"Aku diajar berpuasa bukan karena agama, bukan karena keinginan naik surga. Kakek mengajarku buat menahan keinginan, untuk mengetahui sampai dimana aku dapat mengatur kekuatan" (Nh. Dini, dalam bukunya, Sebuah Lorong di Kotaku).
Bagi manusia Jawa, puasa itu semacam kontemplasi dan bertapa. Waktunya mawas-diri, intropeksi. Semua dilakukan atas kesadaran dan tekat diri, karena itu ada banyak jenis puasa dalam masyarakat Jawa. Dari yang terkesan sangat berat, ringan, hingga lucu. Ada puasa weton, senin-kemis, pendem, pati geni, ngalong, ngrowot, mbisu, mutih, ngetdan dan sebagainya.
Yah, ada itu puasa atau bertapa ngetdan, menjalani ritual layaknya orang gila. Pergi kemana saja tanpa tujuan, tanpa bekal apapun. Makan apa saja yang ditemui dan tidur di sembarang tempat tapi hati tetap eling pada yang maha kuasa. Dan ndak masalah puasa macam itu, orang dia ngetdan, tapi dia tidak ganggu, ngamuk atau merugikan orang lain. Sekarang khan banyak, orang yang sepertinya waras tapi etdan atau gila, seperti orang yang udah kaya-raya kok masih maling atau korupsi, itu kan sama dengan kadang panas-kadang utdan kadang waras-kadang etdan.
Ada teman saya yang pernah lakukan bertapa atau puasa ngetdan. Dia ceritakan pengalamannya yang sangat menyentuh, "Waktu itu malam sudah sangat larut. Hujan yang turun dari sore tadi belum juga mereda. Aku kelaparan dan kedinginan di emper sebuah toko. Sementara tidak jauh dariku, ada warung tenda yang sepi pengunjung. Hanya pemilik warung dan beberapa wanita PSK yang ada disitu."
Mata teman saya yang sedari tadi berkaca-kaca, tidak bisa lagi dia menahan air matanya menetes, ketika dia ceritakan, ada seorang wanita PSK yang menghampiri dan memberinya sebatang rokok yang sudah dinyalakan, beberapa kue, dan kopi hangat yang dimasukkan di bekas botol air mineral.
"Aku melihat jiwa yang sedemikian tulus dan indah di dunia yang sedemikian kelam. Aku tak punya keberanian lagi untuk menghakimi sesamaku, hanya karena melihat penampilan luarnya saja." Kata temanku yang semakin arif dan penuh empati setelah menjalani puasa ngetdan. Sangat beda dengan kebanyakan orang saat ini yang suka ngetdan (mengilakan diri) menghalalkan segala cara untuk bisa untuk bisa mereguk segala ambisi dan hasratnya. Rakus, serakah, munafik, menipupun jadi mentalnya.
Pernahkah terlintas di benak kita, keanehan di tiap bulan puasa?. Bulan ketika kita mengurangi nafsu makan dan minum, tapi kenapa tingkat komsumtif masyarakat kita naik tinggi justru di bulan ini. Tanya ibu-ibu yang sangat paham urusan dapur, mereka semua pasti sependapat, pengeluaran untuk dapur di bulan puasa pasti lebih tinggi daripada bulan-bulan biasanya. Kenapa bisa terjadi paradok seperti itu?
Jauh-jauh hari sebelum puasa, iklan sirup, biskuat, obat maag atau lambung, termauk mie instan terus dijejalkan. Dan ustadz-ustadz seleb jadi bintang iklannya. Hari-hari kita diisi iklan, hasutan dan kotbah, hingga kita tak tahu diri sendiri. Dan iklan janji surga, membuat banyak orang ingin puasa? Kata pak ustadz ini bulan setan pada dikurung? Tapi kenapa manusianya malah pada kesetanan begitu nafsu atau serakahnya pada makanan di bulan puasa ini.
Saya tidak menganggap puasa itu tidak baik. Tapi puasa yang bagi manusia Jawa adalah urusan pibadi, itu dijadikan gerakan masal-formalitas, maka yang terjadi adalah banyak paradok. Bahkan cenderung munafik. Puasa dijalani, tapi penuh dendam. Begitu waktunya berbuka, segala hal yang ingin dimakan harus tersedia. Biasanya mau makan seadanya, karena puasa makannya harus yang enak-enak.
Bahkan ada orang-orang yang di bulan puasa dan tentu juga dia sedang puasa, tapi dia kerjaannya marah dan ngamuk-ngamuk tiap melihat warung-warung makan yang masih buka. Ini manusia sungguh memalukan. Para budak dogma yang tidak lebih dari manusia zombie yang tidak ada otak dan jiwanya. Manusia sok suci yang tak paham apa itu sesungguhnya makna dari puasa
Orang puasa itu dijanjikan surga, masak masih kurang penghargaan itu. Hingga masih butuh penghargaan atau penghormatan dari manusia waktu berpuasa. Kenapa puasa justru keserakahan yang dipamerkan. Belum lagi polusi udara yang ditimbulkan di tiap bulan puasa. Ah, mungkin di bulan ini bisa juga kita ambil sisi posistipnya, inilah bulan dimana kita belajar untuk bisa lebih sabar. Dan kata pak ustand, ada orang berpuasa tapi tidak dapat pahala apa-apa, selain cuma dapat lapar dan haus doang. Karena orang itu......
*Ah, tiba-tiba saya kok merasa, jika ada orang yang kotbah ngajarin manusia jawa tentang dan untuk berpuasa, hanya demi sepetak kavling di surga. Saya rasa orang itu hanya seperti sedang menggarami lautan saja.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar