang berpusat di Bandung.
Mungkin 10 juta pertama itu habis untuk para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya. Skemanya pun mungkin masih tergolong ''pemakaian darurat''.
Lalu di pada Desember mendapat 10 juta lagi. Mungkin untuk polisi, tentara, dan pegawai yang di pabrik-pabrik dan mal-mal.
Januari 2021 mendapat 10 juta lagi. Masih untuk golongan yang lebih memerlukan.
Semua itu ada konsekuensinya.
Begitu November kita mulai vaksinasi –biar pun darurat– berarti dalam satu tahun berikutnya seluruh rakyat sudah harus divaksinasi. Atau setidaknya 75 persen dari jumlah penduduk.
Tapi kalau dalam setahun kita ''hanya'' bisa produksi 120 juta (10 juta/bulan), itu baru cukup untuk 50 persen penduduk. Apalagi kalau satu orang harus diinjeksi dua kali.
Itu akan mengkhawatirkan. Sebab daya kebal vaksin itu hanya untuk sekitar 1 tahun. Bisa jadi 50 persen yang belum vaksinasi punya potensi menulari mereka yang daya kebalnya sudah lewat.
Berarti pemerintah harus mencari lagi sumber vaksin dari perusahaan selain Sinovac. Maka kalau ada berita pemerintah juga membeli vaksin dari perusahaan lain, itulah maksudnya. Bukan karena ada masalah dengan vaksin yang dari Sinovac.
Vaksin Sinovac tidak cukup untuk jumlah penduduk kita.
Maka informasi soal vaksin ini sebaiknya dibuka selebar-lebarnya ke masyarakat. Apa adanya. Agar masyarakat yang sudah telanjur berharap banyak, bisa hidup dengan harapan itu.
Termasuk betapa sangat perlu penjelasan dari pemerintah: benarkah yang dikatakan oleh Prof C. A. Nidom dari Surabaya itu. Yang beredar luas di video itu: bahwa vaksin ini hanya akan membuat virus Covid-19 lebih agresif. Yakni seperti jagoan yang menemukan penantangnya.
Kalau itu benar, berarti vaksinasi yang tidak bisa menjangkau seluruh penduduk dalam satu tahun hanya akan menimbulkan dampak yang serius.
Tapi jangan percaya dulu omongan itu, sampai banyak ahli –terutama ahli dari pemerintah– menjelaskan bagaimana pendapat mereka. Lalu kita membandingkannya mana yang lebih masuk akal. Rasanya sudah seminggu video Prof Nidom, ahli virus itu, beredar. Belum ada tanggapan sedikit pun dari pihak berwenang. Rakyat hanya bisa menanti.
Kita sudah resmi resesi –belum resmi pun kita sudah merasakannya.
Kita butuh secercah harapan. Hidup itu karena ada harapan.(Dahlan Iskan)
https://www.disway.id/r/1075/resesi#.X2u43D6EPFo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar